“Kamu masih bisa tersenyum setelah mendapati suamimu selingkuh, ha?”
Amarah Niki naik, tidak habis pikir bagaimana Risha masih bertahan dalam pernikahannya. Niki adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Risha, Niki tahu semuanya. Jadi, ketika Niki tanpa sengaja melihat Adhitama bersama wanita lain, ia langsung memberitahukan Risha. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat pertama kali, Niki secara sukarela menyelidiki Adhitama hingga akhirnya tahu jika suami dari sahabatnya itu memiliki wanita lain di kota lain. “Sudahlah jangan membahas itu,” ucap Risha. Hari itu Niki yang kebetulan memiliki urusan di kota tempat Risha tinggal memutuskan menemani sang sahabat pergi ke rumah sakit. Setelah perdebatan Risha dengan Adhitama malam itu, Risha akhirnya tetap menuruti permintaan Adhitama untuk memeriksa kandungannya. Risha tidak bisa melawan, setelah perdebatan itu, Adhitama menghukumnya dengan menghujamnya berkali-kali di ranjang, hingga Risha kelelahan. Itu adalah kali pertama Risha melihat Adhitama begitu marah dan tidak membiarkannya pergi. Namun, sayang setelah tiba di depan meja pendaftaran kuota pemeriksaan untuk dokter kandungan yang Risha tuju sudah habis. Risha juga lupa melakukan pendaftaran lebih dulu sebelumnya. Baru saja Risha ingin meninggalkan loket pendaftaran, ia bertemu Rara dan Arin, adik tiri dan ibu tiri Adhitama. “Risha, buat apa kamu ke sini?” Arin bertanya, kemudian matanya beralih pada perut Risha dan merendahkan. “Memangnya kamu bisa hamil?” “Mungkin ingin program hamil, Ma. Kasihan sekali, sampai harus ke sana-sini menemui dokter kandungan karena ingin punya anak,” timpal Rara. “Tama yang malang. Sudah lama menikah, tapi istrinya belum hamil juga. Aku yakin ini bukan salah Tama, dia pria yang sehat. Sayang sekali Papa menikahkan Tama dengan wanita mandul sepertimu,” cibir Arin dengan pandangan menghina. “Sebenarnya kalian takut kalau aku hamil, bukan?” balas Risha berani. “Aku tahu kalian tidak pernah berharap Mas Tama bisa memberikan keturunan untuk keluarga Mahesa. Tapi, sebaiknya kalian hati-hati.” Namun, jauh di dalam hatinya, Risha ketakutan. Ini adalah kali pertama Risha menjawab ucapan ibu mertuanya. Sebelumnya ia selalu menjadi menantu yang patuh dan penurut. Sedang Arin dan Rara terdiam tidak menyangka Risha akan membalas mereka. Risha adalah menantu pilihan Kakek Adhitama yang selalu menunduk ketika berkunjung ke kediaman utama. Akan tetapi, kali ini Risha sudah berani mengangkat dagunya di hadapan mereka. Arin menangkap ada sesuatu yang berubah dari Risha, dan ucapan Risha tidak bisa dianggap sepele. Setelah mengatakan hal itu, Risha memilih pergi dari sana. Niki mengikuti di sampingnya. Setelah menghabiskan waktu sebentar mengobrol, Risha dan Niki pun berpisah. Risha langsung pulang ke rumah dan berniat untuk istirahat, tapi baru saja menghentikan mobil, dia terkejut melihat mobil Adhitama sudah terparkir tepat di depan teras. Hari masih siang, tetapi Adhitama sudah pulang. “Bagus kamu sudah pulang. Siapkan pakaianku! Aku mau ke Jogja,” ucap Adhitama begitu melihat Risha datang. Risha bergeming dan hanya mengikuti Adhitama menuju kamar mereka dari belakang. Apakah ada sesuatu yang begitu penting hingga suaminya bahkan tidak bertanya dari mana dia pergi? Risha jadi ingat apa yang dikatakan Niki tadi. Mungkinkah kali ini … “Ada apa?” tanya Adhitama melihat Risha yang masih diam di ujung pintu kamar mereka. Pria itu melonggarkan dasi kemudian memandang ke arah kopernya yang masih berada di dekat lemari baju. “Apa kamu sekarang mulai membangkang?” tanyanya. “Apa Mas Tama sudah memikirkan tentang permintaanku untuk bercerai?” Risha tak menjawab pertanyaan Adhitama dan malah melempar pertanyaan lain. Adhitama tertegun. Permintaan cerai itu kembali keluar dari mulut istrinya, wanita itu bahkan sudah menunjukkan sikap tak patuh sebagai istri. Adhitama berjalan pelan menghampiri Risha sambil berkata dengan dingin, “Kamu sungguh berniat ingin membuatku kehilangan muka di depan keluargaku?” Risha meringis. Adhitama adalah pria yang satu-satunya Risha cintai, ia selalu bersikap baik dan patuh untuk menyenangkan Adhitama dalam usaha merebut hati pria itu. Risha berharap sikapnya akan membuat Adhitama melihat ketulusan lantas bisa tulus mencintainya. Tentu saja Risha tidak ingin membuat Adhitama kehilangan mukanya di depan keluarga suaminya itu. Terlebih, Risha mengetahui hubungan buruk antara Adhitama dengan ibu juga saudara tirinya. Akan tetapi, kenyataan bahwa suaminya itu telah memiliki wanita lain yang saat ini telah hamil, membuatnya ingin berubah. Risha memejamkan mata, menahan sesak di dada dan air mata yang hendak mengalir di ujung mata. Akan tetapi, Risha tiba-tiba tersentak. Dia kaget saat pipinya disentuh tangan dingin Adhitama. “Berhenti membahas hal itu denganku, kamu mengerti?” tanya Adhitama dengan suara dan ekspresi yang sangat lembut. Sangat berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Risha tertegun ketika membuka mata. Tatapan matanya langsung tertuju pada mata gelap Adhitama yang indah. Jika saja Risha tidak tahu fakta bahwa mata gelap nan indah milik suaminya itu juga dipakai menatap wanita lain, mungkin saat ini Risha akan tersenyum dengan begitu cantik dan menuruti permintaan Adhitama. Sejenak Risha terdiam menetralkan debar aneh di dada lantas menggeleng. “Aku serius ingin bercerai darimu, Mas.” Perkataan Risha membuat ekspresi Adhitama berubah gelap kembali. “Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Sha. Jadi berhenti membahas itu!” Adhitama bicara penuh penekanan, tangannya yang berada di pipi Risha berangsur dia jauhkan. “Tapi kenapa, Mas? Kenapa Mas Tama tidak mau menceraikanku?” tanya Risha, dengan yakin menatap Adhitama. “Katakan padaku apa untungnya Mas Tama tetap terikat hubungan denganku?” Risha semakin merasa pilu, ikatan macam apa yang akan terus dia jalani bersama suaminya ini. Adhitama menggeleng tipis. Dia tidak bisa menceraikan Risha. Posisinya sebagai calon hak waris keluarga Mahesa bisa tersingkir jika Risha tidak menjadi istrinya. Saat ini, kekuasaan di keluarganya masih dipegang Kakek Roi, dan Kakek Roi begitu menyayangi Risha, bahkan Risha sudah dianggap seperti cucu kandung sendiri. Namun, kesehatan Kakek Roi belakangan mulai menurun, hal ini yang membuat Adhitama cemas, karena bukan tidak mungkin perusahaan ibunya akan diambil oleh papanya yang notabene mudah sekali dipengaruhi oleh Arin. Namun, saat ini Adhitama tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan pada Risha. Adhitama harus pergi ke Jogja karena urusan penting. Adhitama berbalik berjalan menjauh memunggungi Risha. “Cukup. Aku harus segera pergi, Sha. Jangan buat keributan!”Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,