Share

Bab 6

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 6

"Antar Puspita ke rumah yang di perum Griya Asri sekarang, Mas," ucap Lidya pada Dana, setelah acara akad dilaksanakan.

Pak penghulu langsung pulang, karena memang tidak ada acara apa-apa lagi. Puspita sudah masuk ke kamarnya di antar Marni. Kini rumah kembali sepi seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

"Ini sudah malam, Lidya. Besok saja! Aku ngantuk," jawab Dana malas-malasan. Dia bahkan menutup kepala dengan bantal, menghindari tatapan Lidya.

Lidya menghela nafas panjang. "Baru jam sembilan, Mas. Belum terlalu malam." Dalam kamus Lidya, tak ada kata penolakan. Jadi, dia akan memaksa Dana melakukan perintahnya.

Dana bangun dari posisinya, dia menatap Lidya dingin. Semakin lama, Dana semakin muak dengan sikap Lidya yang otoriter dan dominan. Sisi kelaki-lakiannya terusik, dia merasa dihina dan diinjak harga dirinya.

"Kamu bisa, nggak? Sekali saja dengar kata suami? Kamu tahu ini sudah malam, dan aku capek!" Suara Dana sedikit meninggi.

Lidya terkejut melihat sikap Dana yang mulai berubah. Untuk pertama kalinya, Dana meninggikan suara dan berani melawan perintahnya.

"Capek apa? Orang seharian kamu nggak ngapa-ngapain, tinggal terima beres!" balas Lidya, tak terima mendapat penolakan dari sang suami.

"Aku capek, Lidya! Capek hati, capek batin! Capek kamu tekan terus! Kamu nggak pernah menghargai aku! Nggak pernah kamu menghormati aku! Aku ini suamimu, bukan karyawanmu yang harus selalu tunduk patuh pada perintahmu!" seru Dana, mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini dia simpan dalam hati.

Dia merasa sudah cukup mengalah, tapi Lidya seolah tak ada puasnya. Selalu menuntut dan menuntut. Kini saatnya dia melawan, tak ingin terus menerus hidup dalam jajahan. Soal nasibnya setelah ini, itu bisa dipikir nanti. Begitu pikir Dana.

"Oh .... Sekarang sudah mulai berani melawan? Mau kembali hidup miskin lagi, kamu?" sinis Lidya.

"Kamu mengancamku? Kamu pikir aku takut? Oke, aku keluar dari rumah ini sekarang juga. Kamu urus sendiri perusahaan warisan ayahmu itu! Kamu urus sendiri hidup kamu! Aku pergi sekarang juga!" Emosi Dana sudah pada puncaknya, dia bosan selalu dalam tekanan Lidya. Merasa tak punya harga diri sebagai laki-laki dan juga manusia. Dia pikir, sudah saatnya dia menjalani hidupnya sendiri. Persetan dengan kekayaan. Dia laki-laki, bisa hidup di manapun dalam keadaan apapun.

Dana turun tempat tidur, ketika dia hendak melangkah, tiba-tiba Lidya memeluknya dari belakang. "Oke, oke. Kamu antar Puspita besok saja. Jangan marah gitu, dong," rengek Lidya manja. Nyatanya Lidya masih sangat mencintai Dana, takut kehilangan laki-laki itu. Digertak Dana begitu, dia langsung kelabakan.

Dana bergeming, tak dibalasnya pelukan Lidya. Hatinya masih marah, atas hinaan Lidya. "Ya udah, yuk! Kita tidur. Meski ini malam pertamamu dengan Puspita, tapi aku ingin kamu menikmati malam ini bersamaku," rayu Lidya dengan nada manja.

Perlahan Lidya menarik tubuh Dana, untuk merebah di peraduan mereka. Sayangnya, Dana tak merespon rayuan Lidya. Memang dia akhirnya berbaring di atas ranjang, tapi bukan membalas serangan Lidya, dia justru menarik selimut dan memejamkan mata. Dia masih sakit hati dengan kelakuan Lidya.

* * * * * * * *

"Sudah semua? Nggak ada yang Ketinggalan?" tanya Dana. Dia heran melihat Puspita hanya membawa ransel lusuh, yang dia bawa kemarin.

"Sudah, Pak." Puspita menjawab sambil menundukkan kepala.

Dana mengangguk. "Kita berangkat sekarang kalau begitu." Dana baru saja hendak masuk ke dalam mobil, ketika Lidya datang menghampirinya.

"Mas, nanti langsung pulang, ya? Nggak usah lama-lama di sana. Puspita sedang tak bisa "dipakai"." Lidya berkata sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Dana tak merespon, dia memilih masuk ke mobil yang pintunya sudah dibuka sang sopir.

Lidya mencebik, mendapati sikap dingin suaminya. Tatapannya beralih pada Puspita, yang berdiri tak jauh dari mobil, yang hendak masuk juga, tapi terhalang tubuh Lidya. Sinis dia menatap gadis desa itu.

"Kamu jangan coba-coba menggoda suamiku, ya! Meskipun kamu juga istrinya, kamu tidak boleh bersikap genit sama Mas Dana. Kalau kamu melanggar, aku tidak segan-segan melemparmu ke jalanan," ancam Lidya. Jauh dalam lubuk hatinya, ada kekhawatiran Dana akan berpaling pada gadis itu.

Sekarang Puspita memang tak menarik sama sekali, tapi kalau sedikit dirawat pasti dia terlihat cantik. Matanya bulat, bibirnya mungil, hidungnya meski tidak mancung, tapi lancip. Dan lesung pipi yang terlihat saat gadis itu tersenyum, itu bukan hal yang bisa disepelekan.

"Iya, Nyonya," jawab Puspita tanpa berani membalas tatapan Lidya.

"Bagus! Aku harap kamu bisa menepati janji."

"Iya, Nyonya."

"Masuk sana! Ingat! Jangan coba macam-macam! Karena aku tak pernah main-main dengan ucapanku." Sekali lagi Lidya mengancam Puspita. Dia tak mau diremehkan gadis desa itu.

"Iya, Nyonya." Buru-buru Puspita masuk ke mobil menyusul suaminya.

"Hhh .... " Puspita akhirnya bisa bernafas lega, lepas dari omelan Lidya.

"Kamu sudah tahu apa yang menjadi tugas kamu sebagai istri, saya?" tanya Dana saat dalam perjalanan mengantar Puspita menuju rumah barunya.

"Sudah, Pak. Saya harus mengandung dan melahirkan anak dari Bapak. Setelah itu saya dicerai dan boleh kembali ke kampung, begitu kan, Pak?"

"Iya. Dan kamu tidak keberatan?"

"Keberatan bagaimana, Pak?" tanya Puspita tak mengerti.

"Setelah anak kamu lahir nanti, anak itu akan jadi milik kami. Aku dan istriku. Kamu tidak boleh mengakui, dan juga tidak boleh ketemu dengannya. Kamu siap?"

"Siap, Pak. Bu Lidya sudah menjelaskan kepada saya sebelumnya," jawab Puspita setelah berfikir sejenak.

"Berapa imbalan yang kamu terima, sampai kamu rela melakukan ini semua?"

"Rumah saya ditebus dari rentenir, uang SPP saya dan adik saya dilunasi. Semua kebutuhan saya dipenuhi, serta gaji lima juta perbulan, selama saya jadi istri Bapak," jawab Puspita takut-takut, takut salah jawab tentu saja.

Dana menganggukkan kepala, kini dia mengerti perempuan seperti apa Puspita ini. Meski masih belia dan terlihat begitu lugu dan polos, nyatanya gadis ini matrealistis juga.

Tiba-tiba Dana terkekeh, membuat Puspita terkejut sekaligus takut. Karena Dana tertawa sampai mengeluarkan airmata.

"Bapak kenapa? Saya salah jawab, ya?"

"Nggak, kamu nggak salah. Saya hanya menertawakan nasib kita, yang begitu mudahnya dibeli dengan uang." Puspita menatap bingung, otaknya tidak bisa menterjemahkan apa maksud suaminya ini.

"Apa maksud Bapak dengan, kita?" Dalam pikiran Puspita, kita artinya dirinya dan Dana. Apakah itu berarti, Dana pun sama dengan dirinya? Dibeli oleh Lidya?

"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu tahu." Tentu saja Dana tak mau bercerita pada Puspita, tentang dirinya sebelum menjadi suami Lidya. Dana tak ingin Puspita tahu, bahwa dia sama-sama berasal dari kalangan biasa seperti Puspita. Hanya saja Dana lebih beruntung, dia bisa kuliah dan orang tuanya tidak terlilit hutang, macam Puspita.

Puspita mengangguk paham, memang orang sepertinya sebaiknya tak perlu tahu urusan orang kaya. Hanya bikin pusing kepala.

Bersambung ....

Ayo, dong! Dukung cerita ini dengan subscribe dan review bintang lima. Terimakasih ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status