Setelah membereskan meja makan, Rea memutuskan naik ke lantai dua untuk tidur. Sungguh tubuhnya sangat lelah, terlebih hati dan pikirannya. Hal apa lagi yang membuat lelah dan membosankan selain menunggu ketidak pastian seseorang?
Setelah berganti piyama berbahan sutra yang halus Rea naik ke tempat tidurnya yang luas. Tidak ada yang kurang dari apa yang Rea miliki di sini kecuali cinta suaminya sendiri. Rea duduk di atas kasur, merengkuh kedua lututnya dan menatap kosong ke depan.Mau sampai kapan dia begini? Hanya bisa mencintai tanpa dicintai, mengharapkan balasan cinta dari suami sendiri begitu sangat sulit melebihi dari apa pun. Hati Jeno apakah benar-benar sudah tertutup untuknya karena satu kesalahannya dua tahun lalu?Dia hanya mencintai Jeno, dan ingin menikah dengannya lalu hidup bahagia, itu saja!"Jeno mungkin tidak akan pulang malam ini," gumamnya setelah melirik jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat 15 menit. Hari istimewa mereka sudah terlewat, dan apakah Rea masih sanggup menjalani rumah tangga seperti ini hingga hari ulang tahun pernikahannya tahun depan? Masih bisakah ia bertahan?Hujan di luar sudah mulai reda, terdengar suara deru mesin mobil mengurungkan niat Rea untuk tidur. Wanita itu tersenyum dan segera turun dari tempat tidur. Rea berlari kecil keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan kaki telanjang.Hatinya terlampau bahagia, dia akan memaafkan Jeno jika pria itu minta maaf padanya karena pulang terlambat. "Ya, sebentar!" sahutnya saat suara ketukan pintu terus terdengar.Rea membuka pintu dengan napas terengah, setiap kali Jeno pulang ia memang harus segera membukakan pintu dengan cepat, karena kalau terlalu lama Jeno bisa marah. "Kenapa lama sekali?" Suara dingin Jeno masuk ke telinga Rea, membuat wanita itu hanya bisa tertegun menatap suaminya.Bayangannya tadi, pada saat ia membuka pintu berharap Jeno akan meminta maaf, dan memberi hadiah selamat ulang tahun pernikahan. Namun, sepertinya bayangan itu terlalu berlebihan!"Oh, ma-maafkan aku, aku kira kamu tidak akan pulang, jadi aku memutuskan naik untuk tidur," jawabnya gugup.Jeno menatap dingin Rea, pria itu lantas menerobos masuk tanpa mempedulikan Rea. Rea segera menutup pintu kembali dan menguncinya, mengejar langkah Jeno menuju kamar tidur mereka."Kenapa kamu pulang terlambat, apa kamu lupa lagi hari ini hari apa?" cecar Rea saat mereka sudah berada di dalam kamar.Jeno tak acuh mengabaikan pertanyaan Rea di belakangnya, pria itu membuka jas dan melonggarkan dasi dengan dibantu Rea. "Iya, aku lupa. Aku memang tidak biasa mengingat hal-hal yang tidak penting."Rea membeku di tempatnya, menatap punggung lebar suaminya yang begitu kejam mengucapkan kalimat menyakitkan tadi, jemari lentiknya mencengkram jas milik Jeno dengan mata berkabut.Hari pernikahan mereka tidak penting bagi Jeno? Sungguh menyakitkan!Jeno tanpa menoleh pada Rea, pria itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rea masih berdiri tertegun menatap pintu kamar mandi yang tertutup, kala mendengar gemericik air yang jatuh ke lantai, ia pun tersadar layaknya air itu menciprati wajahnya.Rea segera membawa jas Jeno dan menaruhnya di keranjang cucian untuk ia cuci besok, lalu dia sekarang mengambil pakaian bersih dari lemari dan menaruhnya di atas kasur, Rea duduk di tepi dan menunggu suaminya selesai mandi.Setelah beberapa saat menunggu akhirnya pintu kamar mandi terbuka, Jeno keluar dengan hanya handuk putih yang melilit pinggangnya. Rea selalu jatuh cinta pada pria itu, Jeno adalah pria tampan dan sempurna, hanya ada satu kekurangannya, pria itu tak punya hati. Atau mungkin bukan Rea yang memiliki hati Jeno, tapi wanita lain.Rea segera berdiri saat Jeno berjalan mendekat ke arah ranjang, pria itu mengambil piyama yang Rea siapkan untuknya, dengan kedua telapak tangan yang saling meremas di depan tubuh, Rea bertanya dengan nada rendah. "Apakah kamu mau makan? Aku akan siapkan makanan untukmu.""Tidak perlu, aku sudah makan malam dengan Aruna.Mendengar nama perempuan lain disebut, seketika membuat tubuh Rea merasa dingin, hatinya sakit seolah ditusuk oleh ribuan duri tajam, sakit yang tak berdarah, dan tidak tertahankan.Rea mengangguk kaku, sungguh ia ingin menangis sekarang juga, tapi ia tidak mau menunjukkannya pada Jeno.Wanita itu lalu berjalan pelan ke sisi tempat tidur, duduk dan berbaring miring memunggungi Jeno, menutup tubuhnya dengan selimut sebatas leher. Jeno tak peduli, setelah memakai pakaiannya ia pun ikut berbaring juga di samping Rea dan memejamkan matanya yang sudah mengantuk parah.Di saat itulah Rea terisak tertahan, meski begitu tetap saja bahunya terlihat terguncang halus, tapi sama sekali tidak mengganggu tidur Jeno.***Pagi yang cerah setelah malam badai, Rea seperti biasa membuat sarapan untuk dirinya dan Jeno. Namun, selama dua tahun ini, apa pun yang Rea buat tidak pernah Jeno sentuh, meski begitu Rea tidak pernah lelah melayani suaminya dengan baik, di luar suaminya itu mau makan atau tidak.Suara langkah kaki menuruni anak tangga, Rea segera berlari kecil dari ruang meja makan menuju ruang depan. Dia takut Jeno akan pergi sebelum sarapan, dan hari ini rasanya ia ingin sekali bisa makan bersama.Jeno baru saja sampai di lantai dasar, pria itu akan melangkah menuju pintu keluar, Rea segera mengejarnya. "Sarapanlah dulu, aku sudah memasak untuk kita," katanya dengan tatapan memohon pada pria itu agar mau melunakkan hatinya untuk mau makan bersamanya kali ini.Jeno mengerutkan kening menatap penampilan Rea di hadapannya, wajahnya sedikit pucat dan mata sembab seperti habis menangis semalaman. "Satu kali ... saja, kamu mau makan bersamaku, Jeno. Selama dua tahun kita menikah kamu tak pernah mau makan bersama denganku, kamu tidak pernah mau menyentuh apa pun yang aku buatkan."Rea sudah sangat terluka, air matanya sudah hampir tidak bisa ia bendung lagi sekarang. Mengapa mencintai Jeno begitu sangat menyakitkan? Mengapa Tuhan memberinya cinta hanya untuk terus terluka seperti ini?Jeno menatap dingin istrinya, suara datarnya kembali terdengar dan itu cukup membuat hati Rea benar-benar berdarah. "Aruna selalu membawa sarapan untukku ke kantor, jadi kamu tidak perlu repot-repot." Jeno lantas melangkah kembali melewati Rea.Seluruh tubuh Rea menegang, hatinya seolah kesemutan. Wanita itu berbalik badan dan berteriak pilu. "Tapi, aku istrimu! Aku juga ingin memperhatikan dan diperhatikan olehmu, kenapa kamu begitu dingin padaku?"Langkah Jeno berhenti, dan berkata dengan dingin. "Ini keputusanmu, harusnya kamu sudah tahu apa yang akan terjadi saat meminta aku menikahimu. Kenapa sekarang kamu begitu berlebihan? Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, kamu ingin menikah denganku, kan? Lalu apa lagi?"Rea benar-benar beku, menikah dengan Jeno memang impiannya, tapi tidak pernah menyangka jika pernikahan ini seperti mimpi buruk!"Jeno, bisakah kamu memecat Aruna dari kantor? Atau pindahkan dia ke kantor cab--"Sebelum Rea menyelesaikan kalimatnya, Jeno berbalik badan dan mencengkram leher wanita itu dengan kejam, wajah tampannya tampak dingin dan mengerikan dan berteriak dengan penuh tekanan. "Jangan ikut campur urusanku! Aku sudah memberikan pernikahan yang kamu mau, dan kamu tidak berhak meminta yang lain, apalagi mengaturku!"Mulut Rea terbuka, wanita itu kesulitan bernapas seperti ikan yang dilempar ke darat, air matanya mengalir membasahi pelipis dan telinganya. Bukan hanya kali ini Jeno berbuat kasar padanya seperti ini, sudah sering Rea dapatkan jika ia berani menyinggung soal Aruna, calon istri Jeno dulu sebelum ia yang akhirnya menikah dengan pria itu."Je-jeno!" Suaranya terbata dan hampir putus asa.Urat hijau di dahi Jeno menonjol karena rasa marah di dadanya, melihat Rea yang seperti ikan sekarat segera pria itu melepaskan leher Rea secara kasar, dan membuang wajahnya tak ingin menatap Rea. "Jangan kamu berani menyinggung Aruna di masa depan padaku lagi, Rea! Atau kau akan tahu akibatnya!" peringat Jeno, lantas pria itu melanjutkan langkahnya keluar rumah dan pergi menggunakan mobilnya menuju perusahaan.Rea benar-benar kedinginan, hati dan tubuhnya beku, sakit seperti ditusuk oleh ribuan kerak es yang tajam, membuat hatinya berdarah hingga berubah biru. Setelah dilepaskan oleh Jeno, Rea tak bisa
Hari sudah menunjukkan pukul 5 sore, Rea merasa sekujur tubuhnya begitu sangat sakit hingga membuatnya malas bergerak untuk memasak. Tidak disangka Jeno pulang lebih awal, padahal selama 2 Tahun pernikahannya pria itu jarang atau tidak pernah pulang tepat waktu apalagi pulang lebih awal.Ada apa? Apa yang terjadi?Pintu mobil terbuka, dan tubuh tegap Jeno keluar lantas berjalan menuju pintu. Pria itu mengetuk pintu menunggu seseorang membukanya, tapi setelah menunggu beberapa menit pintu tidak juga dibuka.Jeno menatap pintu dengan alis berkerut, di kantor sudah dibuat kesal dan di rumah pun sama. Tidak biasanya Rea begitu lama membukakan pintu, seharusnya jam segini Rea berada di dapur memasak makan malam dan seharusnya tidak butuh waktu lama untuk membuka pintu.Merasa kesal Jeno mengetuk pintu rumah berulang kali, hingga membuat buku tangannya sakit. "Ke mana wanita itu pergi? Apa dia keluar rumah tanpa izin dariku?" Karena pemikiran buruk Jeno segera merogoh ponsel dari saku jasny
Rea bingung harus menjawab apa, jawab cemburu atau tidak cemburu? Ia takut apa pun jawabannya akan membuat Jeno marah. "Apakah kamu peduli dengan jawabanku?" Jeno menjauhkan diri dari Rea, berdiri di belakang wanita itu dan menatap penampilannya dari pantulan cermin. "Tidak," jawabnya tak acuh.Rea menghela napas dan tidak lagi memikirkan jawabannya. "Kalau begitu aku tidak mau menjawabnya," katanya pelan."Besok Aruna akan tinggal di rumah ini, aku harap kamu bisa menerimanya dengan baik dan jangan buat masalah." Jeno naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan santai.Tidak pernah tahu kalimatnya tadi membuat tubuh Rea seketika membeku, tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya jika setiap hari melihat kemesraan suami dan selingkuhannya. "Apa aku boleh keberatan?" tanya Rea dengan nada dingin, suara yang dingin sedingin hatinya saat ini.Jeno menaikkan satu sudut bibirnya. "Bahkan kamu tidak berhak menolak apa pun keputusanku. Aruna akan tinggal di sini dan kamu harus men
Jam sudah pukul 10 malam, Jeno bangun dari berbaringnya dan membuat Aruna kaget saat melihat Jeno akan beranjak pergi. Aruna baru saja dari dapur, membuatkan teh hangat yang sudah ia campur dengan obat perangsang. "Sayang, kamu mau pergi ke mana?" tanya wanita itu melangkah mendekat dengan cangkir teh di tangannya."Aku akan pulang, aku sudah mengurung Rea di kamar mandi selama 4 jam."Aruna terdiam mendengar jawaban Jeno, saat wanita itu hanya diam saja Jeno pun kembali berkata. "Aku pulang, jaga dirimu baik-baik," katanya seraya mengelus pipi kekasihnya, lalu ia kembali melangkah pergi."Sayang, tunggu!" Aruna kembali mengejar Jeno yang sudah meraih gagang pintu, wanita itu segera berdiri di hadapannya. "Mm, aku sudah membuatkan teh ini untukmu, kamu minumlah dulu, Sayang," bujuknya, Aruna sudah merencanakan hal ini agar Jeno tak punya pilihan lain selain segera menikahinya, tak mungkin membiarkan rencananya harus gagal.Jeno tersenyum, lantas mengelus rambut Aruna lembut. "Aku ter
Hari sepertinya sudah pagi, Rea yang hanya tidur beberapa saat saja kini membuka matanya perlahan. Ditatapnya wajah yang berada di atas kepalanya, dia masih terlelap, sangat tampan dan terlihat lembut. Namun, hati Rea terasa pahit saat mengingat pada kenyataannya Jeno tak dapat berlaku lembut padanya.Rea berusaha menoleh untuk melihat jam di atas nakas. Sudah pukul 4 pagi, Rea ingin mandi, tubuhnya lengket semua, tapi Jeno masih erat memeluknya. Andai hubungan mereka tak sekacau ini, Rea pasti akan dengan senang hati menggoda pria ini dan bercinta di pagi hari.Tangannya berusaha melepaskan tangan kekar Jeno dari pinggangnya, tapi dengan cepat tangan Jeno kembali mempererat pelukannya kembali sampai membuat Rea merasa sesak napas.Terpaksa Rea mendorong dada Jeno dengan tenaganya yang lemah, tapi Jeno malah menyeringai. "Ada apa?" Suara berat khas bangun tidur keluar dari mulut Jeno, bibir tipisnya yang seksi bergerak indah.Rea untuk sesaat tertegun, mata dan hatinya memang masih di
Merasa kesal pria itu pun akhirnya beranjak pergi, dan langsung keluar dari kamar dan menutup pintu dengan keras hingga terdengar dentamannya ke dalam kamar mandi. Jeno menghindari Rea karena ia takut menyakiti wanita itu lebih parah lagi, awalnya dia ingin menghabiskan waktu pagi ini penuh keromantisan, tapi sikap wanita itu malah membuatnya kesal.Rea menangis setelah kepergian Jeno, hatinya terasa sakit dan hancur. Sebegitu tidak terimanya Jeno atas perkataannya yang menjelekkan kekasihnya. Rea tidak bicara sembarangan, mendapatkan perlakuan seperti ini membuat dirinya semakin ragu untuk memberitahukan apa yang dia ketahui pada Jeno.Dia juga tidak punya bukti perselingkuhan Aruna, tapi jika saja Jeno bisa bersikap baik padanya sedikit saja mungkin dia akan punya keberanian UU nntuk mengatakannya pada pria itu, dan membuat rencana untuk mengorek rahasia Aruna bersama-sama. Namun, karena cinta Jeno yang buta, apakah pria itu akan percaya jika ia mengatakan sesuatu yang buruk tentang
Saat Jeno dan Aruna diam saja, Rea pun tersedak, mungkin mereka merasa kesal saat sesi ciuman mereka terganggu atas kehadirannya tadi. "Oh, ma-maaf jika aku mengganggu kalian tadi. Aku mohon maafkan aku ya, aku tunggu di meja makan, oke." Rea mengulas senyuman, lalu segera melangkah ke ruang meja makan.Sesampainya di sana Rea berdiri di sisi meja, wajahnya menunduk dengan perasaan berkecamuk, sesak rasanya hati wanita itu. Rea menengadahkan wajah agar air mata tak jadi jatuh, menarik napas dalam dan mengusap wajahnya yang tampak sangat sedih.Terdengar langkah kaki mendekat, buru-buru ia mengubah ekspresi wajah dan menyiapkan senyum palsunya. "Ah, ayo silakan duduk. Aruna semoga kamu suka dengan menu makanan yang aku masak malam ini. Ini juga yang pertama kalinya Jeno memakan makanan yang aku masak. Semoga kamu suka ya." Ada bagian hatinya yang teriris sembilu kala mengatakan kalimat itu.Tentu saja Rea sudah tahu selera makanan apa yang Jeno sukai, minuman, warna favorite, hewan, Ho
Sinar mentari menerobos melewati celah-celah jendela yang tak tertutup sempurna begitu menyilaukan di mata Rea. Wanita itu mengangkat tangannya dan menutupi wajah, Rea bangun dan menoleh ke sampingnya.Jeno sudah tidak ada di sisinya, padahal semalam pria itu tertidur pulas setelah puas memenuhi hasratnya. Rea memeluk kedua lutut, mengingat begitu menggebu hasrat Jeno semalam, bahkan tanpa alat pengaman. Memaksa Rea untuk membalas setiap perlakuannya seperti saat ia sedang semangat-semangatnya mengejar cinta pria itu.Dulu bahkan Rea sangat berusaha melakukan yang terbaik untuk memuaskan hasratnya demi mengambil hati Jeno, bergerak lincah layaknya seorang jalang yang binal. Namun, saat ini. Cintanya masih sama, tapi rasanya sudah terasa hambar. Itu semua karena sikap Jeno selama ini yang selalu memberi luka lara bagi batin dan fisiknya.Rea segera turun dari tempat tidur dengan selimut yang melilit tubuh polosnya, segera ia membersihkan diri dan turun ke lantai bawah. Karena lelah ia