Andi tertawa kecil mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Ia berjalan mendekati ranjang, duduk di pinggir lalu menjawab, "Febby cuma lagi tantrum aja, Bu. Biasa bawaan bayi. Dia lagi ngambek sama aku. Dari kemarin dia ngambek dan nangis-nangis."
"Ngambek gimana? Pasti ada sebabnya 'kan Febby ngambek sama kamu. Kamu habis marahin dia? Kamu apaain dia, Ndi?" Suara Inneke terdengar khawatir.Andi menggaruk alis yang tidak gatal. Pandang matanya menatap Febby yang keluar dari kamar mandi dan melangkah mendekatinya dengan wajah dibanjiri air mata."Ndi, kok diam?" tanya Inneke di dalam sambungan telepon."Aku ngga marahin Febby, Bu. Sama sekali ngga marah, dia aja yang ngambek tanpa sebab. Mungkin bawaan bayi, 'kan Ayah sendiri yang bilang kalau wanita hamil itu sering marah tanpa sebab. Sekarang aku ngerasain sendiri istri aku marah tanpa sebab sama aku. Tapi Ibu tenang aja, aku udah mempersiapkan diri.""Kalau itu Ibu tahu, Ndi, tapi Ibu khawatDi rumah sakit, Inneke baru sadar anaknya belum kembali ke kamar Fandi. Bahkan setelah Dokter memperbolehkan suaminya pulang, anak semata wayang itu belum juga kembali."Febby mana, Bu?" tanya Fandi pada istrinya yang kebingungan."Ngga tahu, Yah. Tadi ada di sini 'kan. Pas kamu suruh keluar, dia ngga balik lagi." Inneke menutup pintu ruang kamar setelah Fandi keluar.Keduanya berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju parkiran."Mungkin lagi ke kamar mandi, atau makan di kantin. Febby 'kan lagi hamil, pasti sering terasa lapar," ucap Fandi, berpikir positif."Mungkin juga," angguk Inneke, dengan wajah khawatir, takut terjadi sesuatu pada anaknya."Ngomong-ngomong, pemuda kasep yang ada di kamar Ayah tadi, siapa Bu?" tanya Fandi. Sejak tadi dia penasaran dengan laki-laki yang ada di kamarnya itu."Oh, itu Tukang Kebun baru kita, Yah. Namanya Dudung. Dia keponakannya Bu Ida. Katanya dia lagi nyari kerja untuk batu lonc
Kedatangan Dirga dan Febby ke kantor Polisi, tak lain untuk melaporkan kejahatan Andi, meski bukti yang mereka bawa hanya bekas merah di perut dan pinggang wanita cantik itu."Saya datang ke sini ingin membuat laporan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Adik Sepupu saya, Pak," jelas Dirga pada Polisi di depannya.Polisi wanita dan laki-laki itu saling tatap. Dan bergeming.Geram laporannya tak ditanggapi, Dirga kembali bicara, "Gimana Pak? Bisa diproses sekarang kasusnya? Saya ingin Bapak melakukan visum ke rumah sakit, karena Adik Sepupu saya dianiaya. Bukti dari kekerasan itu ada," sambungnya, namun kedua Polisi masih diam sambil menatap penampilan berantakan Mantan Dokter Kandungan itu.Sudah diduga oleh Febby sebelumnya, Polisi pasti akan fokus pada penampilan Dirga dibanding laporannya."Pak!" Dirga mulai kesal karena kedua Polisi hanya diam memperhatikan. "Saya membuat laporan serius. Perbuatan suami dari Sepupu saya suda
Febby mengangguk pelan.Tak puas, Mantan Dokter Kandungan itu melihat ke bagian belakang, dan benar saja, ada juga bekas merah di pinggang wanitanya."Kapan dia melakukan ini padamu?" tanya Dirga, murka.Febby menghela panjang, "Kemarin malam Mas Andi marah karena dia ketahuan pisah kamar sama aku. Aku ngomong jujur sama Ayah dan Ibu kalau Mas Andi jijik dengar suara aku muntah-muntah dan dia mau tidur di kamar lain. Mas Andi marah dan bilang kalau aku tukang ngadu."DUG! DUG! DUG!Dada Dirga bergemuruh, napasnya terengah emosi. Ia menurunkan pakaian Febby, memeluk Ibu dari anaknya erat."Maafin aku, Mas. Aku ngga berani jujur sama kamu." Febby menangis di pelukan lelaki pujaan.Membuang napas kasar, Dirga kehabisan kata-kata. Hanya emosi yang menyelimuti hati dan pikirannya saat ini.Febby mendongak, menatap laki-laki tampan yang wajahnya memerah, mendengar jelas detak jantung tak beraturan Ayah dari anaknya.
Fandi terbaring lemah di atas bed rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik. Meski, Ayah satu anak itu masih melamun.Tatapannya kosong seperti orang yang baru saja kerasukan hantu. Melihat itu Inneke dan Febby mendekat, mereka duduk di kursi samping ranjang. Sedangkan Dirga masih berbicara dengan dokter yang tadi menangani calon Ayah mertua."Ayah," panggil Febby memegang lengan ayahnya yang diam mematung, bahkan tak menoleh saat dipanggil anak kesayangan.Inneke menatap khawatir, satu tangan memijat kaki suaminya yang masih syok berat. "Ayah, kenapa jadi pingsan sih, Yah? Harusnya Ayah marah dong sama Andi. Kita ke sana omelin dia. Sekalian urus perceraian Andi dan Febby."Fandi melirik Inneke, lalu pandang matanya beralih pada Febby. Ia menghela napas panjang dan kembali menatap kosong ke langit-langit kamar."Ayah, jawab atuh. Ibu lagi ngomong malah dicuekin. Ayah kenapa sih? Segitunya kecewa sama si Andi sampai Ayah pingsan? Atau
Perlahan Febby mengangkat pakaian, memperlihatkan bekas merah lima jari, sisa cengkraman tangan Andi di perut dan pinggang.Melihat itu, Fandi terdiam. Tubuhnya bersandar lemas ke belakang."Ibu juga sama kayak Ayah, sama-sama ngga percaya sama anak sendiri, tapi mau sampai kapan kita dibodohi terus sama kelicikan Andi? Sampai kapan, Yah? Sampai Febby kita ditemukan meninggal dicor di dalam rumah sama psikopat itu? Iya?" ujar Inneke dengan nada sesak. "Amit-amit, Yah. Amit-amit."Fandi masih diam membisu, menatap anaknya yang tak berdaya."Ibu tahu Ayah pasti mikir, kenapa atuh Febby diam aja? Iya 'kan? Sama, Ibu juga mikir begitu, barusan Ibu tanya sama Febby kenapa dia diam aja. Terus dia jawab apa? Dia bilang dia ngga berani sama si Andi. Dia takut karena diancam. Andi teh ngancem mau bunuh cucu kita. Sekarang Ayah masih percaya sama Andi? Hah? Percaya sama si borokokok Andi? Si dajjal itu?" kesal Inneke. Nada bicara yang biasanya lembut pada s
Menangis pilu, Inneke duduk di atas lantai dingin sambil memeluk kedua lutut. Perasaannya hancur berkeping-keping setelah mendengar pengakuan sang anak.Hati Ibu mana yang tidak terluka, tersayat sembilu saat mengetahui anaknya disakiti, bahkan selama dua tahun menjalani rumah tangga.Selama ini Andi dan Febby selalu menunjukkan keharmonisan, hingga tak sedikit pun celah keretakan terlihat dari pernikahan mereka.Namun sekarang, akhirnya Febby mau bicara jujur tentang kesakitannya menjalani rumah tangga bersama Andi_laki-laki manipulatif yang pintar bersandiwara.Parahnya, selama dua tahun ini, dia dan Fandi selalu membela Andi dan menganggap Andi menantu kesayangan, yang ternyata tidak lebih dari monster.Sekian detik tenggelam dalam kesedihan mendalam, Inneke menghela napas panjang dan menatap anaknya."Kenapa kamu diam saja? Andi sudah keterlaluan, Feb," isak Inneke, lirih. Kedua mata yang memerah dan sembab, menjelaskan betap