Tuduhan atas warisan membuat Fatma sakit hati. Tak ada niatan sedikitpun datang menemani ibunya demi warisan seperti yang dituduhkan. Hanya kesehatan Faridah yang selalu ada di setiap doanya, selain itu Fatma tak menginginkannya.
"Nggak usah sok baik deh, Fat. Kamu sengaja kan demi warisan ibu!""Hentikan ucapanmu, Weni! Kamu sudah sangat keterlaluan!" Faridah akhirnya angkat bicara karena ucapan Weni."Ibu selalu bela dia," Weni melipat tangannya di dada tanpa melihat Keynan sama sekali. Perlahan kedua mata Keynan mengerjab, bibirnya tersenyum ketika melihat ibunya sudah berada di depannya."Mama," Weni hanya melihatnya saja tanpa menghampiri atau memberikan pelukan untuk Keynan."Mama," Keynan berharap Weni menghampirinya. Keynan sangat merindukan ibunya sendiri."Kamu juga, anak bisanya nyusahin aja! Pakai sakit lagi!""Astagfirullah!" Gumam Fatma dan Faridah bersamaan.Harapan mendapat pelukan dari ibunya hancur sudah ketika ucapan menyakitkan keluar dari mulut ibunya. Keynan hanya bisa menunduk tanpa mau melihat wajah ibunya lagi. Fatma gegas menghampiri Keynan yang tengah kecewa pada ibunya sendiri."Jangan dekat-dekat anaku, nanti ketularan mandul kayak kamu!" Hinaan selalu saja didapatkan Fatma jika berhadapan dengan Weni. Air mata luruh seketika, bibir hanya bisa mengucapkan istighfar."Mama jahat!" Kebencian terpancar setelah melihat ibunya merendahkan bibinya."Oh, jadi ini yang diajarkan nenek padamu? Mama membawa Nenekmu ke kota supaya bisa mengasuhmu menjadi anak baik. Bukan pembangkang seperti ini!""Kamu sangat keterlaluan, Weni. Ibu gagal mendidikmu!""Yang gagal kan ibu, bukan Weni!"Weni berlalu begitu saja meninggalkan adik, ibu dan juga anaknya. Fatma sesenggukan di pelukan Faridah, sungguh tak pantas bagi Weni menghina keadaan Fatma. Semua sudah digariskan dan tak ada yang bisa merubahnya."Bibi, maafkan Mama Keynan ya?" Fatma menghapus air mata dan menghampiri Keynan. Diusapnya ràmbut Keynan layaknya anak sendiri."Sudahlah, Sayang. Bibi tidak apa-apa," Fatma tersenyum mendengar Keynan. Fatma begitu sayang dengan Keynan begitu juga dengan Faridah."Keynan suka dibelai seperti ini. Andai Mama seperti Bibi, pasti Keynan bahagia," mendengar harapan Keynan, Faridah hanya bisa mendoakan perubahan sikap Weni."Tenang saja, jika bertemu lagi, bibi akan membelai Keynan sampai puas!" Senyum manis dari bibir mungil Keynan menandakan hatinya perlahan bahagia meski sebelumnya kecewa dengan sikap ibunya."Nek, Keynan tinggal sama bibi di kampung ya?" Fatma dan Faridah diam sejenak. Sungguh pilihan sulit karena Weni pasti akan melarangnya tinggal di kampung. Weni tak suka jika ada yang mengetahui bahwa dirinya berasal dari kampung.Weni melajukan mobilnya ke sebuah cafe tempat arisan bersama kaum sosialitanya. Arisan berlian yang selalu dibanggakannya. Terlihat pakaian serba mewah yang dikenakan teman-temannya. Tas dan sepatu serba mahal dan bermerk."Kalau aku yang dapat arisan, aku traktir kalian makan sepuasnya!" Stella, istri pengusaha batu bara selalu menjadi saingan Weni. Weni sangat membenci Stella karena kekayaannya.Semua fokus pada nama yang akan keluar. Weni berharap namanya keluar karena bisa digunakan untuk pamer ke beberapa teman-temannya. Ternyata harapan Weni salah, Stella yang memenangkan arisan kali ini. Sungguh hati Weni meradang gagal mendapat berlian yang diinginkannya kali ini."Bagus banget!" Kalung berlian begitu mewah dan cantik saat dipakai Stella. Semua saling memuji kecuali Weni yang sibuk bermain ponsel. Cukup jengah melihat teman-temannya merayakan kebahagiaannya."Aku harus bisa mendapatkan uang dari penjualan rumah dan membeli berlian itu. Weni tidak boleh kalah dengan mereka!" Weni berpamitan dan pulang terlebih dahulu. Weni pulang dan menyusun rencana supaya Faridah mau menjual rumah peninggalan ayahnya dan memberikan hasil penjualan tanpa dibagi dengan Fatma."Bagaimana cara aku meminta ibu untuk menjual rumah itu?" Terlintas ide di pikiran Weni supaya Faridah mau menjual rumah peninggalan ayahnya.Keesokan harinya Keynan diperbolehkan pulang karena keadaanya cukup membaik meski harus tetap kontrol dua kali satu minggu. Faridah dan Fatma terkejut ketika Weni sudah menunggunya di depan rumah. Bukan hanya Fatma dan Faridah yang terkejut melainkan Keynan juga tersenyum melihat ibunya menunggu kepulangannya."Mama," Keynan berjalan ke arah Weni dan memeluknya. Weni juga membalas pelukan Keynan meski hati tak ingin."Syukurlah kamu sudah sembuh!" Ucapan Weni terdengar melunak. Hari ini sengaja Weni tak berangkat bekerja demi bisa melancarkan aksinya."Bu, Weni mau bicara!" Fatma mengambil alih Keynan dan membiarkan Kakaknya dan ibunya bicara berdua. Dari kejauhan Fatma melihat gerak gerik Weni cukup aneh, terlihat ada rencana yang sedang dilakukan."Ada apa, Wen?""Bu, aku ingin rumah warisan Ayah!" Cukup tercengang saat Weni membahas soal warisan apalagi meminta rumah kenangan suaminya. Ternyata inilah alasannya Weni terlihat baik pagi ini."Wen, rumah itu tak akan ibu jual. Ayahmu melarang rumah ini dijual karena sebagai tempat berkumpul ketika hari raya," Weni cemberut mendengar penolakan ibunya. Segera Weni mencari cara supaya ibunya mau menyetujui permintaannya."Buat apa sih, Bu. Lagian ibu sudah menumpang disini. Buat apa lagi rumah itu, daripada rusak mending dijual!" Weni bersikukuh supaya Faridah menjual rumah warisan ayahnya."Bukan karena itu, Wen. Rumah itu penuh kenangan saat kita masih bersama. Ibu tidak ingin menjualnya, tapi jika direnovasi ibu mengijinkan!" Weni merasa gagal mendapatkan rumah warisan berlalu begitu saja. Tak ada keinginan menawari ibu dan adiknya sarapan.Faridah beristighfar berkali-kali atas ucapan anaknya. Fatma segera menghampiri Faridah yang terlihat gelisah."Maafkan hambamu Ya Allah, hamba gagal mendidik anak hambamu ini!" Gumam Faridah dalam hati."Bu, Mbak Weni kenapa?" Faridah hanya menggeleng dengan bibir yang dipaksakan tersenyum supaya Fatma tidak risau."Ibu jangan bohong!" Faridah hanya mengangguk dan tersenyum sembari mengusap pundak Fatma. Tak lama, sebuah motor bebek sudah berada di halaman rumah Weni. Ridho menjemput istrinya yang sudah tiga hari mendampingi keponakannya di rumah sakit."Bu, Fatma dan Mas Ridho pamit!" Setelah mencium punggung telapak tangan Faridah, motor bebek yang dikendarai Ridho melaju dengan kecepatan sedang. Kini tinggal dirinya bersama Keynan di teras."Nek, Keynan lapar!" Gegas Faridah mengajak Keynan ke kamarnya kemudian menyiapkan makanan untuk Keynan. Tak ada makanan sama sekali di meja makan, hanya ada dua piring kotor bekas sarapan yang diletakkan begitu saja tanpa mau mencucinya."Masak ini juga, Bu!"Weni meletakkan beberapa sayur dan daging di meja makan saat Faridah sedang menyiapkan makanan Keynan. Tak ada rasa kasihan kepada ibunya sendiri yang sudah rela menjaga anaknya ketika sedang sakit. Tak ada rasa kasihan atau perhatian kepada Faridah."Ibu lelah, Wen. Tiga hari ibu kurang tidur!" Faridah merasa begitu lelah tiga hari kurang tidur hingga terasa cukup lemas."Ibu itu numpang disini dan tak ada yang gratis. Jadi ibu harus masak ini semua!" Weni berlalu begitu saja membiarkan ibunya berkutat dengan masakan.Keynan kasihan melihat tugas Neneknya yang cukup berat. Badannya belum istirahat total sudah disuruh ibunya."Biar Keynan bantu, Nek!" Faridah tersenyum mendengar perhatian Keynan."Nenek bisa kok, Sayang. Keynan di kamar saja!" Keynan terpaksa menurut ucapan Faridah dan kembali ke kamarnya.Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te
Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih
Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d
Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka
"Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu
Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku