Terdengar napas berat ibu di telingaku. Alisku pun mengerut. “Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.” “Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Soalnya Aku mau keluar. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak. Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit. Sampai kapan aku terus berbohong? Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa dan dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik
“Ayah senang kamu bisa meniru sifat ayah ke ibumu. Jadi suami itu harus baik pada istri. Karena, jika perasaan istri terluka sedikit saja, hidupmu tidak akan tenang. Rezeki itu tergantung ridho istrimu. Kalau istrimu selalu bahagia dan merasa senang, maka kamu akan mudah menjalani hidup. Kamu harus dengar baik-baik semua nasehat ayah. Tapi, jangan hanya di dengar, kamu juga harus lakukan,” ucap Pak Candra dengan senyum diwajahnya. Aku melihat wajah Aksa. Dia nampak biasa saja. Aku sangat merasa canggung berada di antara mereka. Aksa yang aku kenal, namun seperti orang asing saat ini. Sedangkan Pak Candra, aku belum terlalu mengenalnya. Aku tidak bisa menjadi perempuan yang sok akrab. Sangat sulit buatku bisa dekat dengan orang yang baru. Apalagi harus berbicara basa-basi. Dalam pikiran, aku membayangkan jika lawan bicaraku tidak suka dengan topik pembahasan yang sedang aku ucapkan. Rasanya itu sunggu memalukan dan tidak enak di hati. Ya, aku adalah tipe perempuan yang tidak enakan.
Kakiku masih terus melangkah. Pikiran menyuruh untuk pulang sendiri. Tetapi, hati ingin sekali berbicara berdua dengan Aksa. Saat tiba di lobby rumah sakit, aku kaget karena melihat Aksa yang sedang berdiri. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Apakah Aksa menungguku? Oh itu tidak mungkin. Tetapi, siapa yang dia tunggu? Aku melangkah dengan pelan. Kini jarak antara aku dan Aksa sudah tidak terlalu jauh. Tidak lama kemudian mataku terbelalak dan langkahku terhenti melihat perempuan yang menghampiri Aksa. Siapa lagi kalau bukan Utami. Sahabatku itu sekarang sedang bergelayut manja di lengan Aksa. Aku ternyata salah. Alasan Aksa ingin cepat pergi dari ruang inap tadi, bukan karena tidak ingin terlalu lama dekat denganku. Ada alasan yang lebih penting baginya. Harusnya aku tahu dan bisa menebak, jika Aksa ingin bertemu Utami. “Delisia, kok kamu ada di sini?” ujar Utami saat berbalik dan mendapati aku ada dibelakang dia dan Aksa. Aku melirik Aksa. Lelaki itu membuang muka. Dia sepert
Bus terus melaju. Aku memandang keluar jendela. Ingatan tidak bisa secepat itu lupa dengan pesan yang dikirimkan Aksa. Kenapa lelaki itu harus marah. Padahal kan Utami tidak sadar dengan lirikanku. Bisa saja Utami berpikir kalau aku sengaja melihat Aksa karena memang ada Aksa di sampingnya. Bukan lirikan yang aneh-aneh. Ada getaran dalam tas kecil yang aku bawa. Tanganku langsung mengambil. Di layar tertulis nama ibu. Tanpa menunggu lama, aku pun mengangkat “Assalamualaikum, Bu,” ujarku sambil menatap keluar jendela. “Waalaikumsalam, sayang. Kamu sudah makan?” “Belum, Bu. Ini aku lagi di bus. Baru saja pulang dari rumah sakit.” “Kalau begitu nanti jika kamu sudah tiba di rumah baru ibu telepon lagi. Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu.” “Iya, Bu. Kalau sudah tiba, aku akan menghubungi ibu.” "Assalamualaikum." ucap ibu untuk mengakhiri panggilan. Setelah aku menjawab salam, ibu langsung mematikan panggilan. Kalau begini ceritanya, aku harus segera pulang. Aku tidak ingin,
Aksa tidak menjawab pertanyaanku. Entahlah, mungkin dia sedang mengingat-ngingat seperti apa kalimat yang diucapkan Utami saat bersamanya tadi. “Utami ngomong apa tadi ke kamu? Letak salahnya aku di mana?” Aku kembali bertanya, setelah beberapa detik Aksa belum juga menjawab pertanyaanku. Tanpa berkata apapun, Aksa langsung keluar dari kamarku. Mataku terus menatapnya saat melangkah. Hingga saat pintu kamar di tutup dari luar, aku langsung menutup mata. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan. Aku ulangi aktivitas itu tiga kali. “Ya Allah, kenapa aku yang harus disalahkan? Benarkan aku yang salah?” lirihku, sambil membiarkan butir air bening jatuh dari kelopak mata. "Kenapa Aksa tidak menyalahkan Utami karena mempertanyakan hal-hal konyol? Paling nggak, Aksa bilang ke Utami kalau tidak ada yang salah dengan lirikanku." lama merenung, benda pipih yang ada di atas kasur menyadarkan aku. Tanpa melihat, aku sudah tahu siapa yang menelepon. Aku langsung mengangkat, tidak ingin ibu
*** Aku sedang melangkah menuju ruang kelas. Seperti biasa, banyak mata yang menatap dari ujung kaki hingga kepala. Aku tahu, banyaknya orang menatap seperti ini bukan karena cantik. Tetapi, mungkin karena baju yang aku gunakan. perempuan kategori tercantik di jurusan adalah Utami. Teman-teman kelasku sering mengatakan jika cara aku berpakaian seperti ibu-ibu. Karena aku menggunakan pakaian longgar yang tidak membentuk lekuk badan. Aku tidak menyalahkan mereka yang berkata seperti itu. Karena setiap orang memiliki selera penampilan yang berbeda. “Delisia!” Teriakan seseorang dari belakang, membuat aku berbalik. Aku mengenal suaranya. Ya dia adalah Utami. Perempuan yang berstatus sebagai kekasih suamiku. Aduh, kenapa pikiranku begini. Kok aku jadi sinis dengan Utami. Yuk bisa yuk, Utami adalah sahabatmu, Delisia. Hilangkan perasaan-perasaan aneh itu. Aku berusaha menghilangkan pikiran buruk yang mengganggu. Bibirku tersenyum dan tangan terurai untuk menyambut Utami. Dia perempuan
“Menurut kamu gimana, Del?” tanya Utami. Dia menatap meminta jawaban. Aku tidak boleh menampakan kebimbangan yang terasa dalam benak. Jika ada sedikit keanehan dalam diriku, Utami mungkin akan bisa menebak. Selama ini aku yang menyuruhnya untuk tidak berpacaran. Jadi, aku harus menampakan wajah bahagia. “Kamu lebih tahu apa yang terbaik untuk kamu. Dari pada pacaran tidak jelas. Memang lebih baik berpikir untuk menuju hubungan yang lebih serius,” ujarku sambil tersenyum tulus pada Utami. “Kalau begitu, sebentar malam aku akan menghubungi mama dan papa soal ini. Aku belum beritahu ke mereka karena ingin meminta pendapatmu dulu ... Kalau nanti Aksa datang ke rumahku untuk berbicara dengan kedua orangtuaku, kamu datang yaa! Aku ingin di hari spesial itu kamu ada di dekatku.” Utami terlihat serius dalam berkata. “Sepertinya tidak sopan deh, kalau aku datang saat kalian sedang membahas sesuatu yang penting. Nanti aku ngapain di Rumah kamu? Bagaimana kalau aku datangnya nanti saja? Saat
“Apasih, Tam. Lepasss!” Aku berteriak karena kini pelukan Utami semakin kencang. Mungkin dia sengaja agar aku merasa kesakitan. Sengaja ingin membuat aku kesal. “Hahaha.” Aku senang melihat Utami yang tertawa puas seperti ini. Dia langsung menarik tanganku untuk berdiri. Kami pun keluar dari ruang kelas. Hari ini hanya ada satu matakuliah. Jadi kami sudah bisa pulang. Dari pada pulang ke rumah dan aku tidak ngapa-ngapain, mendingan aku antar Utami memilih-milih baju, kan? Membantu teman adalah sebagian dari ibadah. Aku dan Utami berjalan menuju parkiran. Sepanjang jalan Utami bercerita dengan wajah ceria. Seakan tidak memiliki satu pun beban dalam hidup. Mungkin karena kehidupan Utami sudah sempurna. Ya, aku belum menemukan kekurangan dalam hidup Utami. Dia kaya, apapun yang diminta, pasti kedua orangtuanya akan kasih. Dia cantik dan memiliki fisik yang nyaris sempurna. Banyak lelaki yang ingin mendapatkannya. Utami berhenti melangkah. Aku pun ikut berhenti. “Del, bukannya tadi Pak