"Jawab mbak." Pertanyaan Rado tidak serta merta membuatku langsung menjawab. Alasannya simpel, dia tidak menunjukkan ekspresi wajah bisa menerima hubungan kami. Dari awal bertemu, Rado menunjukkan gelagat yang tidak biasa layaknya seorang pemuda normal. Sifatnya terkesan posesif, tidak mau tahu perasaan orang lain, dan kurang ramah. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?" "Pengen tahu." Aku menepikan perasaan sendiri bila Rado berbeda dari pemuda pada umumnya. Dengan menganggap ini hanya prasangka salahku terhadap perilakunya. "Iya. Kita baru jadian." Rado menatapku datar dengan pandangan tidak bergeser sesenti pun. Hal ini memunculkan pemikiran apakah Rado tidak menyukai hubungan kami? "Sejak kapan?" "Mungkin satu bulan ini." Ekspresi wajahnya makin tajam dan tidak suka dengan kabar ini. Kali ini aku tidak salah tebak. "Kamu nggak suka kami jadian?" Tanyaku hati hati. "Nggak." "Kenapa?" "Maksudku, nggak apa-apa." Nyatanya jawaban Rado tidak membuatku bernafas lega
Sepulang mengantar Rado ke terminal hingga mendapat bis, aku membaringkan tubuh setengah lelah ini sambil menatap langit-langit kamar. Hembusan angin sore yang masuk melalui jendela kamar pun ikut menambah kesejukan raga ini.Ingatanku kembali berputar karena ucapan absurd Rado. "Pacarnya Mas Kian itu pacarku juga." Aku mengulangi ucapannya tadi."Masak gue punya pacar dua? Adik kakak pula.""Atau jangan-jangan mantan istri Kian...."Otakku merangkai spekulasi rumit yang berusaha kurunut namun semua kembali absurd dan hanya membuat otakku cenat cenut."Nggak mungkin lah istrinya Kian juga 'tidur' sama Rado. Mana bisa satu perempuan untuk dua lelaki? Saudaraan pula.""Bisa gila gue mikirin omongannya Rado. Masak iya gue bakal macarin dua cowok beda usia? Yang satu masih SMA yang satunya lagi duda."***Satu minggu lebih sejak kedatangan Rado dan ucapan absurdnya membuatku salah tingkah, salah paham, salah pemikiran, dan salah sendiri kenapa aku menerima keinginannya untuk ditemani dat
Jarang sekali pria tertutup seperti Kian suka mencampuri urusan orang lain jika itu tidak benar-benar ada hubungan dengan dirinya. Tapi, bukankah aku ini kekasihnya? Bukankah wajar jika ia ingin tahu apa yang menjadi urusanku? Bahkan apa yang tengah aku bicarakan dengan sahabatku? Ah, apakah ini artinya Kian mulai mencintaiku? Mulai melihatku sebagai kekasihnya yang selalu ada untuknya? Jika benar demikian, aku amat sangat bersyukur dengan perubahan hubungan kami yang bergerak maju. "Inisialnya K." Setelah berucap, Kian berjalan mendahului kami tanpa rasa berdosa sama sekali.Mas Fajar dan Anjar menatap punggung Kian dan wajahku bergantian. Aku membuka tangan perlahan yang menutup wajah sembari mengintip Kian yang berjalan meninggalkan kami seusai berkata demikian."Lo ada hubungan apa sama Pak Asmen sampai dia tahu inisial duda lo Drey?" Tanya Mas Fajar."Wiiih Audrey keren mas, dia bisa bikin Pak Asmen kepo sama urusan dia." Imbuh Anjar."Emang duda punya lo tuh saudaranya Pak A
Setelah obrolan konyol antara aku, Anjar, dan Mas Fajar karena ulah Kian, kami kembali ke kubikel masing-masing. Aku berpesan pada mereka berdua untuk tutup mulut dengan iming-iming akan memberi tahu siapa duda kesayanganku suatu saat nanti. "Awas lo berdua sampai nyeplos kalau Ki...ah maksudku Pak Asmen nyamperin gue. Itu tadi gue yakin cuma candaan." "Lo yakin Drey nolak cowok sekeren, seganteng, dan semapan Pak Asmen? Nggak nyesel lo?" "Ck...udah deh Njar, gue nggak mikirin Pak Asmen. Gue mikirin cowok gue aja." "Apa Pak Asmen kurang bernilai sampai lo nggak tertarik?" Aku menonyor kepala Anjar. "Diem!" Hubunganku dengan Kian tetaplah harus disembunyikan. Aku tidak mau mendapat teguran dari HRD atau mendapat cemoohan dari rekan kantor yang lain sebagai perempuan penggoda, perempuan tidak tahu diri, anak emas atasan, gadis simpanan, dan sebagainya. My beloved Kian (A) : Katanya ada urusan? Kok makan siang sendirian di kantin? (K) : Urusannya b
"Kalian tata dulu. Gue ke atas. Mau mandi." "Oke mas bos." Sebenarnya, aku ingin tahu lebih dalam tentang ucapan anak buah Kian yang mengatakan bahwa aku adalah kekasihnya yang baru. Apakah Kian sering membawa kekasihnya kemari? Hingga anak buahnya mengerti dengan pasti?Tanpa bisa bertanya, aku pun ikut naik ke lantai atas. Sedang kedua anak buahnya malah tertawa cekikikan. Di lantai dua ada banyak kotak kaca aquarium yang kosong, berbagai perlengkapan merangkai aquascape. Ada sebuah sofabed besar, home theatre mini, heater, beberapa bahan minuman ringan lengkap dengan sendok garpu, bahkan kulkas mini. "Sha?" Teriak Kian di dalam kamar mandi."Apa?" "Ambilin baju ganti gue di mobil."Bayanganku kembali dengan kejadian saat kami di Jogja. Dia tidak menyuruhku mengambilkan celana dalamnya juga kan? "Baju aja kan Kian?" "Iya." Selesai memberikan baju yang Kian minta, aku membuat secangkir kopi hitam untuk diriku sendiri. "Bikin apa Sha?" Tanya Kian yang baru keluar dari kamar m
Kian mengambil lap yang kubawa lalu meletakkannya asal. Tatapan teduhnya mampu menghipnotis bahkan seketika pandanganku hanya dipenuhi dirinya saja. Seolah poros kehidupanku yang baru hanya akan bermuara padanya.Tangan kirinya mulai menarik pinggangku mendekati tubuhnya yang tinggi. Dan tangan kanannya perlahan membelai pipiku dengan wajah dimiringkan ke kanan. Lalu tatapannya seperti memindai seluruh wajahku ke dalam panglihatannya dan berakhir di bibirku. Pandangan Kian membuat dahaga di sanubariku berteriak meminta pelepasnya. Kian, dia wujud lelaki sempurna penghapus dahaga kaum hawa yang lemah akan cinta sepertiku. Menikmati ciuman dan belaian darinya seperti membuat oase di tengah gersangnya padang pasir.Demi apapun, setiap tatapan teduh matanya seolah memiliki mantra pengendali jiwa ragaku, apapun yang ia lakukan pada ragaku selalu saja tidak ada penolakan. Kian mulai mendekatkan wajahnya dengan aku masih menikmati belaian lembut jemari seksinya di pipiku. Astaga Tuhan, ini
Kian menggeleng dengan suara berbisik. "Nggak usah takut. Kita udah pernah ngelakuinnya kan?"Aku masih menahan dada Kian, lalu tangan kanannya meraih tanganku perlahan kemudian mencium telapak tanganku dengan kecupan sensual penuh godaan. Betapa panasnya dudaku satu ini. Dia pandai menyembunyikan wujud aslinya dibalik sosok tegas dan killer yang terihat seperti tidak memiliki keinginan untuk sekedar jatuh cinta. "Awalnya pasti sakit, tapi nggak akan sesakit kemarin Sha.""Kian, aku ---""Gue janji bakal pelan-pelan."Dengan cepat Kian melepas kemaja berikut pakaian dalamku. Negosiasi yang kukira akan membawa perubahan, nyatanya tidak menyurutkan keputusan Kian untuk menyatukan tubuh kami kembali. Dia sudah berkabut gairah dan tidak menginginkan hal lain lagi selain merengkuh kenikmatan bersamaku di malam itu. Dan mulailah penjelajahan kami di malam itu. Aku gagal menghentikan nafsu Kian yang telah menggulung bak ombak pantai laut lepas dan gagal membendung hasratku sendiri.Malam i
"Let's make out on the table." Kian mengendikkan dagunya ke arah meja yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku sedikit menoleh ke arahnya yang memelukku dari belakang sambil memikirkan ucapannya dengan 'melayaninya' di atas meja. 'Memang bisa? Yang bener aja?' Batinku bertanya. Karena sejauh ini yang kutahu tempat terbaik untuk bercinta adalah di atas ranjang, bukan di atas meja. Atau jaman sudah bergeser dengan menjadikan meja sebagai tempat bercinta? Atau aku yang ketinggalan jaman?"Tapi ---"Belum sempat aku memprotes keinginannya yang tidak bisa kumengerti sama sekali, Kian sudah membawa tubuhku ke atas meja. Dia mencium leherku sembari membaringkan tubuhku perlahan-lahan dengan tangan kirinya menahan punggungku dan tangan kanannya bertumpu pada meja untuk menahan tubuh kami.Setelah mendapatkan gairahku, tanpa malu-malu Kian membuka lebar kedua kakiku dan kembali mengajariku cara bercinta yang luar biasa. Dan benar saja, di atas meja pun kami bisa melakukan itu tanpa kes