Duniaku seakan runtuh ketika mendapati suamiku, Mas Arga digerebek oleh warga. Menurut Pak RT, Mas Arga, Cindi dan satu temannya hendak berbuat m*sum.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Ibarat itulah yang kini cocok disematkan padaku. Bagaimana tidak, ternyata Cindi yang selama ini aku anggap sebagai adik iparku tak lebih dari parasit dalam rumah tanggaku.
Aku baru tahu kalau ternyata Cindi bukan adik kandung dari Mas Arga. Bahkan mereka tak ada hubungan darah sedikitpun. Pantas saja aku merasakan keanehan saat mereka berdekatan.
Amarahku kembali meledak ketika Mas Arga menuduhku kalau aku hamil bukan dengannya. Entah s*tan apa yang merasuki pikiran suamiku itu.
Malam itu perdebatan panjang antara kami terjadi, ditambah lagi dengan warga yang sudah tidak mau menerima kehadiran mereka di kampung ini.
"Ceraikan aku sekarang juga, Mas! Tak sudi aku hidup dengan laki-laki penipu kayak kamu!" bentakku tepat dihadapan Mas Arga.
Aku sempat menjambak rambut Cindi karena marah dia telah menuduhku yang tidak-tidak. Mas Arga sama sekali tak membelakum Bahkan dia dengan tegas memilih Cindi.
Beruntung ini adalah rumahku. Jadi, aku hanya perlu mengusir kedua parasit itu dari rumahku. Saat aku minta Mas Arga untuk menceraikanku, dia menolak.
"Tidak akan! Enak aja! Nanti kamu bisa-bisa bahagia lagi setelah aku ceraikan," tolak Mas Arga dengan tegas.
"Astagfirullah al 'adzim!" Warga yang ada di sana serentak mengucap istigfar.
Mereka sama denganku yang geram pada Mas Arga. Sudah terbukti bersalah tapi masih berlagak sombong.
"Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Tak sudi aku menampung kalian berdua," bentakku.
Cindi sama halnya dengan Mas Arga. Dia sama sekali merasa tak bersalah. Lain halnya dengan perempuan yang satunya. Sejak tadi aku lihat dia hanya menundukkan kepalanya.
"Gak masalah! Emangnya aku juga mau tinggal di rumahmu yang jelek ini," timpal Cindi yang membuat semua orang geleng-geleng kepala.
Aku hanya bisa mengelus dada dan beristigfar dalam hati. Dan mulai malam itu, aku menjadi sedikit tenang. Walaupun aku harus berjuang sendirian. Tapi aku tak patah semangat, karena semua ini demi anak yang ada dalam kandunganku.
***
Selang satu hari setelah kepergian Mas Arga dan juga Cindi dari rumahku, musibah lagi menimpaku. Kali ini dari sumber pendapatanku selama ini. Laundry milik Ibu Tuti mengalami kebakaran. Semua peralatan dan perlengkapan laundry ludes dimakan api.
Musibah itu otomatis membuatku kehilangan pekerjaan. Ibu Tuti tidak ada keinginan untuk memulai kembali usaha itu, karena semua harta bendanya habis dilalap api.
Aku kebingungan mencari pekerjaan lain. Apalagi usia kandunganku yang semakin membesar. Sudah kucoba kebeberapa warung makan, tapi semua menolak dengan alasan yang sama yaitu kondisiku yang sedang hamil.
Saat aku beristirahat di pinggir jalan, aku melihat anak kecil yang menjajakan aneka cemilan di jalanan. Dari sana terbesit pemikiran untuk melakukan pekerjaan yang sama.
Aku bergegas kembali pulang dan menghitung jumlah uang yang selama ini aku kumpulkan. Totalnya ada satu juta dua puluh ribu.
Jumlah yang sangat minim untukku yang akan mempunyai anak. Dengan modal nekad, aku ambil dua ratus ribu uang tabungan itu untuk dibelikan cemilan satu plastik besar.
Sesampainya di rumah, aku bagi cemilan itu ke dalam bungkusan-bungkusan kecil yang aku rekatkan dengan api lilin.
Bismillahirrahmanirrahim! Doakan Ibu, ya, Nak! Ibu akan berjuang untukmu. Aku bicara sambil mengelus perutku. Sepertinya calon anakku mengerti. Dia menendang perutku ketika aku mengusapnya.
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap