Bima menghempaskan tubuhnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dan dia teringat ucapan wanita itu. Bima menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Tubuh Bima bergerak ke sana kemarin mencari tempat yang nyaman.Bima berdecak, "Ck, aku harus bagaimana?" Bima mengelus kepalanya sendiri. Dia belum bicara jujur tentang pemberhentian dia dari kasus Adelia. Sebenarnya Bima ingin sekali menuntaskan kasus Adelia sampai selesai, tapi entah kenapa atasannya justru mengeluarkan surat yang isinya kasus ditutup. "Apakah dia disuap?" pikir Bima menebak. "Ah, aku tidak boleh suuzan," lanjutnya.Bima bangun dari rebahannya. Dia berjalan menuju jendela dan membukanya. Angin meraba masuk menerpa kulit wajah Bima. Seolah angin itu membawa sebuah ide."Aku harus mencari titik terang."Bima kembali menutup jendela dan melangkah menuju meja kerjanya. Bima membuka laptop yang ad di atas meja. Bima mulai bermain di atas keyboard. Mencari tahu info detail kejadian-kejadian yang pernah terjadi sebelum
Langkah kaki Sarah, Freya, dan Jehan terhenti saat sebuah motor tiba-tiba menghadang mereka. Seorang pemuda turun dari motor tersebut dan membuka helm. Sarah menelan saliva nya sendiri saat melihat itu. Sorot mata elang yang begitu tajam menatap Sarah tanpa berkedip sedikit pun.Sarah mundur beberapa langkah ke belakang menarik lengan Freya dan juga Jehan. "Kau kenapa, Sar?" bisik Freya.Pemuda itu adalah Evan, dia melangkahkan kakinya satu langkah ke depan. "Sudah aku katakan padamu untuk tidak mengganggu Kayanya." Evan menunjuk Sarah. Terlihat Sarah kembali menelan air ludahnya sendiri. "Jika kau masih keras kepala. Aku pastikan hidupmu tidak akan nyaman," ancam Evan.Tanpa basa-basi Evan segera pergi dari sana. Dia tidak perlu menunggu jawaban dari Sarah, karena Evan sudah bisa menangkap bahasa tubuh Sarah.***Jehan berjalan mondar-mandir seperti sebuah setrika. Tangannya meremas baju yang dia kenakan. Terlihat raut wajah khawatir dan ketakutan tergambar begitu jelas. Kadang dia
"Jangan meminta maaf padaku, tapi minta lah maaf pada Kayana." Setelah melontarkan kalimat tersebut Evan pergi meninggalkan Sarah. Sarah diam mematung menatap kepergian Evan. Dia sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Memang benar seharusnya dia meminta maaf pada Kayana bukan pada Evan."Lalu apakah aku harus melakukan hal itu?" ucapnya lirih.***Flashback satu hari sebelumnya.Sarah tampak duduk sendirian menikmati cuaca syahdu pada sore hari disebuah kafe. Rintik hujan yang turun pada saat itu menambah tenangnya suasana hati disertai sebuah alunan musik dari grup nomor satu di Korea, siapa lagi jika buka BTS. Di depan Sarah bertengger sebuah cangkir berisi Red Velvet serta sepiring puding mangga."Ah, sungguh nikmatnya sore hari ini. Hmm ... aku sangat menikmati kesendirianku tanpa mereka berdua." Sarah menarik piring berisi puding dan memakannya sedikit demi sedikit.Tiba-tiba Sarah dikejutkan oleh seseorang yang langsung begitu saja duduk di depan Sarah. Sarah hampir saja ma
Sarah dan Freya selalu teringat kata-kata Bima. Belum lagi ancaman dari Evan. Maka dari itu Freya lah yang aktif sekali mendekati Kayana. Namun, tidak untuk Sarah. Sarah tampaknya masih bimbang untuk mengakuinya. Padahal sebenarnya Jehan juga sudah jujur soal kejadian itu.Freya selalu mengurungkan niatnya untuk mendekati Kayana saat ada Sarah. Bukan karena takut, tapi Freya tidak ingin jika nanti Kayana menjadi bulan-bulanan Sarah dan yang lainnya.Jam istirahat telah berbunyi sebanyak tiga kali. Semua anak-anak keluar dari dalam kelas kecuali Kayana dan Freya. Gadis itu duduk di bangkunya dengan sebuah buku di tangannya. "Kay, kau tidak ingin pergi ke kantin?" Freya tiba-tiba mendekati Kayana. Kayana menggelengkan kepala. Gadis itu tidak berani menatap Freya. "Ayo ke kantin. Aku traktir," sambung Freya.Sekali lagi permintaan Freya ditolak oleh Kayana. Padahal itu kesempatan baik Freya untuk meminta maaf pada Kayana. Namun, karena Kayana tidak ingin membuat kesalahan yang berakhir
"Lihat saja permainan akan segera aku mulai." Sorot tajam mata itu tertuju pada satu obyek di depan sana.***Ancam demi ancaman diterima oleh Sarah. Siapa yang mengancam Sarah?Memang tidak ada yang mengancam Sarah. Hanya sebuah mimpi yang selalu datang setiap malam menghantui Sarah dikala dirinya terlelap tidur. Mimpi di mana Sarah selalu didatangi oleh Adelia. Adelia yang masih meminta Sarah untuk mengakui semua perbuatannya sebelum semuanya terlambat."Sarah, kau masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya demi masa depanmu. Tentunya kau tidak ingin kan jika masa depanmu hancur hanya karena ego dan ketamakan mu itu." Wajah cantik itu memang tidak menakutkan. Tidak ada darah, tidak ada mata menyala merah, tidak ada kuku panjang atau pun sebagainya. Tapi hanya saja Sarah yang terlihat ketakutan sendiri. Sarah pun langsung terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringatnya dan bahu itu bergejolak naik turun. Sarah menarik selimutnya dan mengusap wajahnya dengan selimut terse
Setelah terjadi adu mulut antara Kayana dan Sarah. Pada akhirnya adu tangan pun terjadi. Mereka berdua saling tarik menarik. Sarah menarik tangan Kayana yang hendak melangkah menaiki tangga berikutnya. Sedangkan Kayana berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan Sarah."Lepaskan aku," seru Kayana."Kay, tunggu dulu. Dengarkan aku sebentar," jelas Sarah. Suaranya seperti orang sedang memohon pada Kayana. Mendengar hal itu Kayana diam dan menatap Sarah. Tidak seperti biasanya nada bicara Sarah seperti itu.Kayana menatap Sarah dengan tatapan datar. "Apa kau sedang mencoba mempermainkan ku? Kau tidak seperti biasanya.""Kay, kenapa kau bicara seperti itu? Aku serius dengan ucapan ku," tukas Sarah mencoba meyakinkan Kayana."Sudahlah!" Kayana kembali menaiki anak tangga. Namun, tas punggung Kayana ditarik oleh Sarah. Hal itu membuat Kayana kesal dan marah. Kayana langsung menghempaskan tangan Sarah dan tidak sengaja Sarah kehilangan keseimbangan tubuhnya. Hingga kakinya tidak sempurna m
Kayana tersentak kaget mendengarkan hal itu. Kayana menatap Evan dengan tatapan tanpa berkedip. Justru pemuda yang dia tatap terlihat sangat santai. Dia seperti tidak memiliki beban karena melindungi dirinya. Padahal hal yang sedang Evan tutupi itu sangatlah berat."Evan. Apa maksudmu itu? Dari mana kau tahu?" cerca Kayana."Apa kau tidak sadar jika aku selalu ada di belakangmu.""Jadi kau mengetahuinya?" tanya Kayana. Evan menganggukkan kepalanya. "Lalu bagai----""Sudah ku bilang kau tidak perlu khawatir. Tugasmu hanya satu belajar yang giat agar di ujian nanti kau lulus dengan nilai yang cukup bagus," potong Evan tersenyum pada Kayana.Kayana jadi merasa bersalah akan hal itu. "Tapi Van, aku ...." Kayana menggantungkan kalimatnya.Evan melangkah mendekati Kayana dan memeluk gadis itu. Pelukan Evan membuat Kayana menjadi tenang dan damai. "Berjanjilah padaku kau harus lulus dengan nilai yang tinggi."***Sarah menghilang begitu saja. Semua orang terdekat Sarah berpikir jika Sarah te
Evan sudah memikirkan dengan matang apa yang akan terjadi jika rencana yang dia susun gagal. Tentunya jeruji besi yang akan menjadi tempat terakhir bagi Evan.Hal itu tentunya memang tidak mudah, tapi demi seseorang yang dia sukai Evan berani berkorban. Berita penculikan dan pembunuhan yang tengah ramai pada saat itu dijadikan Evan sebagai alibi untuk melindungi Kayana.Polisi masih mencari keberadaan Sarah yang telah dilaporkan hilang. Polisi berharap Sarah masih hidup saat ditemukan. Penculikan dan pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini benar-benar sangat merisaukan para orang tua, terutama anak-anak yang masih duduk di bangku SMA. Tugas Bima semakin bertambah berat. Kini Bima harus fokus pada kasus penculikan tersebut. Bima duduk di depan komputer menatap sebuah foto tentang penemuan mayat perempuan di sebuah lapangan. Dia begitu tertarik dengan kasus yang sedang ramai pada saat itu. Bima memegang mouse laptop dan memperbesar gambar tersebut."Kenapa mereka memilih perempuan untu