Sam Arsen adalah pria matang, kharismatik dan sekaligus terlarang. Di mata dunia, dia adalah pria berwibawa dengan reputasi tak bercela. Namun, bagiku, dia adalah godaan yang menyiksa. Seharusnya aku hanya melihatnya sebagai ayah dari sahabatku. Seseorang yang tak boleh kusentuh, apalagi kucintai. Namun, wajah tampannya, sorot mata teduhnya, hingga aroma maskulin khas miliknya, semua itu membuatku menghancurkan pertahananku sendiri. Aku tahu satu sentuhan darinya bisa menghancurkan persahabatanku, reputasiku, bahkan hidupku. Tapi ... apa aku bisa menghindarinya?
Ver más"Duh, sempit sekali," keluh Irish sambil memaksa menaikkan resleting gaun seksinya. Jemarinya sibuk menarik ke atas, tapi kain ketat itu seperti melawan.
"Bantu aku, Audrey! Benda konyol ini susah rapat." Aku memutar bola mata dan melangkah mendekat. "Kau memang senang menyusahkan diri. Sudah tahu pakaian ini tidak muat, kenapa masih kau pakai?" "Diamlah! Gadis yang hanya memakai hoodie dan celana jeans panjang tidak berhak menceramahiku!" balasnya sengit. Sret! Resleting berhasil terpasang dengan susah payah. Aku meniup jempol tanganku yang sedikit kesakitan. "Untuk apa kau berpakaian seperti itu? Ini hanya pesta perpisahan pribadi Sean, bukan pesta dansa." Irish menoleh dan tersenyum kecut. "Kita sudah hampir lulus SMA dan kau masih berlagak polos? Ayolah Audrey, kapan kau benar-benar jadi seorang gadis?" Aku tertegun. Oke, pakaianku memang tidak modis, tapi secara umur, aku ini gadis yang beranjak dewasa. Meski, aku akui, dunia mode bukan wilayahku. "Buka bajumu!" perintah Irish tiba-tiba sambil melemparkan sebuah mini dress putih padaku. "Tidak!" tolakku langsung. Gaun itu terlalu pendek. Satu langkah salah dan siapa pun bisa mengintip dari sela pahaku. Irish membalikkan badan, menatapku dengan mata melotot. "Pakai sekarang, atau jangan pergi denganku!" ancamnya tanpa belas kasih. Aku mendesah panjang. Tak punya pilihan. Ini perpisahan sahabat kami yang akan lanjut kuliah di luar negeri. Meskipun aku tak terlalu suka pesta, aku harus hadir. Selain itu… ada hal yang lebih menarik di sana dibandingkan pestanya sendiri. ** Halaman rumah Sean Arsen sudah dipenuhi deretan kendaraan saat kami tiba. Suara musik dari halaman belakang berdentum hingga ke depan, bercampur riuh dengan teriakan teman-teman kami. "Cepat, pestanya sudah mulai!" seru Irish langsung melompat keluar dari mobil. Dia terbirit-birit melewati pekarangan samping menuju tempat pesta. Aku mengikutinya dengan langkah lebih santai. Mataku menyisir pekarangan rumah luas itu. Sangat indah di bawah sinar matahari senja. Rumput hijau terpangkas rapi, lampu taman mulai menyala satu per satu, ditambah aroma bunga dari kebun belakang samar terbawa angin. Selama tiga tahun ini, aku dan Irish sering berada di sini untuk alasan belajar bersama. Padahal, itu cuma kedok. Kediaman Arsen memang luar biasa mewah, dengan fasilitas lengkap. Sebagai dua gadis sederhana dari pinggiran kota, kami merasa sangat beruntung bersahabat dengan putra tunggal calon pewaris Arsen Construction. Hidup kami ikut sedikit terjamin. Namun, di balik itu semua, ada hal yang jauh lebih menggiurkan. Yakni, ketampanan ayah Sean—Sam Arsen—pria yang bisa membuat wanita mana pun bertekuk lutut hanya dengan satu senyuman. Aku tak percaya tiga tahun kebiasaan ini akan berakhir begitu saja. Saat Sean kuliah di luar negeri, tak ada alasan lagi untuk kami berkunjung ke sini. Dan tanpa alasan itu… kesempatan melihat Sam Arsen akan hilang. Tanpa sadar, kakiku melangkah melintasi halaman luas dan berhenti di tepi kolam renang. Ini adalah spot favoritku. Tempat yang akan paling sering kukenang nanti. Byur! "Ah!" Aku menjerit kecil, jatuh terduduk ke belakang saat seseorang muncul tiba-tiba dari dalam air. Tetesan air menyiprat ke wajahku, dingin dan membangkitkan detak jantung yang sudah sejak tadi tak normal. "Audrey?!" suara bariton itu ikut terkejut. Aku menatap… dan ya, tentu saja. Pria yang kini bertopang di tepi kolam dengan air menetes dari rambut pendeknya yang hitam dan tubuhnya yang kokoh, adalah Sam Arsen. Salah satu alasan utama aku begitu rajin mengunjungi rumah ini. Dan mungkin… alasan terbesar aku setuju mengenakan mini dress konyol Irish malam ini. Sam cepat keluar dari kolam dengan tubuh basah dan gerakan gesit. Tetesan air jatuh beruntai di sepanjang otot dadanya, mengikuti lekuk perutnya yang seperti sengaja dipahat. Tak lupa dia menyambar selembar handuk, menutupi area pribadinya yang hanya terbalut celana renang ketat. Aku menelan ludah. Ya Tuhan… bagaimana cara mengendalikan mata dan pikiranku? Pemandangan di hadapanku ini sungguh memukau. Wajah super tampan dan tubuh seksi yang kekar, dengan garis rahang tegas yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Perempuan normal mana pun pasti akan tergoda. Aku mematung, lupa rasa sakit di tubuhku. Bahkan suara musik dari belakang seolah menghilang, hanya tersisa detak jantungku yang berdentum keras. Sam menghampiri dengan wajah cemas. “Aku mengejutkanmu, ya?” Kugelengkan kepalaku dengan cepat. “Tidak, lantainya licin.” Kuharap alasan itu tak membuatnya merasa bersalah lagi. Tangan kekarnya membantuku berdiri. Jemarinya dingin, kontras dengan kulitku yang hangat bahkan seakan memanas tanpa sebab yang jelas. Masih terlihat cemas, dia bertanya, “Kakimu mungkin sakit? Duduklah.” Aku menurut saja. Padahal biasanya aku akan lari begitu dia datang mendekat. Bukan karena takut, tapi malu. Takut dia melihat wajahku yang merona atau mendengar degub jantungku yang kian tak karuan karena kehadirannya. Sejak awal bertemu, aku telah mengaguminya. Dia sosok pria yang nyaris sempurna. Tampan, kaya, cerdas, pekerja keras, setia, serta sayang keluarga. Dan aku tak tahu sejak kapan, rasa kagum itu mulai berubah arah dan menjadi tak terkendali. Aku mulai mengharapkan sesuatu yang tidak semestinya. Mungkinkah konyol jika kukatakan bahwa aku tertarik pada ayah sahabatku? "Kau sudah bertemu, Sean?" tanya Sam menatapku bingung. Aku mendongak, mata kami bertemu. Untuk pertama kalinya aku bisa sedekat ini dengannya. Jemarinya masih melingkari lenganku, hawa dingin dari kulitnya merayap ke tubuhku seperti arus listrik yang membuatku nyaris kehilangan napas. Mata hazel itu menatapku begitu lekat, terlalu lekat, seolah mencoba membaca isi pikiranku. Aromanya… campuran cologne segar dan samar manis yang membuatku ingin memejamkan mata dan bergerak lebih dekat. "Aku suka..." lirihku tanpa sadar, nyaris terdengar seperti desahan. Kening Sam berkerut tipis. "Apa?" tanyanya bingung. Hampir berbisik di antara jarak kami yang terlalu dekat. Sadar akan kebodohanku, aku buru-buru menggeleng. "Ah—itu... aku... aku suka pemandangan di… tempat ini!" suaraku bergetar, mencoba terdengar santai, tapi gagal total. Sudut bibirnya terangkat, senyum itu… Tuhan, senyum itu berbahaya. Aku tak mau hilang kendali lagi. Beruntung Sam segera melepaskan genggamannya. Meski kemudian, jemarinya yang besar dan panjang justru bergerak ke puncak kepalaku. Sial. Dia mengacak rambutku. Tapi kenapa, setiap sentuhannya terasa seperti mengacak seluruh isi hatiku hingga porak-poranda? Dan yang lebih parah, aku tak ingin dia berhenti. Walau... "Audrey?" Sapaan itu memecah gelembung kecil yang baru saja terbentuk di antara aku dan Sam. Kami serempak menoleh. Seorang wanita cantik berdiri tak jauh dari sana. Anggun, terawat, dan berwibawa. Wanita itu... Cindy Arsen, ibu Sean. **“Kau dari mana selarut ini?” Irish menegurku dengan sorot curiga sambil menggenggam lenganku erat.“Aku… baru pulang dari lokasi proyek,” jawabku gugup, mencoba melepaskan diri.Namun pandangan Irish langsung jatuh ke mobil hitam yang masih menyala di tepi jalan. Alisnya terangkat tinggi. “Siapa yang mengantarmu? Tunggu... itu....”Aku buru-buru menahan lengannya. “Sudah, ayo masuk...”Terlambat. Irish sudah melangkah cepat dan membuka pintu mobil.“Paman?” serunya terkejut.Sam menoleh sekilas. Wajahnya tetap tenang meski aku bisa menangkap ketegangan di rahangnya.Irish menoleh ke arahku lagi, wajahnya penuh tanda tanya. “Kau... pulang dengan Paman Sam? Kalian dari mana?”Aku meremas tanganku dengan gugup. Tatapan Irish yang penuh kecurigaan membuat otakku tak berfungsi untuk mencari alasan. Aku hanya membisu, tak tahu harus menjawab apa.“Oh, iya!” Irish tiba-tiba menepuk jidat, tertawa keras. “Aku hampir lupa. Kalian kan satu kantor sekarang.”Tawanya justru memperburuk suasana, m
Tatapanku tertuju langsung ke matanya.Mata hazel itu menyimpan banyak misteri yang sulit kupecahkan. Membuatku bingung pada sikap hangat, perhatian serta tak acuhnya yang berganti-ganti. Apa sebenarnya dia peduli padaku atau tidak?Pertanyaan itu seolah terjawab saat jarinya yang panjang terulur merapikan rambut basah yang berantakan di wajahku. Aku tak tahu apa yang menguasai diriku saat ini. Antara gugup, penasaran juga hasrat yang semakin tak terkendali. Aku mendekat perlahan. Bibirku menyentuh bibirnya begitu ringan, nyaris seperti sentuhan angin yang tak nyata. Rasanya lembut, namun terlalu singkat. Hanya satu keberanian nekat.Sam tiba-tiba menarik wajahnya menjauh. Gerakannya tidak kasar, tapi cukup membuat rasa bersalah menyeruak hingga membuatku panik sendiri. “Ah… maaf. Aku tidak seharusnya—”Kalimat itu belum sempat kutuntaskan ketika kedua tangannya yang besar dan dingin karena hujan, beralih menangkup wajahku. Aku refleks mendongak.Di sana, sorot matanya yang dalam se
Aku tak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari. Kupikir dia akan menghukumku sungguhan kemarin, tapi ternyata tidak. Bukannya menjatuhkanku, Sam justru memindahkanku ke tempat yang lebih aman. Jauh dari lingkungan toxic. Aku merasa harus berterima kasih. Tidak secara terang-terangan, tentu saja. Itu akan terlalu mencolok. Maka aku menyiapkan sesuatu yang lebih sederhana. Sebuah kotak bekal kecil dengan menu buatan sendiri. Entah ide siapa yang menyusup di kepalaku tadi malam, tapi aku melakukannya juga. "Mana dokumen yang mau dibawa ke ruang CEO? Biar kubawa sekarang," ucapku pada Sarah, sekretaris Sam. "Ini, yang lain menyusul." Dia menyerahkan map, tak curiga sedikit pun. Aku masuk ke ruangan CEO dengan langkah hati-hati. Sam melirikku sekilas lalu lanjut membahas laporan bersama asistennya, jadi aku hanya meletakkan berkas di meja dan sekalian menyelipkan kotak bekal itu di sisi tumpukan dokumen. Setelahnya, aku kabur sebelum ada yang menyadari. Jantungku berdebar tak karuan,
“Apa maksudmu dihukum? Kau di mana sekarang? Kenapa kau masih di kantor?” nada suaranya tiba-tiba terdengar dingin.Jantungku berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol End Call. Layar mati. Napasku tersengal.Dari mana dia tahu nomorku?Suasana gudang tiba-tiba terasa semakin sunyi dan menakutkan.Aku makin panik menggerakkan tanganku. Berkas-berkas berserakan di lantai, sebagian sudah kususun kembali, sebagian lagi masih menunggu nasib. Saat kembali melirik jam, hampir setengah sembilan malam. Gawat, aku harus segera pulang sebelum satpam juga curiga aku tidur di kantor.Baru saja aku selesai meletakkan satu tumpukan dokumen ke rak atas, suara ketukan keras menghentak pintu.Tok! Tok! Tok!Aku hampir menjatuhkan map di tangan. “Siapa?” seruku lirih, jantungku seolah merangkak ke tenggorokan.Pintu terbuka setengah berderit. Sosok tegap dengan kemeja lengan panjang yang sudah digulung dan kancing dilonggarkan, berdiri di ambang pintu. Aku terkesiap. Tak menyangka Sam
Dua minggu berlalu dan tibalah aku di hari pertama magang.Lobi perusahaan Arsen Corporation terasa begitu megah hingga langkahku sempat ragu saat menapakinya. Dinding kaca setinggi langit-langit memantulkan bayangan tubuhku yang tampak kecil dibandingkan riuh para karyawan yang hilir-mudik.Aku merapikan blazer biru tua yang kupakai sekali lagi, memastikan kartu identitas magang yang kupegang tidak sampai kusut oleh genggaman tanganku yang berkeringat dingin.“Nama?” tanya resepsionis dengan ramah, jarinya sudah siap di atas layar tablet.“Adams, Audrey Adams. Program magang arsitektur,” jawabku sedikit tercekat.Setelah memeriksa daftar, wanita itu mengangguk lalu memintaku menuju lantai sebelas, tempat briefing peserta magang berlangsung. Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa tegang. Ini bukan kampus, pikirku, ini dunia nyata dan sayangnya, perusahaan ini juga milik pria yang sempat membuatku kalut selama tiga tahun terakhir.Begitu pintu lift terbuka, aku disambut loron
Aku mengerjap beberapa kali.“Paman?” suaraku nyaris tak terdengar saat mataku membelalak. Itu benar-benar dia. Bukan mimpi atau halusinasiku.Aku sangat terkejut melihat kehadiran Sam di sana. Rasanya seperti jantungku berhenti berdetak sesaat. Bagaimana mungkin? Orang yang selama ini menghilang dari hidupku, yang tak pernah memberi kabar lagi, tiba-tiba berdiri hanya beberapa langkah di depanku.Sama seperti diriku, Sam juga tampak tak kalah heran. Tatapannya menyapu wajahku dengan sorot menyelidik, seolah menimbang apakah aku nyata atau hanya bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul.Dosenku tampak kebingungan melihat interaksi aneh kami. Dia akhirnya angkat bicara, “Audrey salah satu mahasiswi arsitektur di kelas saya, Tuan Arsen.”Seketika wajah Sam berubah. Ia memandangku sekali lagi, kali ini dengan keterkejutan yang lebih jelas. “Kau… ambil jurusan arsitektur?” tanyanya, nadanya setengah tidak percaya.Aku mengangguk singkat."Aku tak tahu kalian saling kenal," ucap dosenku di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comentarios