Sesak di dada Risha semakin menjadi-jadi. Apakah wanita itu begitu penting hingga suaminya bahkan tidak ingin menjawab pertanyaannya dan tetap memilih untuk pergi?
“Kalau Mas Tama memikirkan permintaanku, kita tak perlu berdebat. Bukankah akan lebih mudah bagi Mas Tama kalau kita berpisah?” Risha bertekad tidak akan berhenti sampai Adhitama setuju dengan permintaannya. “Sampai kapanpun jangan harap mendapat keinginanmu yang satu itu,” ucap Adhitama dingin. Ia tidak memiliki waktu, jadi harus segera siap-siap. Adhitama mengambil acak beberapa baju dan memasukkanya ke dalam koper karena sadar Risha tak mau membantunya. Risha masih diam di tempatnya melihat Adhitama menutup dan menyeret koper itu. Adhitama tak mengucapkan satu patah katapun berjalan melewati Risha. Namun, langkahnya terhenti, ketika Risha dengan seluruh kekuatannya berkata, “Kalau begitu, tolong berhenti menemui kekasihmu itu, Mas.” “Apa maksudmu?” tanya Adhitama saat melihat kilatan emosi dari tatapan mata Risha. “Mungkin Mas pikir aku ini wanita bodoh. Aku tahu kalau Mas Tama selama ini sering menemui seorang wanita di Jogja, wanita itu ‘kan yang selalu ada di dalam hatimu, Mas!” balas Risha sengit karena merasa Adhitama masih berpura-pura bodoh. Adhitama diam, ekspresinya menggelap. “Kamu mengira aku berselingkuh darimu?” “Memang apa namanya kalau bukan selingkuh? Setiap kali pergi ke Jogja Mas Tama tidak pernah menjelaskan apa-apa, tapi sikap Mas belakangan cukup membuktikan kalau memang ada wanita lain di hati Mas!” bentak Risha lagi. Adhitama menghela napas kasar, dia sejatinya sadar siapa wanita yang dimaksud oleh Risha. Namun, menjelaskannya pada Risha hanya akan membuang waktunya. Lagipula ia tidak berselingkuh. Buat apa menjelaskan sesuatu yang tidak benar? “Kenapa Mas Tama diam? Mas Tama pasti tidak menduga kalau aku bisa mengetahui perselingkuhan Mas,” ucap Risha. Adhitama membuang muka, dia sudah malas berdebat. Ia tak memiliki banyak waktu. Kali ini Risha tidak akan mengalah dan menyerah, namun tiba-tiba kepalanya sangat pusing. Risha berusaha menggapai meja pajangan agar tidak terjatuh. Di saat yang sama Risha juga mendengar suara ponsel Adhitama berdering. Apakah Risha bisa berharap Adhitama akan membantunya yang hampir jatuh? Suaminya itu lebih memilih menerima telepon. Dalam kekuatannya yang mulai menipis, Risha bahkan mendengar Adhitama berjanji malam ini akan sampai di Jogja. Risha tidak tahu siapa yang menelepon, tapi ia yakin penelepon itu pasti selingkuhan Adhitama. ‘Dia benar-benar tidak punya perasaan,’ batin Risha di dalam hati. Sakit hati makin merajai hati Risha saat melihat ekspresi wajah Adhitama yang terlihat panik. Sejurus kemudian, pria itu meninggalkannya begitu saja tanpa pamit. “Dalam keadaan seperti ini saja Mas Tama lebih memilih wanita itu dibandingkan denganku. Lalu aku ini sebenarnya dia anggap apa?” Risha memejamkan mata menahan rasa sakit yang begitu menekan. Risha sudah tidak tahan lagi. Wanita itu tak peduli lagi. Setelah menenangkan diri untuk beberapa saat, ia mulai mengambil koper miliknya dan memasukkan pakaiannya ke sana. Lebih baik, ia pergi dari rumah yang terasa seperti neraka ini. Risha melajukan mobilnya tanpa arah. Sesekali mengusap mata, mengingat perjalanannya mengarungi bahtera rumah tangga bersama Adhitama dua tahun ini. Adhitama memang dingin. Suaminya tidak pernah menunjukkan perhatian atau rasa simpati pada orang lain. Namun, melihat perhatian Adhitama tadi pada wanita itu, membuat Risha sadar kalau pria itu ternyata bisa perhatian pada orang yang sangat dicintainya. “Sevia, namanya Sevia.” Risha bergumam mengingat ucapan Niki soal identitas wanita itu. Hati Risha hancur saat memikirkan kemungkinan bahwa Adhitama sudah berhubungan dengan Sevia sejak lama. Menurut informasi dari Niki, tetangga sekitar rumah Sevia bahkan menyebut wanita itu dan Adhitama adalah pasangan suami istri. “Lalu kenapa Mas Tama mau menikah denganku? Kenapa Mas Tama tidak menolak perjodohan kami?” Risha seketika membelokkan kemudi lantas berhenti di bahu jalan, dia tak bisa menahan rasa sakit di hati. Risha menunduk pilu, menangis sejadi-jadinya. Dan belum juga rasa sesak itu mereda, sebuah pesan masuk ke ponsel Risha. [Kak Risha, ini Sevia. Apa kakak ada waktu? Aku ingin bertemu.]Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,