Share

Bab 4. Kecewa

Penulis: Eka Sa'diyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-30 20:49:44

Sampai menjelang siang, Faridah baru selesai menyiapkan makanan yang diminta Weni. Rendang daging, sop daging dan perkedel Faridah siapkan sendirian. Tak ada niatan bagi Weni untuk membantu ibunya yang berkutata seorang diri di dapur.

"Alhamdulillah selesai," gumam Faridah sambil mengusap peluh usai memasak. Gegas Faridah mandi sebelum melakukan kewajiban shalat dhuhur. Bibir tersenyum ketika melihat Keynan tengah tidur siang setelah makan. Di setiap sujudnya, Faridah tak hentinya mendoakan kebaikan untuk keluarga anak-anaknya.

Prank

Faridah dikejutkan dengan suara pecahan gelas yang berasa dari dapur. Faridah gegas keluar dari kamar dan melihat yang terjadi. Di sana telah berdiri mertua Weni bernama Meli yang tak lain adalah besannya sendiri.

"Lihatlah, Bu Besan! Gelas ini sangat licin sehingga mudah jatuh. Bagaimana anda mencuci gelas ini, bahkan minyak masih menempel di gelas?" Siang ini benar-benar belum bisa istirahat. Besannya datang dan membuat kejutan untuknya. Terlihat besannya melakukan dengan sengaja padahal setiap mencuci piring, Faridah selalu memperhatikan kebersihannya.

"Ma, maafkan saya, Bu Besan. Biar saya bersihkan pecahan gelas ini!" Faridah gegas mengambil sapu dan serok untuk membersihkan pecahan gelas tersebut. Bibir Meli tersenyum puas bisa mengerjai besannya dari kampung. Faridah berusaha tetap sabar dengan semua perlakuan besan dan anaknya sendiri.

"Lain kali yang bersih kalau nyuci!" Tukas Meli sambil berlalu meninggalkan Faridah yang sibuk membersihkan pecahan gelas. Tak ada kata selain istighfar yang bisa dipanjatkan. Meski begitu nyeri di hati namun Faridah berusaha bersikap lapang demi anak dan cucunya. Usai membersihkan pecahan gelas, Faridah ke kamar Keynan sekedar menselonjorkan tubuhnya yang lelah.

Tak berapa lama, Meli bersama anak dan menantunya menikmati makan siang tanpa mengajak Faridah ikut bergabung bersama mereka. Faridah ke kamar Keynan dan mengusap rambut cucu lelakinya sekedar mengalihkan padangannya dari mereka supaya tak ada penyakit hati yang timbul.

"Enak ya masakan ibu kamu?" Weni mengangguk sambil tersenyum atas pujian yang dilontarkan mertuanya. Aris yang kebetulan pulang untuk makan siangpun tak bisa menolak kelezatan masakan Faridah.

"Mulai besok pagi, Mama minta menu yang sama dengan kalian. Jadi ibu kamu harus memasak untuk kami semua!" Faridah mengelus dada mendengar ucapan Meli yang menjadikannya tukang masak di keluarga menantunya. Tak ada kata terima kasih setelah menyantap hasil olahannya melainkan menjadikannya tukang masak setelahnya. Ucapan Meli benar-benar membuat Faridah kesal namun tak busa diungkapkan. Jika diungkapkan pasti Weni akan sanhat marah kepadanya.

"Siap, Ma. Mau bikin makanan apapun, Ibu pasti bisa!" Weni mendukung permintaan mertuanya yang meminta Faridah menjadi tukang masak. Tentu saja Meli kegirangan karena tak perlu ke restoran untuk memesan makanan enak. Cukup memberikan uang seadannya kepada Weni, dirinya dan keluarganya sudah bisa makan enak.

"Ya Allah, berat sekali tugas hambamu ini!" Farudah hanya membatin saja. Tak ada rasa kecewa yang bisa diungkapkan selain dipendam seorang diri.

Tak berapa lama, acara makan siang selesai. Meli membungkus semua lauk yang tersisa di meja. Hanya kuah sop dengan beberapa potongan wortel dan tempe goreng yang disisakan untuk jatah makan siang Faridah.

Ceklek

"Bu, makan sana!" Weni datang ke kamar Keynan dan mengajak ibunya makan. Hatinya berbunga-bunga karena Weni mengajaknya makan.

Faridah tersenyum, bayangan bisa menikmati potongan daging sudah di depan mata. Saat memasaknya, Faridah enggan mengambil sekedar mencicipinya, menunggu makan bersama dengan anak dan menantunya. Sesampai di ruang makan, ternyata hanya dua potong tempe dan kuah sop yang tersisa. Keinginan makan daging musnah sudah, berganti dengan potongan tempe menjadi lauk untuknya.

"Jangan mengeluh karena lauk tempe, semua daging sudah dibawa Mama. Jadi ibu cukup makan sisanya saja!" Sahut Weni sambil berlalu meninggalkan Faridah. Diraihnya centong dan mengisi piringnya dengan nasi, kuah sop dan tempe goreng.

"Kuatkan hambamu, Ya Allah!" Gumam Faridah. Hampir saja air mata memenuhi pelupuk matanya namuj dengan cepat Faridah mengusap supaya tak ketahuan Weni. Faridah menikmati makanan tersebut, sesekali beristighfar supaya bisa kembali tenang.

Usai makan, Faridah melanjutkan pekerjaannya merapikan semua sisa makanan serta mencuci semua piring kotor. Faridah betul-betul memperhatikan kebersihan supaya tak menimbulkan kesalahan lagi.

"Bu, bersihkan taman belakang!" Weni datang ke dapur hanya untuk memberikan tuga untuk Faridah.

"Wen, ibu lelah. Ibu ingin istirahat!" Faridah berharap Weni mau memberikan waktu untuknya beristirahat.

"Alah, bilang aja kalau ibu malas. Taman belakang rumputnya sudah tinggi-tinggi, Bu. Apa ibu tidak kasihan kalau Keynan main ke belakang dan berakhir digigit ular karena rumputnya tinggi?"

Sejenak Faridah berpikir, ucapan Weni ada benarnya juga. Rumput yang tidak dibersihkan akan menjadi sarang ular. Tanpa banyak protes lagi, Faridah mengambil gunting rumput untuk membersihkan taman belakang. Meski tubuhnya begitu lelah namun demi keselamatan Keynan, Faridah berusaha melakukannya.

Tak berapa lama, rumput sudah bersih. Faridah menyandarkan tubuhnya di pohon mangga yang sejuk. Karena sangat lelah, Faridah tertidur di bawah pohon.

"Malah tidur, pekerjaan masih banyak padahal!" Weni melihat Faridah tertidur dari balkon lantai dua. Gegas Weni turun dan menghampiri Faridah yang tertidur di bawah pohon.

"Bu, bangun dong! Masih banyak pekerjaan buat ibu!" Bentakan Weni membangun Faridah yang tengah terlelap.

"I, iya, Wen. Ibu lelah sekali. Ibu mohon berikan waktu untuk istirahat!" Seorang ibu sedang memohon kepada anaknya namun Weni hanya mencebik ke arah ibunya.

"Baik, Weni beri waktu istirahat dua jam setelah itu bersihkan lantai dua!"

Weni berbalik dan berlalu meninggalkan Faridah. Faridah bangkit hendak ke kamar sekedar bisa merebahkan bobot tubuhnya yang kepayahan. Begitu nikmat sekali merebahkan tubuh di saat lelah. Ucapan rasa syukur dipanjatkan atas nikmat yang diberikan.

"Semoga kelak jika sudah dewasa, kamu bisa menjadi anak yang penyayang," dibelainya lagi rambut Keynan sembari melantunkan doa untuk Keynan. Perlahan kedua mata Farida mulai terlelap. Tak ada doa keburukan meskipun Weni selalu memperlakukannya layaknya pembantu.

Weni berkeliling sekitar rumahnya untuk mencari sesuatu yang bisa dikerjakan ibunya. Weni sengaja memberikan tugas berat demi bisa mengirit ongkos membayar asisten rumah tangga.

"Semua sudah rapi dan bersih. Sebaiknya aku baca majalah!" Baru saja kaki melangkah hendak meraih majalah di meja, kaki Weni tersandung batu hingga jatuh tersungkur.

Aduh

Kaki Weni berdarah cukup banyak, meski hanya sebuah batu kecil yang membuarnya tersandung.

"Banyak sekali darahnya!" Darah terlihat berceceran saat Weni berusaha melangkahkan kaki meski terasa sangat perih.

"Ah!" Weni mendesah menahan nyeri di jari kakinya.

"Bu, ibu!"

"Dasar, ibu tak berguna!" Tak sahutan sama sekali dari Faridah. Terpaksa Weni berjalan tertatih-tatih mengambil kotak obat. Diraihnya antiseptik dan kasa untuk mengobati luka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 44. Selamat Tinggal (End)

    Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 43. Sadar

    Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 42. Sihir

    Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 41. Pikiran Kacau

    Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 40. Cuek

    "Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 39. Majikan Baru

    Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status