“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.
“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.
“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.
“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”
Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.
“Udah, Ma.”
“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia sakit, siapa yang mau tanggung jawab?”
Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum kelu. Kulihat Papa Aldi dan Dika menatap ke arahku dengan ekspresi khawatir, sedangkan Adrian membuang muka. Jelas-jelas tidak suka.
“Aku nggak apa-apa kok, Ma.”
Sayangnya, aku memang benar-benar sakit setelah itu. Acara takziyah ke rumah saudara jauh Dika membuatku drop dan harus dirawat di rumah sakit selama empat hari. Mama Nia memarahi Adrian habis-habisan.
Sejujurnya, aku sedikit syok dengan fakta kalau Adrian bukanlah kakak kandung Dika. Kupikir itulah yang menjadi penyebab Mama Nia seringkali bersikap ketus padanya. Rasa bencinya begitu besar, seolah jijik setiap melihatnya.
Namun, tatapan yang sama juga tertuju padaku hari itu ….
“Pak Arya, Bu Rina, saya sama suami saya datang ke sini buat batalin pernikahan anak kita. Saya nggak sudi punya mantu yang udah kotor.”
Aku meremas jariku sendiri, menundukkan kepala dalam-dalam, sama sekali tidak berani menatap orang-orang di sekitarku.
“Maksud Bu Nia gimana ya? Saya ndak ngerti, Bu.”
“Halah. Tanya sama anak ibu. Apa yang udah dia lakuin sama si sialan itu!”
Aku mendengar dengan jelas penuturan Mama Nia. Meski tak melihatnya, kuyakin wajahnya menunjukkan gurat tidak suka seperti saat menegur Adrian dulu. Sekali suka pada seseorang, dia memperlihatkannya dengan sangat jelas. Pun sebaliknya saat merasa benci.
“Nak, ada apa?” Ayah menyentuh lenganku, memberikan tatapan tidak mengerti yang justru semakin menyayat hatiku. “Kamu sama Dika bertengkar?”
“Jangan bawa-bawa anak saya, Pak. Putri Bapak itu yang udah main gila sama anak tiri saya. Sama-sama nggak tahu diri!”
Ruangan hening seketika. Bulir air mata membasahi kepalan tanganku di atas paha. Bahuku berguncang, menahan isak tangis yang tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Sera, jelasin sama orang tuamu. Nggak usah nangis, toh kalian lakuinnya suka sama suka!”
Aku mengangkat kepalaku, tidak percaya dengan penuturan Mama Nia barusan. Suka sama suka? Apa maksudnya? Mungkinkah Adrian mengatakan demikian?
“Saya pikir kamu anak baik-baik. Nyatanya liar juga!”
“Bu Nia!” sela Ibu dengan suara agak tinggi. “Tolong jangan sembarangan menuduh. Anak saya ndak mungkin—”
“Kalian lihat sendiri buktinya,” ucapnya dingin. Nada kekecewaan terdengar jelas. Amplop coklat dibanting di atas meja. Bukan oleh Mama Nia, melainkan Papa Aldi.
Tubuhku semakin gemetar. Bayang-bayang buruk malam itu kembali terlintas. Meski sepekan telah berlalu, aku belum bisa lupa saat Adrian menjajahku. Bahkan, mungkin tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.
“Ini apa, Nak?” tanya Ayah sembari menunjukkan potretku yang berbaring di ranjang yang sama dengan Adrian. Tubuh bagian bawah kami berdua tertutup selimut, tapi mereka jelas menilaiku dengan pandangan yang buruk. Aku pingsan saat itu, tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
“Ayah, ini ….” Aku tidak bisa menjelaskan apa pun. Dadaku sesak dengan napas tercekat.
Aku bersimpuh di depan kursi roda ayah, menggeleng berkali-kali untuk menyangkal prasangka yang kini memenuhi kepalanya. Dia menggeleng, memundurkan kursinya sambil membuang muka.
“Bu, aku … aku nggak gitu. Ini ….”
Plak!
Ibu menghempas tanganku yang berusaha meraih simpatinya. Sama dengan ayah, dia tampak tidak sudi mendengar penjelasan yang susah payah ingin kuucapkan. Bahkan sebuah tamparan mendarat di pipiku, terasa panas dan perih. Ini pertama kalinya Ibu bermain tangan pada anaknya.
“Bapak sama Ibu lihat sendiri kelakuan minus anaknya. Saya benar-benar kecewa. Saya pikir Sera gadis yang paling cocok buat anak saya, ternyata saya salah besar. Itu sebabnya kami datang ke sini.”
“Ma, Mama Nia dengerin penjelasanku dulu, Ma.” Aku mendekat ke arah Mama Nia dan Papa Aldi, berusaha mengatakan kejadian sebenarnya.
“Jangan panggil saya Mama. Jijik tau!” Mama Nia berdiri, menatapku dengan penuh kebencian. “Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa. Dan kamu!” tunjuknya tepat di depan muka.
“Jangan pernah muncul di hadapan Dika! Sampai mati pun saya nggak rela kalian bersama!”
Guntur menggelegar di luar sana bersama hujan yang datang tiba-tiba. Ayah masuk ke kamar dan tidak pernah keluar setelahnya. Ibu terus mendiamkanku, sama sekali tidak mau mendengar penjelasanku.
Tak cukup sampai di situ, kabar gagalnya pernikahanku seketika menjadi buah bibir semua tetangga. Mereka menatapku dengan jijik seolah aku virus mematikan yang bisa membuat mereka meregang nyawa seketika.
“Heh, Sera! Berhenti di sana. Kamu nggak boleh masuk! Lihat nggak tulisan itu?” Seorang wanita berjilbab lebar menunjuk tulisan di lantai masjid sambil menatapku tajam. “Batas suci! Artinya gadis kotor kayak kamu nggak boleh masuk,” lanjutnya dengan suara menggema.
“Astaghfirullah, Bu Marta! Tolong dijaga mulutnya.” Sasa, saudara sepupuku yang masih mau bicara setelah kejadian itu. Dia satu-satunya yang tidak menghakimiku, bahkan terus menerus menguatkanku agar tidak mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup.
“Kenapa? Apa saya salah? Pezina seperti saudara kamu itu memang nggak pantas masuk masjid. Hilang barokahnya majlis ini kalau dia ikut masuk.”
Aku kembali menundukkan kepala, tidak berani menatap orang-orang yang mulai berkerumun di selasar masjid. Tanganku gemetar, mencengkeram ujung jilbab hitam yang menutup sampai batas perutku.
“Gayanya sok alim, pakai jilbab lebar, tapi kelakuan naudzubillah. Pura-pura mau nikah sama Dika, ternyata malah main gila sama kakaknya.”
“Bener-bener. Nggak nyangka!”
Aku tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi tertahan. Dadaku terasa sesak, penuh oleh gemuruh dan sakit hati yang luar biasa.
“Ini nggak seperti yang ibu-ibu bayangkan. Sera ini cuma korban. Dia dipaksa sama kakak tirinya Dika. Dia juga nggak—”
“Siapa yang tahu dia dipaksa atau emang niat. Kalau polos jangan kebangetan, Sa. Nanti malah kamu dijadiin korban berikutnya.”
“Astaghfirullah, Bu!” Sasa hampir berteriak, tapi aku menahan tangannya dan menggeleng lemah. Dia cepat-cepat membawaku pulang, tidak ingin mendengar kalimat buruk lainnya.
Namun tetap saja, keluargaku dihina. Semua orang menggunjing dengan seenak jidatnya. Ayah dan ibu sama sekali tidak pernah mau kuajak bicara. Dua kakakku juga menyalahkanku. Mereka sama sekali tidak bersimpati meski sudah kujelaskan kalau aku hanya korban.
“Kamu mendingan pergi dari rumah ini, Ra.”
Aku terkesiap saat Mas Haris mengusirku. Sebagai anak sulung di keluarga ini, dia mengambil keputusan ekstrem yang membuatku membulatkan mata.
“Mas—”
“Kondisi kesehatan ayah makin buruk. Kalau kamu masih tinggal di sini, warga terus-terusan ngomongin keluarga kita.”
Aku menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang mewakili betapa hancurnya hatiku.
“Ini uang lima ratus ribu. Bawa barang-barang yang sekiranya kamu butuhin. Jaga diri baik-baik.”
Langit seolah runtuh setelah mendengar perintah itu. Bukan hanya keluarga Dika yang sudah menolak keberadaanku, bahkan keluargaku sendiri yang harusnya mengayomi, justru membuangku. Tidak ada pilihan lain kecuali menghilang dari mereka, memulai hidup di tempat baru.
“Sera!” panggil Dika sambil menggenggam tanganku, mengembalikan kesadaran yang sempat tersita kenangan masa lalu. Kulihat dia masih menyodorkan jas miliknya padaku.
Seketika aku menarik tanganku dan berlari menjauh dari sana. Tak kupedulikan panggilannya yang terus menggema. Hubungan kami sudah berakhir. Benar-benar berakhir. Tidak seharusnya aku muncul di depannya!
"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun