“Jangan berpikir seperti itu, Tam. Kamu harus yakin kalau kalian ditakdirkan untuk bersama selamanya. Aksa sangat mencintaimu. Mana bisa dia hidup tanpa kamu? … Tidak usah berpikir macam-macam. Fokus saja dengan pertemuan sebentar malam,” ujarku sambil mengusap lembut lengan Utami. Sambil tersenyum, aku lanjut berkata, “kamu harus yakin kalau kalian berdua akan berjodoh. Aksa hanya pantas untuk kamu dan kamu sangat pantas bersanding dengan Aksa.” Aku menghapus airmata dari wajah Utami. Namun, berusaha tidak mengganggu penglihatannya. Utami masih mengendara. Kalau tanganku menghalangi pandangannya, bisa bahaya. Utami nampak datar saja. Ya aku tahu, dia pasti masih memikirkan tentang mimpinya. Semangat dariku belum tentu bisa menanangkan. Entah mengapa ada yang aneh denganku setelah mengucap kalimat itu. Bibir tersenyum namun hati terasa sakit saat mengucap kata “kalian berdua akan berjodoh” untuk Utami dan Aksa. Tidak boleh terjadi! ini pasti hanya perasaan aneh biasa. Aku tidak mung
Utami tidak membalas perkataanku. Sepertinya dia tak ingin berdebat. Aku pun kini memilih untuk diam. Tanpa berkata, Utami mengeluarkan mobil dari parkiran. Aku tidak bisa menebak raut wajahnya. Dia tidak terlihat marah. Namun, tak juga nampak kecewa. Kini laju mobil sudah menjauh dari area Pasar Kota. Aku melirik Utami yang masih saja diam. Bibirku pun bersuara, “Tam, kamu marah ya sama aku?” Utami melihatku sejenak, lalu kembali fokus melihat jalan. “Aku lapar, Del. Nggak semangat untuk bicara. Kamu mau kita makan di mana? Ini sudah jam tiga lewat dan kita belum makan.” “Aku pikir kamu marah. Terserah kamu, kita makan di mana. Aku mengikut,” ujarku dengan senyum di wajah. Kini perasaan telah lega. “Tetapi sebentar aku traktir kamu ya. Awas saja kalau nanti kamu bayar sendiri lagi … Kalau kamu berani melakukan itu, aku akan menurunkan kamu di jalan.” Utami berkata dengan raut tanpa senyum. “Haha … baik, Bos. Kalau begitu aku ingin makan yang enak. Mumpung di traktir.” Sepertinya
“Kamu harus mau, Del. Aku tidak ingin mendengar penolakan. Malam ini adalah malam yang istimewa untuk aku dan Aksa, jadi kamu juga harus tampil cantik.” Sepertinya Utami sengaja membuat aku kesal. Ahh … masa iya aku harus memakai make up. Padahal selama ini aku selalu menghindar dari urusan berhias. Di hari pernikahan saja, aku sengaja tampil tanpa polosen bedak. Apalagi ini untuk hari bahagia Utami dan Aksa. Ya Allah, bagaimana cara aku menolak keinginan Utami? Aku sangat tidak ingin terlihat cantik. Selama ini, aku sudah puas dengan penampilan memakai kaca mata besar dan hijab yang menutupi rambut. Hampir empat puluh menit, aku masih saja terdiam. Lewat raut wajah, aku ingin mengatakan pada Utami jika tidak suka dengan rencananya. Tetapi, sepertinya dia tetap ingin melakukan rencana itu. Buktinya kini kami sedang melangkah memasuki sebuah salon. Utami tidak berkata apapun, dia hanya menarik tanganku. Menuntun untuk masuk. Ingin menolak, tetapi takut Utami akan kecewa. “Kamu duduk
“Kak, maaf … ini …” ujarku dengan mata membola melihat pantulan wajah yang telah selesai di make up. “Gimana, Kak? Ada yang masih kurang?” tanya karyawan salon sambil tersenyum. “Kenapa jadinya begini, kak? Ini terlalu tebal.” Aku sudah tidak peduli, karyawan ini akan tersinggung atau tidak dengan ucapan. Bibir tak mampu lagi berkata melihat keadaan wajah lewat pantulan cermin. Apa ini perintah Utami? Tadi aku belum mengatakan apapun ingin di make up bagaimana. Ya, ini pasti perintah Utami. Tetapi, tidak mungkin dia menyuruh karyawan salon untuk merias wajahku setebal ini. “Aduh gitu ya, Kak. Tetapi tadi aku di-,” “Udah, Kak. Nggak apa-apa kok. kalau sudah selesai, bolehkah aku mengganti baju sekarang?” tuturku yang memotong perkataan karyawan. Aku tidak ingin dia melanjutkan ucapannya. Rasanya tidak sanggup jika karyawan ini mengatakan Utami yang menyuruhnya. Utami tahu kalau aku tidak suka memakai make up. Kenapa dia justru menyuruh karyawan untuk merias wajahku seperti ini? Mem
Utami menggenggam erat tanganku. Aku meliriknya, lalu kembali melihat Aksa. Lelaki itu kini menunduk. “Del, kamu nanti duduk di sampingku ya,” ujar Utami yang masih menunduk. “Iya, Tam.” Aku menjawab dengan suara pelan karena kini aku dan Utami sudah sangat dekat dengan Aksa dan orangtua Utami. Aksa berdiri lalu menggeser kursi agar Utami bisa duduk. Aku tidak ingin peduli dengan perlakuan Aksa pada Utami. Aku menggeser sendiri kursi agar bisa duduk. Aku duduk di peratara Utami dan Tante Ani. Utami sepertinya sengaja memilih restoran yang menyediakan meja bundar. Kalau duduknya saling berhadap-hadapan, aku akan merasa sangat canggung. Di atas meja sudah tersedia berbagai macam hidangan. Mungkin Utami yang sudah memesan semua ini. Rencana Utami dan Aksa memang sangat matang. Mereka menyusun pertemuan ini dengan rapi sehingga terkesan mewah. Kami semua mulai menyantap hidangan. Utami mencairkan suasana dengan bercerita tentang hubungannya dan Aksa. Sedangkan Om Farhan hanya menyima
“Iya, nggak apa-apa. Tetapi sebelum diadakan acara pertunangan kalian, orangtuamu harus sudah bertemu dengan kami.” Om Farhan kembali mengingatkan Aksa. Orangtua mana yang di maksud oleh Aksa? Aku sangat yakin kalau Pak Candra tidak tahu tentang hubungan Aksa dan Utami. Karena yang Pak Candra tahu, aku adalah istri anaknya. Apa mungkin Aksa akan menyewa orang lain untuk berpura-pura menjadi orangtuanya? Aku yakin jika dia tidak akan berani jujur tentang hubungannya bersama Utami pada Pak Candra. Tak ingin ketahuan jika sedang menatap Aksa, aku langsung mengalihkan pandangan ke Tante Ana. Saat ini Tante Ana sedang berbicara tentang konsep acara pertunangan sesuai keinginanya. Dia mau pertungan diadakan dalam hotel dan mengundang banyak tamu. Sebagai orangtua, yang dikatakan Tante Ana sangat wajar. Dia pasti ingin melakukan yang terbaik untuk Utami. “Tetapi kami rencananya mau acara pertunangan yang sederhana saja, Ma. Soalnya kami berdua kan masih kuliah. Aku juga tidak akan mengund
Kini aku telah berada di pinggir jalan. Ternyata menunggu taksi di malam hari tidak mudah. Dari tadi aku berdiri di depan jalan, tetapi belum ada juga taksi yang lewat. Mungkin di sini bukan jalanan yang sering dilewati oleh taksi. Aku sudah melepas high heels dan memilih tidak memakai alas apapun di kaki. Aku bukan perempuan yang biasa menggunakan high heels. Lebih memilih keluar dari dalam restoran dengan berjalan kaki. Saat ini kakiku terasa sangat pegal. Sudah hampir satu jam aku menunggu. Tetapi, belum ada juga taksi yang lewat. Aku sudah tidak bisa berjalan kaki untuk mencari lokasi yang lebih memungkinkan di lewati oleh taksi. Sekarang sudah jam sepuluh lewat. Bagaimana kalau nanti ada orang jahat? Lebih baik aku tetap berada di sini, karena di sekitar sini masih banyak penjual yang belum menutup toko. Aku menoleh saat bunyi klakson terdengar. Sebuah mobil berhenti di depanku. Aku langsung teringat Pak Firman. Dosen aneh itu pernah menolong, saat aku butuh. Apa pemilik mobil
Setelah berkata, Aksa langsung masuk ke dalam mobil dan melaju. Dia tidak peduli padaku yang sedang menangis tersedu-sedu. Aku terduduk lemah di tanah. Entah apa yang terjadi denganku nanti? Kata orang ketika lewat jam dua belas malam, di taman ini banyak orang jahat. Tetapi sudahlah, aku tak peduli lagi. Aku pasrah! Bahkan jika malam ini mata tidak lagi melihat dunia, aku justru bersyukur. Dengan begitu, tidak ada lagi rasa sakit karena di tuduh tentang sesuatu yang tidak pernah aku lakukan. Dan dengan begitu, Aksa akan puas. Dia bisa hidup bahagia bersama Utami. Aku berada di sini sudah lebih dari lima belas menit. Belum ada keinginan untuk pulang, karena masih merasa sangat rapuh. Kaki pun tidak mampu untuk berdiri. Badan masih terduduk di tanah, bertumpu pada kedua kaki yang terlipat kebelakang. Aku tidak mungkin pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Lagi pula ini sudah larut malam. Kalau Pak Candra bertanya dari mana. Aku mau jawab apa. Tidak mungkin aku mengatakan kalau b