Fajar sama Lita jodohin aja kali ya :)
Setelah beberapa jam penuh pemeriksaan–mulai dari pengambilan darah, USG transvaginal, hingga pengisian formulir lanjutan–akhirnya sesi hari itu selesai juga.Isvara tampak sedikit letih, tapi wajahnya jauh lebih tenang. Di sepanjang jalan keluar dari klinik, tangannya tak pernah lepas dari genggaman Alvano.“Capek?” tanya Alvano pelan sambil menatap istrinya ketika mereka berjalan menuruni tangga kaca menuju lobi.Isvara mengangguk kecil. “Lumayan. Tapi entah kenapa, rasanya lega.”“Good. Hari pertama udah lewat, sisanya tinggal nunggu hasil dan istirahat,” sahut Alvano sambil mengusap punggung tangannya. Perjalanan menuju hotel hanya memakan waktu dua puluh menit. Mereka memang sengaja memesan kamar di area Marina Bay, agar dekat dengan rumah sakit dan sekaligus bisa sedikit beristirahat di sela jadwal pemeriksaan berikutnya.Begitu memasuki lobi hotel, aroma bunga segar dan wangi citrus menyambut. Dari kejauhan, suara tawa si kembar sudah terdengar.Siti duduk manis di sofa, memper
Setelah seminggu penuh menimbang, akhirnya Isvara menyetujui rencana program kehamilan itu.Dan pagi ini, rumah mereka terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya.Dua koper besar berdiri di dekat pintu masuk, ditemani dua koper kecil milik si kembar yang dipenuhi stiker warna-warni. Di meja konsol, map hitam berisi paspor dan dokumen medis tersusun rapi. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur suara tawa anak-anak yang berlarian di ruang tamu.“Mommy, Mommy! Kita jadi liburan ke Singapura, kan?” tanya Avanira sambil menarik tangan ibunya.Isvara tersenyum kecil, menunduk untuk mengikat tali sepatunya. “Bukan liburan, Sayang. Mommy sama Daddy mau ke rumah sakit. Mommy mau periksa.”“Tapi di Singapura, ‘kan?” tanya Avaira.“Iya.”“Berarti habis periksa boleh beli es krim?” Kali ini Avanil yang bertanya.Isvara menatap ke arah suaminya yang sedang sibuk dengan ponsel. “Mas, tolong jelasin ke anak-anak, deh,” pintanya setengah menyerah.Alvano menutup ponselnya dan berjalan ke arah mereka,
“Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “
Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul
Isvara masih ingat betul, waktu itu Adisty bilang usia kandungannya baru lima minggu. Dan kini, tahu-tahu sudah melahirkan saja. Waktu memang berjalan seperti tergesa-gesa, terutama ketika hidup mulai terasa tenang.“Mommy, Lingga punya adik, ya?” tanya Avanira. Rambut panjangnya yang mulai menyentuh punggung diikat dua, dan hari ini dia sudah siap dengan kaus bergambar bunga serta celana pendek favoritnya.Sudah lama Avanira tidak membawa boneka dari Renjiro yang dulu ke mana-mana menemaninya. Gadis kecil itu bilang bahwa dia akan segera masuk SD, dan malu kalau masih membawa boneka ke mana-mana.“Iya, Princess. Nanti setelah sarapan kita ke rumah Aunty Adisty, ya? Kita lihat dedek bayinya.” Isvara menyodorkan roti ke arah putrinya, lalu ke arah Avanil yang sedang meneguk susu dengan khusyuk seperti sedang rapat penting.“Yeay!” seru Avanira girang.“Mommy, kita ke sananya jalan kaki aja, ya?” sahut Avanil cepat, suaranya penuh semangat. “Aku mau sambil bawa bola, terus biar bisa nend
Bibir Alvano menuruni wajah Isvara, mengecup kening, pipi, hingga akhirnya menemukan bibir itu lagi. Ciuman mereka panas tapi manis, dalam tapi penuh kasih. Setiap geseran tubuh terasa seperti puisi yang ditulis dengan napas, lambat, berat, dan menggetarkan.Tangan kanan Alvano menahan paha istrinya, menjaga ritme mereka tetap seimbang. Sementara tangan kirinya menjelajahi lekuk tubuh yang sudah dia hafal tapi tak pernah dia bosan jelajahi. Dia menelusuri punggung, sisi pinggang, hingga perut yang pernah menyimpan luka dan keajaiban sekaligus.“Ra …” bisiknya di sela helaan napas, “Kamu tahu nggak, ini tempat paling aman buatku.”Isvara menatapnya dari bawah, matanya berkaca, senyumnya tipis namun penuh cinta. Tak ada kata yang bisa dia balas selain genggaman tangannya di pipi Alvano, lembut tapi menggetarkan.Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya puncak nirwana itu datang. Sebuah ledakan lembut yang membuat napas mereka berhenti bersamaan. Isvara merintih, sementara Alvano hanya b