Seperti yang Alya harapkan. Setelah keluar dari rumah sakit ia mendapat kabar baik kalau Irfan telah mendapat tambahan masa tahanan setelah menyerangnya beberapa waktu lalu.Rasanya luka yang Alya dapatkan sebanding dengan ganjaran yang lelaki itu perbuat."Saya sudah melakukan sesuai yang Nona mau. Daftar keuangan perusahaan, kinerja karyawan selama Pak Irfan menjabat dan kondisi saham saat ini. Nona bisa memeriksanya lebih dahulu, kalau ada yang kurang saya akan bawakan kembali."Alya mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menayangkan berita terkini. Ia menoleh pada berkas yang ia minta pada Refan lalu menatap lelaki berkacamata itu dengan senyum lebar."Terima kasih Refan, kau selalu bisa aku andalkan. Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu, nikmati waktu santaimu sebentar agar kau tidak stress karena terus menerima perintah dariku."Tak masalah Nona itu memang pekerjaan saya.""Menurutlah kalau aku sudah memerintahkanmu untuk istirahat! Kau selalu begitu, rajin sekali. Aku yang t
Meski Alya masih merasa sedikit marah, tapi ia terlanjur penasaran dengan hal rahasia yang Fatih ingin katakan padanya. Untuk itu, ia mulai berhias dan menanti kedatangan lelaki itu untuk menjemputnya malam ini."Halo, Ma," ucap Alya sembari tersenyum pada sang Mama yang melakukan panggilan video dari rumah sakit padanya.Kesibukan Alya untuk kembali membuat perusahaan maju membuatnya terkadang tak sempat untuk datang ke rumah sakit guna menjenguk Papa dan Mamanya. Tapi, setiap hari setelah pulang dari kantor ia pasti selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video."Rapi sekali, kamu mau ke mana?" tanya sang Mama dari sebrang telepon."Diajak pergi sama Fatih, Ma. Tapi dia gak bilang mau ke mana.""Dinner, ya?" Alya tak menjawab, ia tersenyum lebar sembari memasang anting-anting di telinga."Mungkin Ma, Fatih gak bilang mau ngapain, dia juga gak bilang mau ke tempat apa. Rahasia katanya.""Mau kasih kejutan buat kamu kayaknya. Dulu Papa kamu juga gitu sama Mama. Main rahasi
"A--apa ini Fat?" tukas Alya dengan terbata."Kejutan, untukmu."Alya berbinar, perasaan bahagianya memuncak. Ia menatap Fatih lekat, lantas memeluk laki-laki itu dengan erat."Jadi ini rahasia yang kau katakan padaku?""Hm ....""Karena itu kau ngotot ingin mengajakku kemari dan membujukku yang sedang marah?""Menurutmu?""Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Alya sembari melerai pelukannya dari Fatih. Tapi lelaki itu menahan pinggangnya membuat keduanya kini mengobrol sembari berpelukan."Sejak pagi, dan karena itu aku tak mau gagal untuk mengajakmu kemari. Jujur saat tadi pagi kau marah padaku, aku sempat bingung harus melakukan apa, Al.""Fat ... ini sangat menakjubkan ...." Alya mengerjap, air matanya perlahan jatuh, Fatih dengan cepat mengusap pipi Alya menggunakan punggung tangannya."Kalau begitu jangan menangis, air matamu membuatku terluka Alya," bisik Fatih lembut tepat di telinga Alya."Ini bukan tangis kesedihan, Fat. Ini tangis bahagia, aku sangat bahagia sampai bisa m
"Fatih jangan ngaco, Mas Irfan gak mungkin begitu!" ucap Alya sembari terkekeh, menyeruput cappucinonya. Ia kini berada di mall dalam cafe saat Fatih sahabatnya meminta untuk bertemu tiba-tiba saja padahal Alya tahu Fatih adaah donter yang cukup sibuk. "Alya, aku sudah berapa kali mengatakan padamu, aku gak berbohong. Aku melihatnya jalan berdua dengan Ratih." Alya tertawa lebar, menatap Fatih yang terdiam sembari memperhatikannya. "Selama aku menikah dengan Mas Irfan dan berteman dengan Ratih, mereka tak pernah melakukan hal aneh, Fat." Fatih menghela nafas, mengambil minumannya dan menyeruputnya sedikit. "Capek ngomong sama kamu, Al, sedikitpun kamu gak percaya. "Memang gak terbukti, kan?" "Kalau saja saat itu aku bawa ponsel dan mengambil gambar mereka, kamu gak mungkin menyangkal lagi." "Sudahlah Fat, kamu sebenarnya mengajakku bertemu hanya ingin mengatakan hal ini saja?" Fatih mengangguk. "Kupikir ini sangat penting bagimu makanya aku buru-buru mengatakan agar kau per
Alya menatap arloji di tangan kirinya sembari menatap hotel di depannya kini. Setelah kemarin ia melihat isi perpesanan milik Irfan. Ia menyadap aplikasi perpesanan laki-laki itu. Pagi tadi Irfan berpamitan ke luar kota padanya. Namun, tanpa laki-laki itu sadari, sejak kepergian Irfan, Alya sudah mengikutinya sampai ke hotel ini. Irfan tak pernah pergi ke luar kota. Ia menginap bersama Ratih di salah satu hotel dekat perkampungan, agak jauh dari rumah mereka namun masih satu kota. Alya tahu itu rencana Irfan, agak tak diketahui olehnya. Melihat isi pesan mereka tadi, membuatnya mual dan hampir tidak sanggup untuk menyetir. Alya menemukan fakta bahwa keduanya akan berada di hotel bersama pada malam hari setelah mengetahui keduanya pergi ke beberapa tempat satu harian ini. Bahkan Irfan dan Ratih pergi ke tempat yang tak pernah Alya datangi bersama laki-laki itu. Ia mengatur nafas sembari mengeratkan pegangan pada kemudi. Perasaan gelisah, sedih dan kecewa meliputi dirinya. Ia menung
"Mas bagaimana ini?" tanya Ratih gelisah. "Kita harus susul Alya!" "Tapi ...." "Ayo Ratih! Kita gak punya waktu!" *** Nada dering panggilan pada ponsel Alya berbunyi. Alya melirik sekilas, mengangkat telpon tersebut yang ternyata dari Fatih. "Halo, Fat," ucapnya dengan suara serak sembari melajukan mobil. "Al, kau baik-baik saja? Suaramu terdengar berbeda." Alya terisak, ditanya seperti itu justru ia merasa tak baik-baik saja. Air mata yang tadi sudah ia hapus kembali jatuh, apalagi saat mendengar nada suara Fatih yang begitu mengkhawatirkannya. “Aku memergoki mereka, Fat, dan mereka ….” Alya tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Hanya suara isak tangis dan deru mobil berjalan yang kini terdengar. “Hei! Tenanglah Alya, aku gak tahu apa yang terjadi padamu sebenarnya, tapi apa kamu sedang menyetir mobil?” Alya mengangguk tak sadar, Fatih tak bisa melihat anggukan kepalanya. "Iya, Fat, a--aku .... ” suara Alya tercekat, entah kenapa ia bisa menjadi begitu cengeng saat
Fatih terpaku, suara teriakan dan tabrakan antara lempengan besi itu terdengar memilukan di telinganya. Matanya menatap nanar pada panggilan yang tiba-tiba saja terputus di tangannya. "Al!" panggil Farih lirih, tentu saja tak akan ada jawaban. Detik itu juga ia berlari secepat yang ia bisa, menyusuri lorong rumah sakit tak peduli beberapa orang terus memperhatikannya dengan bingung. Hanya satu yang ada di pikiran Fatih saat ini. Ia ingin menemukan Alya, dalam kondisi selamat, apapun yang terjadi. *** "Mas ...," panggil Ratih dengan tubuh bergetar hebat. Pandangannya nanar menatap mobil Alya yang berguling di hadapannya. Ia menutup telinganya dengan kuat saat mendengar suara jeritan mengerikan dari sana. "A--aku berhasil!" tukas Irfan yang tadinya menunduk kini menodngak menatap jurang di hadapannya. Laki-laki terkekeh pelan kemudian tertawa dengan keras hingga membuat Ratih menoleh perlahan. Wanita itu ketakutan melihat tingkah Irfan. "Mas kamu sudah gila?" "Hahaha, aku sudah m
Irfan masuk ke dalam rumah yang kini sunyi, segera melepaskan baju dan sepatunya. Naik ke atas kamar dan berbaring di sana sembari menunggu. Kemungkinan berada di sana untuk beberapa saat sembari menunggu. Ting ... Tong .... Bel rumahnya berbunyi, bergema di kamarnya. Irfan membuka mata, menekan tombol audio. "Pak Irfan, ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap seorang satpam. Irfan menghela nafas, menetralkan debar jantungnya yang menggila. Ia memejam sejenak sebelum menjawab. "Siapa?" "Dua orang polisi." Irfan memejam, ia mengatur nafas untuk memberikan alasan serta jawaban yang sudah ia latih dalam pikirannya sejak tadi. "Baiklah, suruh mereka masuk!" *** "Ada apa gerangan Bapak datang kemari?" tanya Irfan pada dua polisi di hadapannya. "Begini, kami ingin mengabarkan sesuatu. Alya Putri Bratawijaya, benarkah alamatnya di sini?" Irfan memicing, berusaha memasang mimik curiga. "Ya, betul, ada apa, ya, Pak?" "Istri Bapak telah mengalami kecelakaan tunggal dan mobil