Alya bergerak, meliukkan tangan dan tubuhnya sesuai arahan sang fotographer. Di tangannya terdapat produk dari perusahaan Brata yang harus ia promosikan. "Oke Elena, lihat ke kiri! Angkat dagumu!" "Senyum!" "Selesai!" Alya tersenyum, menganggukkan kepala pada sang potographer dan stylistnya. Lantas beranjak pergi dari studio karena ini waktunya istirahat makan siang. Sudah hampir seminggu ia telah menjalani pemotretan. "Anda pasti lelah Nona," ucap Refan yang sedari tadi menunggui Alya di depan studio. Ia menyodorkan sebotol air mineral dan keduanya duduk berdampingan di salah satu kursi. "Mau tidak mau, Fan. Ini salah satu cara untuk mendekati brankas yang kau katakan itu." Refan mengangguk. "Semua yang Irfan sembunyikan kemungkinan ada di sana Nona. Termasuk bukti-bukti kecelakaan Nona yang bisa membuatnya dijatuhi hukuman. Sayangnya beberapa kali saya mencoba membuka brankas itu, saya tetap tak bisa menemukan kodenya." "Tentu saja, jika itu benar-benar penting. Dia akan mer
Dari balik ruangan, Fatih menatap wanita paruh baya yang tengah tertidur di samping ranjang suaminya itu dengan lekat. Setelahnya ia menghela nafas dengan tangan terulur membuka pintu. Suara yang timbul membuat wanita paruh baya itu terbangun seketika. Wajahnya sumringah saat melihat Fatih mendekat. Seolah tak melihat laki-laki itu dalam waktu yang cukup lama. Sri, Mama Alya. Wanita yang sudah menganggap Fatih sebagai anaknya sendiri. "Fatih ... sudah lama tidak bertemu, kamu apa kabar? Selama menempuh pendidikan di Singapura tidak pernah menelpon Tante." Sri bangkit dari duduknya, menghampiri Fatih dengan mata berbinar. Menggenggam kedua tangan lelaki itu erat. Fatih menuntunnya kembali duduk. "Fatih sehat Tante, maaf tidak mengabari Tante bahkan menelpon, Fatih cukup sibuk di sana. Jadi tidak ada waktu." Fatih tersenyum pedih, melihat tulang pipi sang Tante yang sudah ia anggap sebagai Mama itu tampak menonjol. Di Singapura, beberapa kali ia memang berusaha untuk menghubungi T
"Ratih apa yang kamu lakukan?" bisik Irfan pelan sembari melirik ke arah Alya. Wanita itu tampak duduk dengan tenang menikmati perseteruan yang akan terjadi sebentar lagi di hadapannya. "Kamu sendiri apa yang kamu lakukan? Kamu makan siang berduaan sama perempuan ini? Padahal kamu bilang sama aku kalau kamu mau makan siang sama teman. Ini teman yang kamu maksud?" "Ya, Elena ini temanku. Kamu tahu, kan, dia model yang ...." "Aku tahu, tapi kenapa kamu mesti makan sama dia? Kalau aku gak tahu dari orang lain mungkin kamu gak bakalan ngaku!" seru Ratih dengan sengit. Matanya mulai berkaca karena takut Irfan akan mengkhianatinya. Satu jam lalu di kantin kantor, ia tengah menikmati makan siangnya bersama rekan kerja yang lain. Namun sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke dalam ponselnya. [Lihat! Kamu gak panas melihat kekasihmu makan siang bersama wanita lain?] Ratih langsung meradang, apalagi pesan itu disertai sebuah foto. Ia tak mencari tahu darimana pesan itu berasal. Ia lan
Irfan menghela nafas, menatap Ratih yang duduk di hadapannya namun tak mau menatap sama sekali. Malam ini Irfan sengaja menyinggahi apartemen wanita itu setelah pulang kerja. Setelah memastikan tak ada yang mengikutinya. Bisa gawat kalau orang-orang tahu. Pemimpin perusahaan Brata terlibat skandal dengan pegawai perusahaannya sendiri. "Ini semua salahmu!" tukas Irfan pada akhirnya membuat Ratih menoleh ke arahnya. "Aku? Aku yang salah di sini?" "Lalu siapa Ratih? Lagipula kenapa kamu datang saat aku makan bersama Elena dan marah-marah. Kamu tahu, itu membuat semuanya jadi berantakan. Bahkan dia sempat curiga kalau kita punya hubung--" "Hubungan? Mas dan aku? Kita memang punya hubungan kan, Mas. Aku dan Mas sudah berhubungan cukup lama. Kenapa tidak beritahu saja padanya kalau kita punya hubungan? Apa Mas malu?" "Bukan begitu, kamu tahu Elena itu tahu segalanya tentangku. Entah apa maksudnya tapi dia tahu kalau Alya telah meninggal tiga tahun lalu dan kalau aku mengakui aku puny
Fatih menatap bungkusan kecil berisi bubuk yang cukup sedikit di atas mejanya itu dengan dahi berkerut. Pikirannya diliputi perasaan bimbang luar biasa. Setelah tadi menemukan bubuk itu di pinggir bantal Brata. Ia langsung pamit pada Tante Sri. Untuk mengetahui sesuatu, dan benar saja saat ia menyelidiki di laboratorium. Bubuk itu adalah ... sianida. Membuatnya bingung, kenapa bubuk sianida itu bisa ada di samping bantal Om Brata. Dan sudah berapa lama itu ada di sana sampai Tante Sri juga tidak tahu. Apakah tidak ada petugas medis yang tahu soal ini atau sebenarnya ini ulah salah satu dari mereka yang ingin mencelakai Om Brata? Tapi untuk apa? Tok! Tok! Tok! Fatih tersentak, secepat kilat menyembunyikan bubuk itu ke dalam kantung jas putihnya. "Masuk!" ucapnya kemudian. Seorang perawat datang dengan kertas laporan di tangan. Ia tersenyum dan duduk di hadapan Fatih. "Ini laporan yang dokter minta. Berkat beberapa resep dan saran yang dokter berikan, pasien sudah dalam keadaa
"Aku tidak menyimpannya. Ini kutemukan di dekat bantal Om Brata. Alya membeku, ia mengerjap, menatap Fatih tak mengerti. "Maksudmu?" "Secara tidak langsung ada seseorang yang mencoba meracuni Om Brata, Al." "Gila!" seru Alya nyaring. "Bajingan mana yang tega melakukan hal ini pada Papa?" "Aku tidak terlalu yakin, tapi kau bisa menebaknya dengan mudah." Alya menatap Fatih lekat. "Jangan bilang kalau ... itu ulah Irfan dan Ratih." "Siapa lagi?" "Brengsek!" "Aku menanyai tiga perawat yang berjaga di ruangan Om Brata. Salah satu diantaranya mengatakan kalau ia melihat seorang wanita datang ke ruangan Om Brata di malam hari. Lalu, saat kutunjukkan gambar ini, dia membenarkan kalau Ratih adalah orangnya." Fatih menunjukkan gambar Ratih di ponselnya. Membuat Alya geram seketika. "Bagaimana bisa mereka melakukan hal sekeji itu, Fat? Apalagi yang ingin mereka raih? Mereka sudah berusaha untuk membunuhku, mengambil perusahaan Papa dan sekarang berencana membunuh Papa dengan sianida i
"Kau harus pergi lagi malam ini, Ratih," tukas Irfan dengan suara pelan saat Ratih masih terdiam di kursinya. Wanita itu mendongak dengan wajah malas. Masih kepikiran soal si pengirim pesan yang tak kunjung ia temukan rimbanya. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor itu dan mengiriminya pesan spam. Namun, nomor itu sudah tak aktif lagi. "Bisakah kau saja yang pergi, Mas? Aku sedang tidak mood melakukannya." "Kalau aku yang pergi, semua orang akan tahu kalau itu aku. Bisa-bisa muncul artikel menantu Grup Brata berusaha mencelakai mertuanya. Apakah kau tidak takut hal itu akan terjadi? Jika aku terseret maka kau juga ikut terseret Ratih. Itu konsekuensinya." "Ck ... kau egois sekali. Kenapa sekarang kau malah menakut-nakutiku begitu? Kau tidak tahu apa yang kau lakukan hari ini padaku." Irfan menghela nafas. "Aku tahu, untuk itu aku minta maaf padamu. Tapi untuk sekarang cobalah pikirkan Ratih, kalau tidak kau yang membantuku siapa lagi? Bukankah kita melakukan hal ini bersama-
"Tepat waktu," tukas Alya sembari menatap Fatih yang duduk di balik kemudi. Ia mengurut dada sembari menenangkan detak jantungnya yang menggila. "Tidak ada mobil yang mengikuti kita, kan?" Alya menoleh ke belakang lagi, di sisinya ada brankar dengan Brata terbaring di atasnya. "Sepertinya tidak, Fat, kita aman. Untungnya dia tak mengenali suaramu tadi." Fatih mengangguk sembari bernafas lega. Tadi keduanya mengeluarkan Brata dari ruangan dalam keadaan sangat mepet. Tepat saat mendorong brankar, Fatih malah tak sengaja menyenggol bahu Ratih yang sedang berjalan berlawanan arah dengan mereka. "Ya, aku sudah berpikir kita akan ketahuan tadi. Ada untungnya kamu menyarankan menutupi wajah Om keseluruhan. Tak tahu kalau dugaan kita benar, malam ini Ratih datang lagi." Fati berucap panjang lebar, tak ada sahutan dari kursi belakang. Ia melirik dari kaca spion tengah mobil. Menatap Alya yang termenung sembari menatap sang Papa yang terbaring lemah di atas brankar. "Kau baik-baik saja?"