LOGINKehidupan rumah tangganya yang jauh dari kata bahagia, membuat Elena terjerat dalam cinta yang diberikan Aldo—pria muda yang sudah dianggap teman oleh putranya. Sempat terbuai dengan perhatian pria itu dan jatuh dalam hubungan terlarang, tetapi kemudian semuanya berubah menjadi prahara ketika dunia, termasuk putranya, mengetahui perselingkuhannya. Segala nasihat, cibiran, bahkan hinaan harus diterima Elena, terlebih setelah semua orang tahu bahwa pria selingkuhannya berusia jauh di bawahnya. Namun di balik itu semua, ada satu rahasia yang menjadi kartu As Damar—sang suami—yang selalu dijadikan ancaman untuk Elena. Keputusan apa yang harus diambil Elena? Akankah dia tetap melanjutkan pernikahan yang menyesakkan demi kebahagiaan putranya, ataukah menerima tawaran Aldo yang mengajaknya untuk memulai hidup baru?
View More“Plak!”
Elena Jasmine memegang pipi kanannya setelah mendapat tamparan dari Damar Setiawan―sang suami. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi cukup terasa panas. Namun dibandingkan pipinya, dia lebih merasakan pedih di hati.
“Kenapa kamu bersikap kurang ajar terhadap ibu?” Damar masih dengan kedua mata yang melotot.
“Aku tidak bersikap kurang ajar! Aku menjawab apa adanya!” balas Elena lantang, berusaha membela diri. Dia lelah harus selalu mengalah dengan kelakuan Ratih―ibu mertuanya―yang selama bertahun-tahun selalu menjadi duri dalam daging pada kehidupan rumah tangganya.
Damar sekilas melirik ibunya, kemudian meraih tangan Elena dan menggenggamnya erat untuk dibawanya ke lantai dua.
“Sakit, Mas!” Elena berusaha melepaskan tangan Damar, tetapi usahanya sia-sia. Genggaman Damar malah semakin kuat.
Tanpa memedulikan keluhan istrinya, Damar terus membawa wanita itu hingga masuk ke kamar mereka. Dengan kasar dia mendorong tubuh sang istri ke ranjang.
“Dengar! Aku sudah berkali-kali bilang padamu, aku masih mengusahakan semuanya. Kenapa kamu tidak pernah sabar?!” Suara Damar melengking tinggi. Jari telunjuknya mengarah kepada Elena yang masih terbaring telentang di ranjang.
“Sabar? Sampai kapan aku harus bersabar?” balas Elena sembari bangkit dari ranjang, dan kini berdiri berhadapan dengan suaminya. “Di rumah sudah tidak ada apa-apa lagi. Lalu kita mau makan apa? Belum dengan tagihan lain-lain. Tagihan rumah, sekolah ….”
“Iya, iya. Aku tahu. Kamu pikir aku tidak memikirkan hal itu?” Damar menghela napas cepat sebelum melanjutkan. “Tapi aku minta sama kamu, jangan berbicara seperti itu terhadap ibu.”
“Bukan aku yang mulai, tapi ibu kamu!” sewot Elena tak terima. Matanya mendelik tajam kepada suaminya. “Kenapa ibu selalu menyalahkan aku? Aku hanya menjawab aku tidak punya uang lagi untuk belanja keperluan dapur. Kenapa ibu malah mengatai aku boros dan tidak bisa mengatur uang?”
Jelas Elena tidak terima ucapan Ratih. Selama lebih dari dua belas tahun berumah tangga, dia yang banyak keluar uang. Dia yang mengambil alih tanggung jawab mencari nafkah.
“Tapi tetap saja, ucapanmu itu kasar terhadap ibu!”
“Aku tidak akan kasar kalau ibu tidak mengataiku. Memangnya kurang apa aku selama ini? Hampir semua pembayaran tagihan dan urusan makan, semua dari uangku. Apa ibu kamu buta? Terus apa aku tidak boleh sakit hati?”
Harga diri Damar terusik dengan ucapan Elena. Sebenarnya dia mengakui memang Elena yang lebih banyak mengeluarkan uang untuk kehidupan rumah tangga mereka. Namun ucapan istrinya ini, seakan dia tidak memberi kontribusi sama sekali dan tentu hal itu menyinggung egonya sebagai laki-laki.
“Kamu jangan bicara sembarangan!” Damar menekan ucapannya karena emosi. “Dengar ya, aku juga mengeluarkan uang. Contohnya uang muka rumah ini. Kalau tidak dari uangku, apa kamu pikir kita bisa punya rumah?”
Elena memutar bola matanya malas, kemudian menatap tajam suaminya. “Iya, itu benar. Tapi cicilannya tiap bulan? Belum cicilan mobil. Itu dari mana?”
“Oh, jadi kamu mulai perhitungan?” geram Damar. Wajahnya sudah memerah terbakar emosi dan tangan kanannya mulai mengepal. “Jangan sombong kamu! Kamu beruntung karena memiliki posisi sekarang. Memang aku tidak seberuntung kamu. Seharusnya kamu mengerti itu. Tapi apa? Sebagai istri, kamu tidak ada pengertian sama sekali.”
Elena malas dengan topik keributan yang sama. Dia dituntut untuk selalu mengerti kesulitan suaminya. Sementara di sisi lain, suaminya tidak pernah berubah.
“Cukup, Mas! Menurut Mas, aku kurang pengertian apa lagi? Selama ini aku diam, terima semuanya, dan hampir tidak pernah protes. Aku hanya minta Mas Damar mau banting setir. Tidak bisa kita terus seperti ini. Ada anak yang harus kita hidupi.”
Damar mencebil. “Ngomong itu gampang. Coba kamu yang ada di posisiku.”
“Sekarang aku balik ucapan Mas,” geram Elena. “Kalau Mas Damar berada di posisiku, bagaimana? Punya suami yang jarang memberi nafkah.”
Kedua alis Damar menukik tajam. “Lama-lama kamu semakin berani kurang ajar ya.”
“Itu karena Mas tidak pernah berubah!” teriak Elena lantang.
Plakkk!
Elena memegang lagi pipi kanannya. Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, dia mendelik menatap suaminya. Hampir tak percaya, tidak sampai setengah jam dia sudah dua kali mendapatkan tamparan. Kali ini tamparannya sangat keras dan hatinya benar-benar sakit.
Rasanya sungguh hancur. Hampir sepanjang pernikahan dia berjuang sendirian memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan kini harus mendapat kekerasan dari suaminya.
Elena segera membalikkan tubuhnya, berjalan keluar menuju kamar mandi. Dia membiarkan dirinya menangis, mencurahkan segala kepiluan hatinya dengan duduk bersandar di lantai.
Selang setengah jam, dia keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamar tidur. Suaminya sudah tidak ada di sana, dan dia pun tidak peduli. Setelah mengambil tas berisi dompet dan ponsel, dia bergegas keluar dari rumah.
Di halte depan kompleks perumahan, Elena duduk dengan pipi kanan yang masih memerah. Sambil terisak, dia menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya.
Kalau hanya untuk makan dirinya sendiri, mungkin dia bisa tidak peduli. Namun dia harus memikirkan Justin―putranya yang berusia 12 tahun. Untung saja tadi Justin sedang berada di rumah temannya sehingga tidak perlu melihat keributan yang terjadi.
***
“Ayo masuk! Kenapa tetap diam di situ?” Aldo menatap wanita yang masih berdiri mematung di depan kamar kostnya.
Wanita itu tampak berantakan, dengan kedua mata sembab dan bibir yang sedikit gemetar. Aldo sempat melirik alas kaki yang digunakan Elena. Bukan sepatu, hanya sandal rumahan, yang menandakan wanita ini langsung pergi dari rumah tanpa persiapan apa pun.
Melihatnya masih bergeming, Aldo meraih bahu Elena dan membawanya masuk, tanpa melupakan untuk mengunci kamarnya
“Kamu naik apa ke sini?”
“Ojek online.”
Elena membiarkan dirinya dituntun Aldo ke arah ranjang. Sebenarnya dia tidak yakin dengan apa yang dilakukannya saat ini. Yang terlintas di benaknya tadi hanyalah ingin keluar dari rumah setelah pertengkaran hebat dengan suaminya.
“Apa kamu baik-baik saja?” Mata Aldo menyelisik kedua mata wanita yang kini sudah duduk berdampingan dengannya di ranjang. Detik kemudian tangan kanannya terangkat dan menghapus cairan bening yang tersisa di pelupuk mata wanita itu.
Elena menundukkan kepala dengan jemari tangan yang saling meremas. Desahan pelan dan berat pun meluncur dari bibirnya. Namun tak lama, wajahnya beralih menatap Aldo. “Aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. Rasanya aku ingin lari dari semuanya, Do. Sepertinya aku tidak sanggup lagi.”
Tatapan Aldo masih melekat pada Elena. Apa yang terjadi pada wanita itu, dia tahu semuanya, sejak setahun terakhir mereka memiliki hubungan dekat. Bahkan sekitar empat bulan lalu, hubungan mereka sudah berkembang layaknya sepasang kekasih.
“Coba ceritakan apa yang terjadi. Apa kamu habis ribut dengan suamimu?”
Hati Elena menghangat karena tangan Aldo, juga panggilan pria itu kepadanya. Seperti remaja kemarin sore yang baru mengenal cinta, kedua pipinya tampak merona.“Kamu mau makan apa?” tanya Aldo setelah mereka duduk.Elena meraih buku menu, membukanya perlahan. Tak lama jarinya menunjuk salah satu menu steak yang tidak terlalu mahal.“Minumannya?” tanya Aldo lagi.“Bluegrass Sunrise.”Setelah makanan dan minuman tersaji di meja, mereka menyantapnya sambil mengobrol ringan. Kebanyakan Aldo yang bercerita tentang pertandingan basket anak-anak didiknya.Mereka hanya sekitar sejam menghabiskan waktu di sana, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kost Aldo.***Jarum pendek jam dinding baru menunjuk angka tujuh, ketika terdengar suara desahan dan erangan dari sebuah kamar. Mereka hanya berdua di dalam sebuah rumah―yang lingkungan tetangganya tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain.Sesaat kemudian terdengar erangan panjang, diiringi dengan suara televisi yang volumenya sengaja dikeras
Elena membaca notifikasi pesan dari Aldo. Segera dibukanya pesan itu, sambil berjalan keluar dari foodcourt yang ramai dan berisik, karena banyak karyawan yang makan sambil mengobrol.Setelah suasana di sekitarnya cukup tenang, Elena melakukan panggilan kepada Aldo. Dia merasa tidak enak hati karena belum memberi kabar sama sekali kepada pria itu, mengenai alasannya tidak datang kemarin.[Halo.]“Maaf Do, kemarin aku tidak jadi datang karena tiba-tiba Mas Damar menjemput.”[Hmm …. Kenapa kamu tidak mengabari aku?]“Itu ….” Elena bingung mengatakan alasannya melalui telepon. “Maaf, aku benar-benar lupa. Kemarin kamu sudah menunggu di kafe ya?”[Ya, aku menunggu satu jam di sana.]“Maaf, Do. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Nanti aku cerita kalau kita bertemu.”[Kapan?”]Elena tidak langsung menjawab. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apa bisa mencoba meminjam uang pada Aldo?“Ehmm … apa bisa nanti sore, Do?”[Bisa. Tapi pastikan kamu t
“Apa maksud kamu, Mas?” Jantung Elena berdegup lebih cepat. “Apa kamu mengancamku lagi?”Damar tidak menjawab, tatapan tajamnya tertuju pada Elena.“Bukannya aku tidak mau membantu,” jelas Elena dengan perasaan tidak nyaman. “Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan uang lagi.”Setiap kali Damar melontarkan ancaman, hati Elena menjadi tidak tenang. Dia sungguh khawatir Damar akan nekad melakukannya.“Kalau kamu tidak mau itu terjadi, ya kamu harus bantu aku.” Damar menjawab dengan enteng. “Kalau saja aku punya uang, aku juga tidak mau merepotkan kamu. Jelek-jelek begini, aku masih punya harga diri.”Elena menarik tatapannya dari Damar, dan membuang pandangannya ke arah jendela.Sejak memburuknya hubungan mereka akibat ucapan pedas dari ibu Elena tujuh tahun lalu, sikap suaminya berubah total. Damar menjadi kasar, seolah sudah tidak ada lagi cinta untuknya.Padahal dua belas tahun lalu Elena menerima Damar karena yakin pria itu mencintainya, meskipun kala itu dia tida
Mendengar permintaan suaminya, Elena tidak mengatakan apa-apa, hanya mengekor Damar menuju kamar mereka. Setelah berada di kamar, Damar menjatuhkan bokongnya di sofa. Sementara Elena memilih ranjang sebagai tempat duduknya.Suasana hening selama beberapa menit. Hanya terdengar helaan napas panjang. Elena sengaja tidak membuka mulut. Menunggu suaminya memulai pembicaraan.“Lena ….” Akhirnya Damar membuka mulutnya. “Apa kamu bisa pinjam uang di kantor? Sudah dua bulan cicilan mobil tidak dibayar.”Elena terkejut mendengarnya. “Mas, aku tidak mengerti maksudnya. Setiap bulan aku transfer uang cicilan mobil ke rekening Mas Damar. Terus uangnya ke mana?”“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang uangnya digunakan untuk modal bikin kontrakan rumah bareng temanku? Gajiku yang tidak seberapa juga aku taruh di sana.”Mata mereka saling bertatapan. Damar bertahan agar Elena mempercayai ucapannya. Sementara Elena berusaha mencari kejujuran di mata Damar. Seingatnya Damar tidak pernah mengatakan hal












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.