Selamat malam semua. Terimakasih yaa ... telah menjadikan novel "Aku Istri Kekasih Sahabatku" sebagai novel yang kalian baca. salam sayang untuk kalian semua!
Pandangan Utami tertuju padaku. Sedangkan Aksa, dia diam dan matanya melihat ke arah lain. Aku tidak bisa menebak raut wajah Aksa saat ini. Mungkin dia ingin marah, tetapi tidak bisa. Karena sekarang adalah acara yang sangat sakral untuknya. “Yang bernama Mentari Delisia mohon segera ke atas panggung.” Pembawa acara kembali mengulang kalimat yang sama. Aku menarik napas pelan, lalu menghembuskan. Aku juga memejamkan mata sejenak. Lalu dengan langkah pelan mulai berjalan. Tak ingin membuat orang menduga-duga apa yang sedang terjadi. Aku melangkah sambil menundukan kepala. Jika bisa, saat ini aku ingin menyembunyikan wajah! Aku terus berjalan. Hingga langkah sudah dekat dengan panggung, aku langsung mengangkat wajah dan tersenyum lembut pada Utami. Dia juga ikut mengukir garis indah di bibir. Aku sengaja tidak ingin melihat wajah Aksa. Aku kini sudah berdiri di dekat Utami. Acara telah di mulai. Orangtua Utami memberi sepatah kata, hingga dua orang asing yang tidak pernah aku lihat j
Kini aku telah berada di Rumah. Aku pulang menggunakan taksi. Setelah pesta pertunganan selesai, aku langsung meminta izin pada Utami dan orangtuanya untuk pulang. Aku ingin tidur cepat karena mulai besok akan memata matai Aksa. Rencanaku sudah bulat. Aku harus tahu dimana Apartemen Aksa. Karena hanya di sana, aku bisa bicara dengan puas pada Aksa. Jika di rumah, aku takut suara kami di dengar oleh Pak Candra atau para asisten. Tidak mungkin kami bisa bicara baik-baik. Firasatku mengatakan jika Aksa akan meluapkan segala kesal karena aku hadir di pesta pertunangannya. Detik jam terus berputar. Hari telah berganti. Perkuliahan baru saja selesai. Aku juga sudah selesai sholat ashar. Tanpa menunggu lama, aku langsung memesan kendaraan online yang bisa ditumpangi. Aku rasa uang lima ratus ribu di dompet, sudah cukup untuk membayar biaya kendaraan yang mau mengantarku mengikuti Aksa. Rencananya aku akan mengikuti Aksa dari belakang. Sedikit grogi karena ini pertama kali aku memata-matai s
Aku masih diam tak berkutik, hanya memandang mata Aksa yang melihatku tajam. Ya Allah, kuat kan aku untuk berbicara dengan laki-laki ini! Gerakan bibir ini, agar fasih berucap! Aku sudah berada di hadapannya. Tidak mungkin pulang sebelum mengeluarkan semua gundah dihati. “Dari mana kamu tahu apartemenku? … Dan kenapa kamu datang ke sini?” Aksa kembali berkata. Nada suara yang pelan namun penuh ketegasan. Tatapannya masih sama, penuh amarah. Aku harus bisa. Jangan sampai Aksa menutup pintu dan aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Apalagi dia sudah tahu kalau aku mengetahui tempat tinggalnya yang lain. “Aku ingin bicara serius dengan kamu, Aksa. Ini penting dan semua harus kita bicarakan,” tuturku sambil menatap Aksa. Aku tidak boleh lemah di hadapan lelaki ini. Jika itu terjadi, aku yakin dia akan puas menertawaiku dalam hatinya. “Kita? Aku tidak ingin berbicara denganmu. Lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tidak punya waktu berbicara dengan perempuan seperti
Aku terus melangkah menuruni tangga. Sesekali menghapus airmata yang masih berjatuhan dari kelopak. Tidak ingin ada yang mengira aku kenapa-napa. Hingga tiba di depan gedung Apartemen, aku langsung menghentikan taksi yang melaju. Untung saja saat tiba di sisi jalan, ada taksi yang lewat. Aku sangat murka dengan semua yang Aksa katakan. Dia belum pernah melihat aku semarah ini. Mungkin selama ini Aksa pikir, aku hanya perempuan lemah yang tidak bisa marah. Ya, itu benar, aku memang bukan seorang perempuan pemarah. Hanya saja, aku tidak bisa terus diam di perlakukan seperti ini. Handphone yang ada di dalam tas berdering. Terlihat jelas di layar, terpampang nama Utami. Kenapa Utami meneleponku sekarang? Saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya. Aku tidak mengangkat, hanya mengecilkan volume dering agar tidak menggangguku. Tak di sangka, Utami kembali memanggil. Dengan rasa yang malas, aku pun menggeser gambar telepon yang ada di layar. “Assalamualaikum, Tam!” u
“Kamu sudah siap kan untuk pindah? Nanti di bantu oleh Asisten. Ayah belum memberi tahu Aksa tentang ini. Rencananya besok saja. Yang penting kamu sudah tahu,” ujar Pak Candra sambil tersenyum lembut padaku. Aku membalas senyuman Pak Candra. Meskipun hati diliputi rasa gundah. Aku lalu menunduk. Tidak mampu melihat sosok wajah, yang sejak ijab kabul – resmi menjadi ayah mertuaku. Ya Allah, apakah engkau tidak meridhoi rencana perceraianku dengannya? Apakah Aksa itu jodohku? Kalau dia memang jodohku, kenapa engkau tidak memberikan rasa cinta dari Aksa untukku? Kenapa aku harus merasa bersalah karena mencintai lelaki yang dihatinya ada wanita lain? “Nak, kamu harus sabar ya, menghadapi sikap Aksa. Kalau dia berbuat kasar ke kamu, lapor saja ke ayah.” Aku menatap Pak Candra sejenak. Kenapa menasehatiku seperti ini? Apa mungkin dia curiga, kalau selama ini Aksa sudah banyak menyakitiku? Pak Candra – ayahnya Aksa, beliau mungkin bisa merasakan apa yang dilakukan Aksa padaku. Aku belum
Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Saat ini aku tidak mungkin menyampaikan apa yang ingin aku katakan. Pak Candra akan kaget dan tidak mungkin setuju dengan keinginanku. Rasanya serba salah!“Ayah, aku ke kamarku dulu ya. Aku baru ingat kalau ternyata ada tugas kuliah yang belum aku kerjakan. Besok tugas itu sudah harus di kumpulkan.” Aku berkata sambil tersenyum lembut.“Del, tunggu! Ayah ingin bertanya, sebelum kamu kembali ke kamar. Apa kamu sudah tahu tentang apartemen Aksa?”Aduh, aku harus jawab apa nih? Dari tadi pertanyaan ini yang aku takutkan jika ditanyakan oleh Pak Candra. Kalau aku jawab kalau tahu, bisa saja ‘kan Pak Candra kecewa. Karena sedari tadi aku hanya diam saja. Namun, jika aku jawab tidak tahu. Masa iya, ada seorang istri yang tidak mengetahui jika suaminya punya apartemen lain. Dan masalahnya di sini adalah, yang Pak Candra tahu hubunganku dengan Aksa baik-baik saja.Aku tidak mungkin mengatakan jujur ke Pak Candra sekarang. Meskipun sebenarnya saat ini adal
Setelah menutup pintu kamar Pak Candra, aku langsung melangkah cepat. Rasanya ingin segera tiba di dalam kamar. Ada tangis yang ingin segera dikeluarkan. Ada keluh yang ingin dilampiaskan.“Kenapa takdir ini sangat tidak adil untukku? Kenapa di saat aku niat bercerai, takdir justru menginginkan kami untuk tinggak satu atap. Aku tidak mau, Ya Allah! … Aku tidak mau tinggal berdua dengan Aksa.” Aku berkata lirih di hadapan cermin. Mengajak pantulan diri bersuara. Tetapi, itu diriku – hanya omong kosong ketika mengajak diri sendiri untuk mendengarkan keluh.“Ya Allah, rasanya aku ingin gila. Kenapa aku tidak di takdirkan untuk menjadi orang gila saja? Kenapa aku harus tetap waras padahal ujian yang harus aku lewati seberat ini? … Aku tidak kuat! Aku tidak sanggup!” Aku terus berkata lirih sambil sesegukanSatu jam aku berdiri di depan cermin. Berharap Allah mengabulkan doa agar aku menjadi gila. Berharap besok ketika bangun dari tidur, semua masalah telah selesai. Dan berharap saat hari
Aku menutup mata sejenak. Menarik napas lalu menghembuskan. Tangan pun membuka pintu mobil. Aku tidak yakin bisa menang melawan Aksa. Nyaliku ciut mendengar suara lantang Aksa yang membentak. Dengan gerak yang lambat, aku keluar dari mobil. Tak Lama kemudian, Aksa juga ikut turun dari mobil.“Cepat jalan! Kamu di depan, aku di belakang,” ujar Aksa sambil menatapku. Memancarkan aura ingin membunuh.“Aku tidak tahu jalan menuju apartemen kamu kalau lewat sini. Kemarin aku lewat depan!” Aku berkata pelan sambil menunduk.“Ya ampun … Dasar perempuan bodoh! Ikut aku, jangan coba lari dari sini!”Setelah berkata, Aksa langsung melangkah. Aku ingin berlari pergi. Hanya saja, ada rasa takut jika Aksa marah dan semakin berbuat hal nekat padaku.“Jangan coba-coba berpikir untuk kabur, Del! Kamu akan tahu akibatnya kalau nekat melakukan itu! Aku tidak bisa menarik tanganmu, karena di sini banyak cctv.”Aksa mengucapkan kalimat yang seolah menjawab pertanyaanku. Ya sudah! Tak apa aku ikuti dia.