-Untuk saat ini kubiarkan masa lalumu tenggelam beserta seluruh kisahnya. Aku tidak peduli jadi apa dan bagaimana dulu kamu disana.- Audrey
Masih jelas di otak jika mama melarangku pacaran. Alasannya agar aku bisa fokus pada karir. Juga, aku tidak yakin mama akan mengijinkanku menjalin cinta dengan pria yang usianya hampir dua kali usiaku.
Tapi inilah cinta, tidak memandang apapun selama hati terus menggaungkan namanya.
Akhirnya, kubiarkan panggilan dari mama berakhir begitu saja hingga tiga kali. Sebenarnya ada rasa khawatir, siapa tahu mama menelfon karena ada hal penting. Tapi mama pasti curiga dengan keberadaanku di atas kapal di tengah laut menemani Affar diving.
Selesai menikmati liburan siang ini, Affar mengajakku kembali ke hotel. Ia sangat lelah sehabis diving.
Tentu saja, dia sudah tidak muda lagi untuk melakukan diving. Tenaga dan tulangnya tida
-Rindu itu bukan masalah jarak, melainkan perasaan yang membuatnya seolah olah ada sekat yang nyata.- Audrey Affar menoleh dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. I feelunsureas to what I choose. Tiba tiba saja ia mendorongku hingga terbaring di ranjang. Aku berada di bawah tubur kekar coklatnya. "Alright, aku terima." Aku tersenyum kaku pasalnya baru kali ini melakukan hand sex. Pilihan sulit yang harus kujalani demi mempertahankan Affar disisiku. "I want to see you naked baby." Pintanya yang langsung membuatku menggeleng tegas.
-Jangan suka mengikat perempuan dengan janji janji manis yang tidak pasti, yang kamu sendiri tidak bisa penuhi dan tepati.- Audrey Hari ini kami pulang dari Lombok dengan senyum mengembang layak ABG baru jatuh cinta. Dia benar benar memanjakanku selama liburan. Tapi sebelum ke bandara Affar kembali memanjakanku dengan pergi ke toko perhiasan mutiara khas Lombok. Tidak tanggung tanggung, ia menyuruhku membeli perhiasan mutiara sesuka hatiku. Bagai kucing diberi ikan gurami, tentu aku tidak menolak. Ini kesempatan untuk memperbanyak logam mulia yang kumiliki beserta surat kepemilikannya. Deretan kalung, gelang, anting, bahkan bros mutiara dipajang di dalam etalase kaca bening. Mana mungkin aku tidak silau melihat kemewahan dunia yang Affar tawarkan dengan cuma cuma. Setali tiga uang, janjiku membelikan Amelia bros mutiara menggunakan uang pribadiku pun
-Bagaimana aku tahu kamu itu sungguh menyayangiku? Mungkin dengan melihat apa yang telah kamu lakukan untukku.- Audrey Seharian aku dibuat mondar mandir karena Mas Fajar jatuh sakit. Alhasil aku harus menghandle pekerjaannya bersama Pak Lio alias Pak Asmen. Ternyata Affar cukup dekat dengan Pak Lio. Bahkan dalam beberapa kesempatan mereka sempat hang out bareng di sebuah cafe ternama. Setelah keluar ruangan Pak Lio, aku mendekati portofolio denah yang tergantung di tembok ruangan Divisi Operasional Dua. "Karya terbaik arsitektur Paralio Kian Mahardika." Bacaku. Di samping namanya ada nama event lomba tahunan perusahaan kami. "Juara dua. Keren." Kini aku sudah berada di dalam mobil Pak Lio menuju lokasi proyek, ditemani music player yang memecah kecanggungan. Sejauh yang kutahu, Pak Lio bukan orang yang pandai basa basi. Mungkin saat kuliah dulu terlalu banyak t
-Cinta itu bersabar, bukan tergesa gesa. Bersabar menunggu orang yang tepat mengisi kekosongan di hati.- Audrey "Hai baby." Affar merengkuh tubuhku lalu mencium pipi dan bibirku. "Hai daddy." "You look so fresh and ...... hot." Bisiknya kala Samsul sudah menjalankan mobil Affar keluar kantor. "I have prize for you." Imbuhnya. "Apa?" Affar menyuruhku pindah ke kursi belakang. Apa lagi kalau bukan untuk......Dia perlu 'kehangatan' secara batiniah. "Far, jangan diremas kenceng kenceng." Bisikku. Affar tersenyum jahil. "Junior sudah tegang." Affar menuntun tanganku menyentuh kejantanannya yang keras. Setelah selesai makan malam, dia menarikku kembali ke mobil lalu melanjutkan aktivitas 'hangat' yang sempat tertunda. Aku senang jika Affar hanya mendapat kehangatan dariku saja. Tidak jauh dari tempat kami
-CINTA itu menggenapkan yang ganjil, dan menyempurnakan yang kosong.- Audrey Pria dewasa yang kucintai ini sedang tidur dengan pulasnya setelah merengkuh kenikmatan dunia. Seperti bukan Bapak Affar yang terhormat ketika berjalan dengan wibawanya di area perkantoran. Aku mengambil baju kerja yang dibuang Affar sembarangan dekat sofa. Setelah memakai semua pakaian aku menatap seonggok kunci mobil baruku dengan gantungan menara Eiffel. Mobil yang Affar berikan secara cuma cuma asal aku menjadi gadis pemuas nafsunya. Ketika perempuan lain merasa biasa dengan label itu asal mendapat hujaman harta dari pasangannya, tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku perempuan tidak haus atau gila harta. Cinta masih menjadi prioritasku hingga hari ini bersama pasangan. Karena dengan cinta aku bisa menjalani hubungan tanpa kepura puraan. Namun
Affar menyuruhku untuk mempercepat apa yang dia inginkan dengan lebih cepat. Ah .... tidak terkira bagaimana rasanya.Walau aku sangat mencintainya, tapi tidak seperti ini juga. Karena kini aku tidak lain telah menjadi budak hasratnya. Sekali aku menolak apa yang dia inginkan, maka andalannya adalah melepaskanku. Alias kami putus. Sedang aku sudah memberikan banyak hal untuknya.Martabat, harga diri, dan hati ini.Meski tidak dengan keperawananku karena ini adalah hal yang akan benar-benar kujaga untuk Affar ketika menjadi suamiku kelak. Itu pun jika Tuhan mengizinkan. Masih jadi simpanan gelapnya saja aku sudah sangat lelah jiwa raga, apalagi menjadi istrinya. Belum puas dengan apa yang kulakukan, dia sudah menyuruhku untuk berpindah posisi."Ganti di atas, sayang."Aku menuruti apa yang dia inginkan demi memuaskan 'keinginannya' yang liar itu. Apapun akan kulakukan asal ia tidak meminta keperawananku. Dan semoga saja aku bisa menjaga satu-satunya hal yang kumiliki itu hingga hubun
-Akan ada laki laki yang baik untuk wanita yang terus mau memperbaiki diri sendiri.- Audrey "Aduuuh." Ringisku merasakan nyeri dan panas di lubang a**s. Bersamaan dengan itu mataku memanas mengingat kejadian dua malam lalu. Karena ulah Affar yang brutal dan kesetanan, dia memaksaku untuk melayaninya seperti wanita murahan di club malam. Padahal aku ini perempuan baik-baik yang telah ia rusak. "Tega kamu Far." Ucapku lirih sambil mengusap air mata yang menetes. Dengan kondisi seperti ini, aku tidak mungkin pergi ke kantor. Gaya berjalanku saja mirip bebek betina selepas bertelur. Jika aku memaksa berangkat kerja, itu hanya mengundang atensi rekan-rekan kerja lalu mereka menertawa
Tidak biasanya Affar tidak menghubungiku meski ia sedang sibuk rapat. Setidaknya, ia akan menghubungiku untuk sekedar memberitahu kesibukannya atau bertanya aktivitasku. Tapi kali ini ia seperti menghilang tiba-tiba. Kepergiannya selama satu minggu ke Malaysia pun tanpa ada kabar apapun. Setidaknya jika kami berbeda negara, dia bisa mengirim surat elektronik padaku. Tapi ini tidak, surelku pun tidak menunjukkan ada kotak masuk dari Affar. Basa-basi, aku bertanya tentang Affar ketika naik ke lantai lima, namun sekretarisnya menjawab jika Affar belum kembali dari cuti. Kemungkinan lusa, dan itu tidak membuatku merasa lega. Seperti sebuah pertanda, hatiku terus berkata jika Affar mulai tidak beres. Dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Hingga lusa itu tiba, hari dimana Affar seharusnya sudah mulai masuk kerja, tidak ada pesan atau telfon darinya. Aku sangat gusar dan risau, kali ini aku tidak bisa mengabaikan kata hatiku untuk tidak menyelidiki Affar.