Kedatangan Fandi dan Inneke ke rumah Andi, benar-benar tak disangka-duga. Kedua mertuanya itu datang tanpa memberi kabar lebih dulu.
Untungnya Andi tidak melakukan apapun pada Febby selain meminta dilayani, namun Inneke tahu Andi tidur di kamar terpisah."Kok kamu tidur di kamar itu, Ndi? Kenapa emangnya kamar kalian?" tanya Inneke pada Andi yang duduk di sofa panjang berhadapan dengan Ibu mertuanya.Saat Febby membuka pintu rumah, Inneke memergoki Andi masuk ke dalam kamar tamu sambil membawa bantal dan selimut.Andi tersenyum kecil, gugup. Namun sebisa mungkin dia menutupi alasan sebenarnya, "Itu Bu, aku sebenarnya ngga tidur pisah kamar sama Febby. Aku tadi cuma mau istirahat aja, soalnya .... ""Tadi aku muntah-muntah Bu, terus Mas Andi jijik denger suara muntahan aku," potong Febby, memberitahu yang sebenarnya. "Mas Andi bilang ngga mau tidur di kamar yang sama. Takut muntah juga karena jijik."Wajah Andi pucat. Pandang mataPerlahan Febby mengangkat pakaian, memperlihatkan bekas merah lima jari, sisa cengkraman tangan Andi di perut dan pinggang.Melihat itu, Fandi terdiam. Tubuhnya bersandar lemas ke belakang."Ibu juga sama kayak Ayah, sama-sama ngga percaya sama anak sendiri, tapi mau sampai kapan kita dibodohi terus sama kelicikan Andi? Sampai kapan, Yah? Sampai Febby kita ditemukan meninggal dicor di dalam rumah sama psikopat itu? Iya?" ujar Inneke dengan nada sesak. "Amit-amit, Yah. Amit-amit."Fandi masih diam membisu, menatap anaknya yang tak berdaya."Ibu tahu Ayah pasti mikir, kenapa atuh Febby diam aja? Iya 'kan? Sama, Ibu juga mikir begitu, barusan Ibu tanya sama Febby kenapa dia diam aja. Terus dia jawab apa? Dia bilang dia ngga berani sama si Andi. Dia takut karena diancam. Andi teh ngancem mau bunuh cucu kita. Sekarang Ayah masih percaya sama Andi? Hah? Percaya sama si borokokok Andi? Si dajjal itu?" kesal Inneke. Nada bicara yang biasanya lembut pada s
Menangis pilu, Inneke duduk di atas lantai dingin sambil memeluk kedua lutut. Perasaannya hancur berkeping-keping setelah mendengar pengakuan sang anak.Hati Ibu mana yang tidak terluka, tersayat sembilu saat mengetahui anaknya disakiti, bahkan selama dua tahun menjalani rumah tangga.Selama ini Andi dan Febby selalu menunjukkan keharmonisan, hingga tak sedikit pun celah keretakan terlihat dari pernikahan mereka.Namun sekarang, akhirnya Febby mau bicara jujur tentang kesakitannya menjalani rumah tangga bersama Andi_laki-laki manipulatif yang pintar bersandiwara.Parahnya, selama dua tahun ini, dia dan Fandi selalu membela Andi dan menganggap Andi menantu kesayangan, yang ternyata tidak lebih dari monster.Sekian detik tenggelam dalam kesedihan mendalam, Inneke menghela napas panjang dan menatap anaknya."Kenapa kamu diam saja? Andi sudah keterlaluan, Feb," isak Inneke, lirih. Kedua mata yang memerah dan sembab, menjelaskan betap
Dirga menghela napas panjang, "Aku tidak punya pilihan lain. Ayahmu sulit ditemui secara langsung. Dan sepertinya dia tidak akan percaya dengan ucapanku, meskipun aku memberikan bukti kalau Andi itu jahat."Febby mengangguk paham, "Kedua orang tuaku memang ngga akan percaya sama omongan orang lain, bahkan omongan anaknya sendiri. Mereka lebih percaya sama Mas Andi, karena yang mereka lihat Mas Andi sangat baik."Dirga menatap Febby lekat, meraih jemari lentik wanita pujaan, "Kalau kamu yang memberikan buktinya, aku yakin kedua orang tuamu pasti percaya."Febby terdiam, menatap kosong ke depan."Kenapa?" tanya Dirga, menggenggam erat jemari tangan Febby."Aku ngga bisa mengadukan Mas Andi, Mas. Dia ngancem aku. Aku takut. Dia seperti monster.""Mengancammu? Seperti apa?"Menghela napas dalam-dalam, Febby menatap Dirga, lirih."Katakan, dia mengancammu seperti apa? Katakan, Sayang." Mengangkat jemari lentik Febby,
Berhasil masuk ke rumah Fandi, menjadi pencapaian tersukses Dirga. Ia yang kesulitan menemui ayah satu anak itu, mencari siasat lain agar bisa memberitahu tentang kejahatan Andi.Sadar, Fandi tidak akan mudah mempercayai ucapan dari orang asing, membuat Dirga terus mencari cara agar informasi yang dia miliki langsung sampai pada calon ayah mertuanya.Saat ini Dirga sedang memperlihatkan keahlian memangkas rumput, hal yang biasa dia lakukan saat masih bersekolah dulu. Dia dan ayahnya memang sering merawat kebun warisan sang kakek.Mantan Dokter Kandungan yang ijin prakteknya dicabut dan karirnya dihancurkan oleh Anggun dan Anugerah itu, terlihat sibuk merapikan halaman rumah keluarga Fandi.Tanpa dia sadari, dari dalam rumah mewah bercat putih, Febby sedang berdiri memperhatikan lewat kaca jendela panjang dekat ruang tamu."Bu, ada Tukang Kebun baru, ya?" tanya Febby menoleh ke belakang, bertanya pada ibunya yang duduk santai sambil meraju
Di tempat berbeda, Dirga baru saja tiba di Bandung jam dua siang. Ia berjalan menyusuri jalanan rumah keluarga Fandi.Sesampainya di depan rumah mewah itu, Dirga melihat suasana di dalam sangat sepi. Sama seperti kemarin, tak ada kehidupan sama sekali.Celingak-celinguk di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, Dokter Tampan itu terlihat seperti sedang mengintai, ingin mencuri.Beruntung ada seseorang yang mengenalinya, Bu Ida melihat keberadaan Dirga. Andai bukan Bu Ida, sudah dapat dipastikan Dirga diamuk massa."Mas! Mas!" panggil Bu Ida tersenyum lebar seraya melambaikan tangan.Dirga menoleh, melangkah cepat menghampiri Bu Ida. "Bu, orang tua Febby ngga ada di rumah ya? Saya denger, Febby ikut sama orang tuanya. Apa dia ada di dalam sana?""Ada kok, kayaknya di dalam ada Bu Inneke sama Febby. Kalau Pak Fandi emang pergi ke Pabrik. Kayaknya mereka lagi tidur siang," jawab Bu Ida.Mendengar itu Dirga tersenyum, meng
Semalaman tidak bisa tidur, Dirga menghidupkan mesin mobil setelah matahari pagi mulai merangkak naik. Ia melajukan kendaraan roda empatnya, yang terparkir di pinggir jalan raya.Jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, namun Dirga ingin lebih dulu datang ke Kafe tempat dia dan Fandi akan bertemu.Ketika mobil mewahnya tiba di depan Kafe, ia harus menelan kekecewaan karena tempat tersebut belum buka. Biasanya Kafe buka pukul delapan, tepat seperti janji temunya dengan Fandi.Lagi! Dirga harus bersabar menunggu Kafe buka sekaligus menunggu kedatangan calon ayah mertua.Mematikan mesin mobil, Dirga menatap ke depan melihat Kafe yang sepi. Satu tangannya mengambil botol air mineral, menenggaknya untuk menghilangkan dahaga.Beberapa hari ini nafsu makannya hilang, karena terus memikirkan Febby__wanita kesayangan yang tengah mengandung buah cinta mereka.Nalurinya sebagai seorang ayah sudah mulai tumbuh. Perasaannya semakin sen