INICIAR SESIÓNSetelah ibunya meninggal dan seluruh harta habis untuk pengobatan, Cindy tidak punya tempat pulang. Kontrakan sudah jatuh tempo, tabungan ludes. Satu-satunya pintu yang masih bisa ia ketuk hanyalah… rumah mantan suaminya. “Jangan lagi-lagi kamu lari pakai handuk doang. Kalau lepas gimana?!” bentaknya. Cindy membalas, “Kayak kamu gapernah liat aku gapakai aja!” Tinggal serumah lagi membuat pertanyaan perceraian lama muncul, tatapan Nathan yang terlalu panas, sentuhan yang tidak sengaja, jarak yang makin tipis setiap malam, dan kebiasaan Nathan yang tidak pernah Cindy tahu selama menikah.
Ver másTubuh Cindy lemas saat ia berjalan ke ruang jenazah. Tangannya bergetar ketika menyentuh pintu dingin itu, membuka perlahan, melihat wajah ibunya—wajah yang selama hidup selalu menenangkan—kini diam tanpa napas.
“Mama…” bisiknya. “Kenapa ninggalin aku?” Hanya kata itu yang berhasil keluar, sisanya tenggelam bersama tangis yang tidak ia tahan lagi. Tangis yang selama ini ia tahan karena harus kuat, harus bekerja, harus mencari uang, harus bolak-balik rumah sakit tanpa mengeluh. Tiga hari terakhir hidup Cindy rasanya seperti kertas yang diperas habis-habisan. Tangis yang akhirnya pecah setelah semua perjuangannya berakhir pada satu garis datar di monitor jantung. Ia memeluk tubuh ibunya yang sudah tak bergerak, menggigil karena ruang jenazah terlalu dingin, tapi jauh lebih dingin lagi kenyataan bahwa dunia tidak menyisakan siapa pun untuknya. Selama enam bulan terakhir, hidup Cindy bukan hidup—melainkan maraton panjang antara kelelahan dan harapan. Ia menjual ruko kecil satu-satunya warisan Mama. Ludes. Ia menjual mobil BMW putih—yang dulu dibeli Nathan saat masih menjadi suami. Laku, tapi tak bertahan lama. Ia menjual perhiasan, lemari, AC, bahkan koper kesayangannya. Setiap rupiah masuk, habis untuk obat, kemoterapi, rawat inap, transfusi, tindakan darurat yang datang tiba-tiba—seperti monster lapar yang tidak pernah kenyang. Terkadang ia pulang dari kantor dengan langkah gemetaran, langsung menuju rumah sakit, duduk di samping ranjang ibunya sampai subuh. Lalu ke kantor lagi tanpa tidur. Pekerjaannya berantakan. Laporan telat. Fokus hilang. Atasan mulai protes. Tubuhnya pun ikut menyerah. Cindy sempat tumbang di koridor rumah sakit dan dirawat dua hari. Badannya makin kurus, pipi cekung, dan mata sembab. Tapi ia terus bangkit. Karena yang ia takutkan bukan dirinya hancur—melainkan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya. Namun tetap saja… itu terjadi. Kini semuanya benar-benar sunyi. Pemakaman selesai. Para pelayat pulang. Kantor mengizinkan cuti tapi tagihan tetap berjalan. Kontrak tempat tinggal hampir habis. Uang tabungan nihil. Ruko sudah tak ada. Mobil sudah berpindah tangan. Hanya beberapa koper berisi pakaian yang tersisa—dan itu pun sudah koyak mentalnya melihatnya. Cindy berdiri sendirian di depan makam ibunya yang tanahnya masih basah. Angin sore menampar wajahnya pelan, seperti mencoba menyadarkan bahwa ia sudah masuk babak hidup yang berbeda. Lebih sepi. Lebih dingin. Lebih menakutkan. Tak ada saudara, tak ada kawan untuknya. “Mama…” ucapnya dengan suara kecil. “Maafin Cindy…. Cindy udah berusaha semaksimal Cindy. Padahal aku udah jual semua yang aku punya.” Ia tersenyum getir, air mata jatuh lagi tanpa permisi, mengusap wajah, tubuhnya bergetar. Sudah tidak ada lagi yang menunggu di rumah. Tidak ada lagi tempat tidur. Tidak ada makanan hangat. Tidak ada suara yang memanggilnya “Nak.” Tidak ada siapa-siapa. Tapi sekarang… ia butuh seseorang. Seseorang yang pernah jadi rumah. Cindy menutup mata, menarik napas panjang. Rasanya pahit sekali mengingat pria itu lagi. Pria yang dulu ia tinggalkan, yang dulu ia benci, yang dulu ia kira tidak akan pernah ia hubungi lagi. Tapi sekarang Ia tidak punya pilihan. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Dan entah kenapa, dari semua nama di dunia, hanya nama itu yang muncul ketika ia benar-benar terdesak. Dan di tengah angin sore dan tanah merah yang masih baru, itulah pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. * Usaha Cindy pun mengalami kebangkrutan, mengharuskan ia menutup toko tas dan pakaiannya yang selama ini bisa menopang hidupnya. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur sambil memeluk bantal erat-erat sebelum akhirnya memaki temannya itu. Sebuah retakan kaca terdengar pelan. Foto ibunya jatuh dari meja. Cindy langsung tersentak, bangkit dengan wajah penuh air mata dan mengambil bingkai foto itu dengan kedua tangannya yang gemetar. “Mama… aku nggak tahu mau ke mana lagi…” ucapnya lirih sambil mengusap wajah sang ibu di foto. Suaranya pecah. “Harapan aku cuma sama uang itu… buat pindah kontrakan…” Cindy menatap layar ATM di ponselnya. Angka yang tertera membuatnya terdiam lama—saldo itu hanya cukup untuk makan beberapa hari dan ongkos pergi ke kantor. “Besok pagi udah harus pindah dari sini… tapi aku ke mana?” ucap Cindy sambil mengusap wajahnya, napasnya tersengal karena panik. Tiba-tiba satu nama terlintas di kepalanya. Ia menatap kosong ke lantai, lalu perlahan mengangkat wajahnya ke cermin. Cindy memegang sisi cermin, seolah mencari kekuatan dari pantulan dirinya sendiri. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada keluarga lain. Tidak ada teman yang cukup dekat untuk dimintai bantuan. Ada satu. Ia menelan ludah, matanya berkaca-kaca. “Tapi cuma dia yang aku tahu…” bisiknya lemah, seolah mengakui betapa terpojoknya ia saat ini. Ia segera bergegas mengisi ransel kuningnya dengan barang keperluannya. Setelah semuanya tertata, Cindy berdiri dengan berkacak pinggang, menatap tiga tas itu seolah sedang menilai kesiapan hidupnya yang baru. “Udah semua,” gumamnya, mengangguk kecil demi meyakinkan diri sendiri. Ia melirik jam di ponsel. “Jam sepuluh malam… kayaknya belum tidur. Paling lagi main game atau nonton bola,” ucap Cindy sambil menghela napas panjang. Dengan tekad yang agak goyah namun tetap memaksa kuat, ia memesan taksi dan meninggalkan kontrakan yang sudah tak sanggup ia biayai lagi. Sampai di depan pagar, Cindy berhenti sejenak. Udara malam terasa menusuk dada. Ia merapikan rambutnya, menyelipkannya ke belakang telinga. Celana jeansnya sedikit kedodoran di pinggul, membuat ia menarik pinggangnya naik. Kaos crop top putih menampilkan perut ratanya—dan getaran gugup di dadanya. Dalam perjalanan, lampu jalan memantul di kaca jendela, menerangi wajah Cindy yang penuh keraguan. Ia menggigit bibir, memeluk tas kecilnya erat-erat. Tiba di gedung apartemen mewah yang pernah ia tempati bertahun yang lalu, Cindy menegakkan bahunya, menyeret koper dan tasnya masuk ke lift tanpa ragu. Ia menekan tombol lantai penthouse, dan jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Lift bergerak naik, terasa lambat luar biasa. Saat pintu lift terbuka, lorong sunyi menyambutnya. Hening, dingin, dan mahal. Cindy menelan ludah, lalu mempercepat langkah sampai akhirnya berhenti tepat di depan pintu penthouse. Ia menarik napas dalam—sangat dalam menatap kiri dan kanan, cemas. Kepanikannya mulai naik. Baru beberapa detik, pintu terbuka dan muncullah sosok Nathan—bertelanjang dada, rambut acak, wajah lelah seperti habis mandi atau habis tidur. Cindy langsung membeku. “M-mas?” suara Cindy tercekat. Wajahnya memanas, mata langsung menunduk melihat dada mantannya yang begitu… jelas.“Kenapa, emangnya kalau aku keluar pakai handuk?” Cindy menatapnya kuat walau lebih khawatir handuk yang ia pakai mulai melorot. “Pokoknya…” Nathan mengusap keningnya, terlihat mencari kalimat yang tepat untuk menahan dirinya sendiri. “Pokoknya kamu...” ucap Nathan dengan nada heran ketika menyadari Cindy sudah menghilang dari hadapannya. loh? Udah kabur aja? Belum juga selesai dikasih tahu.” Sementara itu, di dalam kamar, Cindy menutup wajah dengan kedua tangannya. Jantungnya berdebar-debar dan ia mencoba menenangkan dirinya. “Aduh… aduh, malu banget. Nanti dia pasti mikir yang… ih, nggak, nggak, nggak! Jangan sampai itu kejadian. Aku nggak mau,” gumamnya cepat, wajahnya memerah. “Tujuan aku cuma numpang sebentar. Kalau udah dapet kerjaan, aku cabut dari sini,” lanjutnya, mencoba meyakinkan diri meski jantungnya berdetak kacau. Nathan melangkah ke balkon, menahan napas panjang sambil menatap langit pagi. Ia mengusap wajahnya pelan, seolah mencoba menenangkan badai keci
“Mas? Buka pintunya!” Cindy berteriak sambil mengetuk pintu kamar Nathan berkali-kali. Napasnya naik turun, wajahnya merah karena kesal. “Kamu sendiri yang usir aku, tapi kenapa aku nggak bisa keluar dari rumah ini?!” Handle pintu kamar bergerak. Cindy buru-buru mundur dua langkah. Pintu terbuka, memperlihatkan Nathan berdiri dengan wajah datar dan rambut sedikit berantakan. “Kamu berisik. Ini udah malam,” ucap Nathan tenang, seolah tidak terganggu teriakannya. “Kamu tuh aneh!” Cindy melipat kedua tangannya, bibirnya manyun penuh amarah. “Kamu jelas-jelas usir aku, tapi kenapa kamu nggak izinkan aku keluar dari rumah kamu ini?!” “Ini udah malam,” jawab Nathan singkat. Ia hendak menutup pintu, tapi Cindy buru-buru menahannya dengan telapak tangan. “Mas, jawab pertanyaan aku! Kenapa aku nggak boleh pergi dari sini?!” tanya Cindy lagi, kini lebih putus asa daripada marah. “Siapa yang nggak bolehin?” Nathan balik bertanya pelan, tatapannya menusuk. “Loh, jelas kok!” Cindy m
“Cindy.”Suara itu berat, datar, dan datang dari arah dapur.“Kamu sini.”Cindy membeku di depan pintu. Sial. Harusnya dia selesai sebelum Nathan turun.Laki-laki itu berdiri di ambang pintu, lengan bersedekap. Tatapannya tidak marah, tapi tajam… terlalu tajam untuk pagi yang seharusnya tenang.“Kamu… nyuci bajuku?”Nada Nathan pelan, tetapi menusuk.Cindy menelan ludah. “Aku cuma…, sekalian aja. Mesin cucinya juga kosong.” Ia mencoba tersenyum santai, tapi senyumnya pecah di tengah jalan.Nathan melangkah mendekat. “Kapan terakhir kali kamu nyuci baju di rumah ini?”Cindy mengalihkan pandangannya. “Empat bulan sebelum kita cerai.”“Jadi kenapa sekarang kamu—”“Karena aku tinggal numpang di sini, Nathan.” Cindy memotong dengan cepat, suara rendah namun getir. “Aku nggak mau cuma makan tidur. Biar aku kerjain apa pun yang aku bisa.”Keheningan menggema. Nathan menatap keranjang cucian itu lama, seakan menimbang sesuatu.“Cindy,” katanya akhirnya, lebih lembut dari yang ia maksudkan. “A
Bip.Kode pintu terbuka disusul langkah kaki.Nathan baru pulang dari kantor. Penampilannya masih rapi, hanya rambutnya sedikit acak karena hari panjang. Dengan langkah gontai, ia berjalan masuk. Namun langkah itu terhenti saat matanya menangkap pemandangan tak terduga.Perempuan itu. Tertidur pulas, memeluk bantal, rok mininya tersingkap begitu jelas—terlalu jelas untuk ukuran kesabaran Nathan setelah seharian bekerja. “Dia tuh… bisa nggak sih pakai baju yang nggak gini?” ucap Nathan pelan dengan raut bingung, antara mau menatap atau pura-pura acuh. Tapi tatapannya tidak acuh. Tidak sama sekali. Nathan menarik napas panjang.Ini bukan pertama kali ia melihat Cindy begitu, tapi karena hubungan keduanya juga bukan baik, mengapa degupnya aneh? Perlahan, ia melangkah mendekat. Setiap langkah terasa berat dan berbahaya. Semakin dekat, semakin ia merasakan aroma lembut parfum Cindy yang membuat tengkuknya menegang. Nathan berjongkok pelan di samping sofa. Tangannya sempat ragu di ud












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reseñas