Aku berangkat pagi untuk menjajakan cemilan ke sekolah-sekolah. Setelah dari sekolah, aku berkeliling karena daganganku masih lumayan banyak. Hari pertama aku berjualan, aku mendapatkan musibah.
Ada sebuah mobil yang entah disengaja atau tidak, berjalan kencang hingga membuat air yang ada dikubangan mengenaiku dan daganganku.
Aku menangis memunguti dagangan yang bercecer terkena air. Tapi aku tak boleh patah semangat. Mungkin memang Allah tengah mengujiku dengan cara seperti ini.
"Kenapa, Mbak? Mari saya bantu!" ucap laki-laki tampan yang turun dari mobil.
Belum pernah aku menemukan orang yang naik mobil rela menepikan mobilnya untuk menolong orang miskin sepertiku.
"Oh tidak apa-apa, Mas. Itu tadi ada mobil lewat kencang. Jadinya seperti ini," jawabku.
Laki-laki itu membantu memunguti daganganku. Bahkan dia juga membantuku berdiri lagi karena aku kesusahan dengan perut yang membesar.
"Terima kasih, ya, Mas, sudah mau membantuku. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari!" pamitku.
Tapi, laki-laki itu menghalangiku dan memberikanku sejumlah uang yang sangat banyak.
"Apa ini, Mas? Tidak usah, Mas. Terima kasih," tolakku karena takut menerima uang yang tidak sedikit itu.
"Terima saja, ya, Mbak. Mungkin ini rejeki Mbak dan juga calon anak Mbak itu. Gak baik menolak rejeki. Pamali!" ucapnya dengan senyum yang tulus.
"Tapi ini terlalu banyak, Mas." Aku masih mencoba menolak pemberiannya itu.
"Gak apa-apa, Mbak. Tolong diterima, ya!" Dan aku pun menerima pemberian laki-laki itu karena aku melihat keikhlasan dari sorot matany.
"Sekali lagi terima kasih," ucapku. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya.
"Mau saya antar sekalian, Mbak?" tawarnya.
"Oh tidak usah, Mas. Rumah saya tidak jauh dari sini kok," jawabku berbohong.
Aku tak mungkin ikut orang asing. Walaupun dia memberiku uang, tapi aku juga harus waspada. Jangan sampai terjadi apa-apa denganku dan juga calon anakku.
"Baiklah kalau begitu —" Belum selesai laki-laki itu bicara, temannya memanggil-manggil dirinya.
"Raga ... ayo buruan! Kita sudah terlambat ini!" ucap temannya dari dalam mobil.
Oh jadi nama laki-laki ini adalah Raga. Aku berdoa semoga kebaikan Beliau dibalas oleh Allah SWT.
"Iya sebentar!" jawabnya setengah berteriak.
"Benar Mbak gak apa-apa pulang sendirian?" tanyanya memastikan.
"Benar, Mas. Saya sudah biasa jalan di wilayah ini," jawabku. Mas Raga mengangguk tanda paham.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Mbak!" pamitnya sopan. Aku membalasnya dengan senyuman.
Alhamdulillah Ya Allah ....
Ternyata dibalik musibah yang menimpaku, Engkau telah mempersiapkan rejeki lain yang tak terduga.
Aku pun pulang dengan perasaan senang. Walaupun daganganku tak bisa dijual lagi, tapi uang dari Mas Raga lebih dari modal yang aku keluarkan.
Sebelum pulang, aku mampir ke warung untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah habis. Dengan uang yang Mas Arga berikan, aku bisa membeli lebih dari cukup dan masih ada sisa untuk modalku berdagang kembali esok hari.
Karena aku kelelahan, aku memutuskan naik becak untuk pulang. Aku tak henti-hentinya bersyukur atas rejekiku hari ini.
Setelah menyerahkan upah pada tukang becak, aku masuk ke dalam halaman rumah. Tapi, perasaanku mulai tidak enak ketika mendapati pintu rumah dalam keadaan terbuka.
Padahal aku ingat betul kalau sebelum aku berangkat tadi, aku sudah menguncinya. Dan saat aku masuk, betapa terkejutnya aku mendapati rumah dalam kondisi berantakan.
Ya Allah! Apa rumahku kemalingan? Tapi apa yang mau diambil dari rumahku ini? Tak ada benda yang berharga selain ....
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap