Share

Bab 6. Kecewa

Author: Eka Sa'diyah
last update Last Updated: 2023-07-12 08:32:10

Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya.

"Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.

Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur.

"Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma.

"Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."

Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya.

"Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu Faridah adalah ibu kandung Ratna, pasti mulut mereka sudah Ratna robek!" Kedua tangan mengepal kuat ketika menguraikan kekesalannya.

"Sudah, ibu tak apa. Anggap saja ini bayaran ibu yang telah menumpang kepada anak ibu!" Faridah gegas menghapus air matanya setelah terhibur dengan sosok Ratna.

"Bu, bikinin sirup buat mereka dong, malah asik bercanda di belakang!"

Saat asik bercengkerama dengan Ratna, Weni datang meminta Faridah membuatkan minuman untuk tamu mertuanya. Baru saja Faridah hendak berdiri, Ratna lebih dulu menahannya supaya tetap duduk sedangkan dirinya yang mengerjakan perintah Weni. Ratna membuat minuman yang diperintahkan Weni tanpa sepengetahuan mereka semua. Faridah benar-benar bersyukur masih ada orang yang memberikan perhatian padanya.

"Terima kasih, Ratna!" Sahut Faridah usai Ratna mengantarkan minuman kepada tamu Meli.

Hari menjelang siang, namun belum ada tanda-tanda Weni mengajaknya pulang. Ratna membuat dua mangkuk mie instan sebagai pengganjal perut siang ini. Mereka akan makan jika tamu sudah pulang. Dua mangkuk mie instan yang dibeli Ratna sendiri habis oleh mereka berdua.

"Terima kasih, Nak. Maafkan ibu, belum bisa membalas kebaikan Nak Ratna!" Ratna hanya tersenyum. Ratna merasa memiliki seorang ibu. Kasih sayang seorang ibu yang tak pernah didapatkan setelah ibunya meninggal. Semasa hidup, Ratna tinggal bersama Ayahnya.

"Bu Faridah menganggap Ratna sebagai anak Bu Faridah itu sudah cukup. Ratna serasa memiliki seorang ibu," wajah Ratna menyiratkan kebahagiaan yang cukup besar.

Tak berapa lama, tamu mereka sudah meninggalkan rumah mereka dan itu artinya, Faridah bisa pulang. Itulah harapan Faridah, bisa segera pulang dan istirahat. Tubuh rentanya tak bisa lagi bekerja cukup berat.

"Bu, pulang yuk!" Weni menghampiri Faridah mengajaknya pulang. Keynan terljhat mengantuk digendongan Weni.

"Nyonya, apakah Bu Faridah tidak diperkenankan makan siang dulu?" Weni mendelik ke arah Ratna yang sudah lancang bertanya padanya.

"Siapa kamu mengatur hidup ibuku! Mau ibuku makan atau tidak, itu bukan urusanmu!" Weni berbalik meninggalkan dapur. Faridah gegas mengekor di belakang Weni. Ratna menggelang pelan, begitu heran melihat perlakuan anak kandung kepada ibunya.

Weni melajukan mobilnya tanpa sepatah katapun, Faridah yang berada di kursi penumpang pun tak berani mengeluarkan ucapan apapun. Tak berapa lama, mobil yang dikendarai sudah masuk ke halaman rumah. Faridah gegas menggendong Keynan ke kamarnya supaya bisa beristirahat. Sedangkan Weni, entah kemana membawa mobilnya keluar tanpa pamit kepada Weni.

Faridah gegas menyiapkan bahan makanan yang akan digunakan memasak di rumah. Belum ada menu makanan yang bisa dimakan karena sejak subuh sudah berkutat di rumah besannya.

Sampai menjelang sore, Weni belum juga pulang ke rumah. Aris juga belum pulang, hanya ada dirinya dan Keynan. Dalam hati, Faridah berharap tidak terjadi sesuatu kepada Weni.

"Nek, Keynan lapar," Faridah gegas mengambil makananan dan menyuapi Keynan hingga habis. Melihat Keynan lahap makan sudah sangat melegakannya. Keynan tak pernah protes dengan makanan buatan neneknya.

"Papa dan Mama kemana ya, Nek? Kok belum pulang," Keyna merasa kesepian saat tak ada orang tuanya meski tak ada perhatian sama sekali dari orang tuanya.

"Bentar lagi juga pulang, Nak. Sebaiknya Keynan tidur dulu!" Faridah menggendong Keynan dan menidurkannya. Faridah khawatir jika Keynan ikut menunggu kedatangan orang tuanya yang tidak jelas kapan pulangnya.

Malam semakin larut dan belum ada tanda-tanda Aris dan Weni pulang. Faridah sampai mengantuk menunggu kedatangan anak dan menantunya di depan rumah. Wajah terlihat begitu tenang saat mobil Weni memasuki halaman rumahnya. Namun Faridah merasa aneh dengan lelaki yang berada di samping Weni. Lelaki itu bukanlah Aris, menantunya.

Ceklek

Lelaki itu keluar dari mobil dan menghampiri Faridah yang hanya berdiri melihat kedatangan mobil anaknya.

"Bu Weni mabuk jadi tidak bisa pulang sendiri, Bu!" Lelaki itu kemudia pergi meninggalkan Faridah tanpa pamitan atau sekedar mengucapkan selamat tinggal. Kini Faridah melihat keadaan Weni meracau tak jelas di dalam mobilnya. Faridah segera membantu Weni keluar dari mobil dan memapahnya sampai ke kamarnya.

"Aku harus dapatkan berlian itu!" Racau Weni tidak jelas diselingi tawa.

"Ya Allah, kenapa anak hamba menjadi seorang pemabuk? Hamba sudah mendidiknya supaya menjauhi barang haram yang dilarang."

Faridah gegas mengambilkan air dan meminumkannya kepada Weni. Tak ada yang bisa Faridah lakukan untuk menangani orang mabuk. Setelah melepas sepatunya, Faridah membiarkan Weni tertidur. Melihat perubahan Weni, rasa kantuk hilang sempurna, berubah menjadi rasa gelisah. Semasa kecil, Weni dan Fatma selalu menurut dengan nasehat dan pesan Faridah. Katika sudah sama-sama dewasa, sudah berubah sikap Weni.

Waktu menunjukkan sepertiga malam, dibentangkan sajadah dan bersujud kepadaNya. Rasa syukur serta keluah kesah dipanjatkan. Tak ada penolong kecuali kepadaNya.

Pagi hari, Weni sudah terlihat rapi dengan stelan kemeja dan rok selutut bersiap kerja. Ingin sekali Faridah menanyakan keberadaan Aris dan saat Weni mabuk semalam, namun diurungkan. Faridah khawatir Weni akan menjadi marah padanya.

"Sarapannya sudah, Bu?" Tanya Weni saat mengambil sepatu di rak.

"Sudah, Nak!"

Weni gegas ke ruang makan dan sudah ada Keynan di sana menunggunya makan bersama.

"Hai, Ma!" Tak ada sahutan dari Weni saat Keynan menyapa dirinya.

"Ma, suapin Keynan dong!"

"Tidak, kamu sudah besar dan harus makan sendiri!" Wajah ceria berubah muram setelah mendengar jawaban Weni. Keynan terpaksa makan sendiri meski ada rasa ingin sekali-kali disuapi Ibunya.

"Biar nenek yang suapin!" Faridah mengambil alih piring Keynan dan menyuapinya sampai habis.

"Bu, Weni tidak mau tahu. Ibu harus segera menjual rumah warisan bapak dan harus jatuh ke tanganku!" Faridah terkejut saat Weni kembali membahas rumah warisan ayahnya.

"Ibu tak akan menjualnya, Wen. Jika memang kamu menampung ibu demi warisan bapakmu, lebih baik ibu pulang!" Tak ada yang bisa Faridah kecuali pulang ke kampung demi mengamankan rumah peninggalan suaminya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 44. Selamat Tinggal (End)

    Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 43. Sadar

    Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 42. Sihir

    Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 41. Pikiran Kacau

    Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 40. Cuek

    "Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 39. Majikan Baru

    Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status