Home / Rumah Tangga / Aku Ibumu, Nak! / Bab 7. Hasutan Meli

Share

Bab 7. Hasutan Meli

Author: Eka Sa'diyah
last update Last Updated: 2023-07-12 08:33:04

"Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya.

"Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.

Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri.

"Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah.

"Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi..

"Oh! Kamu membantah perintah saya? Orang kampung memang begini!" Meli marah kedua tangannya dilipat di dadanya. Meli benar-benar keterlaluan berlagak layaknya majikan yang menyuruh pembantunya.

"Bukan begitu, Bu!"

"Kalau kamu tidak mau, harusnya kamu tahu diri dong! Sudah numpang, dimintain tolong begini saja tidak mau!" Entah kenapa ucapan dari mulut Meli benar-benar menguji kesabaran Faridah.

"Maaf, Bu. Jika memang ini imbalan yang harus saya berikan karena menumpang, saya akan mundur. Lebih baik saya pulang kampung daripada harga diri saya diinjak-injak seperti ini!" Ucapan begitu lancar dari mulut Faridah membuat Meli gelagapan. Meli terkejut dengan keberanian Faridah saat ini.

"Heh, Faridah! Mana ada orang kampung dan miskin punya harga diri?" Tanpa berpikir panjang, Faridah ke kamar dan mengemas semua baju-bajunya.

"Nenek mau kemana?" Hati hancur ketika harus berpisah dengan Keynan, cucu yang selalu membuatnya terus bersabar. Namun kali ini benar-benar tidak bisa dibiarkan.

"Nenek pulang kampung, Nak. Keynan sama Oma Meli ya, Keynan harus jadi anak baik!" Ingin sekali Faridah mengajak Keynan tinggal di kampung, tapi apa yang akan terjadi jika mertua Weni tidak setuju.

Meli terkejut melihat Faridah keluar dari kamar menenteng tas cukup besar berisi beberapa helai baju. Meli benar-benar mati kutu melihat Faridah keluar dari rumah akibat ulahnya.

"Aku harus cari alasan wanita ini pergi" gumam Meli.

"Saya titip Keynan kepada anda, Bu Meli. Orang kampung ini saatnya pamit dari kediaman orang kota seperti anda!"

Faridah berlalu meninggalkan Keynan bersama Meli. Sebisa mungkin Faridah mengabaikan panggilan Keynan yang memintanya kembali. Andai hanya Weni yang berkata kasar, pasti Faridah akan memaafkannya. Namun jika keluarga Weni yang lain menginjak harga dirinya, Faridah lebih memilih mundur dan mengalah.

"Bu!" Faridah menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Ratna berdiri tak jauh dari mobil Meli.

"Nak Ratna," Ratna gegas menghampiri Faridah. Ratna melihat ada yang tidak beres dengan sikap Faridah apalagi sebuah tas besar berada di genggaman tangannya.

"Ibu mau kemana?"

"Pulang kampung, Nak. Ibu pamit ya, jaga dirimu baik-baik!" Faridah mengusap kepala Ratna. Ratna merasa begitu berat harus berpisah dengan sosok ibu yang sudah dianggapnya ibu kandung sendiri.

"Bu, ini ada sedikit bekal. Dipakai ya?" Ratna menyelipkan dua lembar uang pecahan seratus ribuan kepada Faridah. Faridah hendak menolaknya namun dengan kemauan Ratna, Faridah terpaksa menerimanya. Ratna tahu jika Faridah tak tahan dengan sikap anak dan mertuanya.

"Ini alamat ibu di kampung, jika Nak Ratna mau kesana, bisa datang ke alamat ini!" Faridah memberikan secarik kertas berisi alamat rumahnya sebelum berangkat dengan jasa ojek yang mangkal tak jauh dari rumah Weni.

Sepanjang perjalanan, Faridah tak hentinya mengucapkan istighfar. Ucapan dan perlakuan yang diterimanya saat bersama Weni sangat menyakiti hatinya.

"Ya Allah, maafkan hambamu tak bisa menjaga cucu hamba. Semoga hati Weni berubah, engkau adalah dzat yang mampu membolak balikkan perasaan manusia," perjalanan berganti dengan menggunakan bis kota yang mengantarkannya ke kampung. Kampung yang subur dan selalu menjadi harapan petani. Dua jam, Faridah sudah sampai di kampungnya. Faridah menggunakan jasa becak supaya segera sampai ke rumahnya.

Rumah tak mewah namun membuatnya cukup nyaman. Dibuka pintu rumahnya, suasana begitu sepi tanpa suaminya.

Tok tok tok

"Assalamu alaikum," terdengar suara Fatma. Salah satu tetangganya memberitahu Fatma atas kepulangan ibunya.

"Waalaikum salam," Faridah gegas keluar. Fatma mencium punggung telapak tangan dan berpelukan.

"Bu," tak ada yang bisa Fatma tanyakan, lidah terasa kelu. Fatma bisa menebak yang terjadi pada ibunya.

"Ibu tidak apa-apa, Nak. Ibu selalu baik-baik saja," Faridah mengusap bahu Fatma supaya tetap tenang.

Faridah dibantu Fatma merapikan semua barang-barang yang sempat dimasukkan ke lemari karena ditinggal ke kota sementara. Faridah merasa lebih tenang bisa kembali ke rumah peninggalan suaminya. Ada rasa yang mengganjal, teringat perlakuan Weni pada Keynan. Ingin hati kembali menjaga Keynan namun langkah terasa berat untuk kembali. Hanya doa yang selalu dipanjatkan demi kebahagiaan Keynan.

"Assalamu alaikum," suara Ridho terdengar dari luar. Fatma gegas keluar dan mempersilahkan Ridho masuk. Ridho ternyata membawakan istri dan ibu mertuanya dua bungkus makan siang.

"Terima kasih, Nak Ridho. Ibu bangga pada kalian berdua," mereka makan siang berdua sedangkan Ridho kembali mengajar ngaji di siang hari sebagai kegiatan ekstra di lembaga pendidikan.

Meli gelisah karena Faridah memutuskan pulang, tak ada lagi menu makanan enak yang bisa disajikan saat ada acara.

"Duh, gimana nih? Aku harus telepon Weni dan mengatakan jika ibunya tidak mau lagi tinggal disini!" Weni menghubungi Weni dan mengatakan kebohongannya kepada Weni. Weni yang selalu percaya kepada mertuanya begitu marah dengan alasan yang diberikan mertuanya. Tak sekalipun dirinya peduli kepada Faridah.

Di seberang sana, Weni mulai termakan omongan ibu mertuanya. Seketika emosi naik dan ingin memarahi ibunya. Dicarinya nomor Fatma memastikan ibunya sudah di rumah. Weni bertambah kesal karena beberapa kali menghubungi Fatma tak ada sahutan sama sekali.

"Brengsek! Kemana anak itu!" Weni mengumpat sendirian di ruang kerjanya.

"Bisa-bisanya dia meninggalkan rumah dan membiarkan Keynan bersama Mama!"

"Anak udik itu lagi, ponselnya dibuang atau gimana sih. Sedari tadi dipanggil tidak diangkat!"

Keynan merengek minta makan namun Meli mengabaikannya dan malah membentaknya. Keynan bahkan hampir menangis karena Meli tak bisa mengerti keinginannya.

"Oma, Keynan lapar!"

"Apaan sih, nih kue buat pengganjal perutmu sampai Mamamu datang!" Meli kesal dan terpaksa memberikan sepotong kue untuk Keynan. Keynan terpaksa memakan kue karena takut dengan Meli.

Hari semakin sore, Meli yang perutnya juga lapar terpaksa membuat makanan untuknya dan Keynan. Hanya dengan telor ceplok dan kecap, sudah membuat Keynan lahap makan. Sedangkan Meli, bukan hanya telur ceplok namun beberapa lauk frozen food pun digoreng untuk dirinya sendiri tanpa mau berbagi dengan Keynan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 44. Selamat Tinggal (End)

    Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 43. Sadar

    Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 42. Sihir

    Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 41. Pikiran Kacau

    Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 40. Cuek

    "Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 39. Majikan Baru

    Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status