Kutinggalkan mereka semua yang masih diam terpaku. Entahlah mereka diam karena berpikir atau diam karena kesal aku tidak paham yang jelas malam ini aku cukup puas. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Niatku hanya mengambil perhiasan yang dicuri Rara malah aku dapat kalung yang aku beli satu tahun yang lalu. Niatnya memang kalung ini akan aku berikan pada ibuku di kampung, tapi ternyata sudah ibu ambil duluan. Aku tahu itu, tapi aku pura-pura tidak tahu karena bagiku kebahagiaan mertua adalah nomor satu nyatanya begitu banyak yang aku berikan pada mereka masih saja mereka tidak terima malah sampai menghianatiku. Untuk hal-hal lain mungkin aku bisa mentoleransinya, tapi kalau untuk penghianatan tidak akan pernah bisa.“Loh ... lo ... Teh Lisa, kok dari rumah ini ada apa? Oh, aku paham pasti Teh Lisa bermaksud menjemput Mas Eko, ya? Mbak Lisa, ini sok jaim, deh! Suka marah-marah sama Mas Eko, tapi ternyata tidak terima kalau Mas Eko tinggal sama istri mudanya,” ucap Salsa yang ba
“Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke sini, Mas?” jawabku kesal. Segera kusibak selimut dan juga lengan kokoh Mas Eko yang melingkar di pinggangku.“Ini juga kamarku untuk apa aku minta izin,” jawab Mas Eko. Lalu dia bermain dengan Fia.“Itu dulu, Mas. Sekarang enggak lagi. Kamu kan, sudah punya kamar yang baru yang bisa menghangatkan kamu, jadi mulai sekarang kamu kuharamkan untuk berada di kamar ini lagi.”“Tidak bisa begitu dong, walau bagaimana pun juga kamu itu istri sahku dan kamu harus tunduk pada suami bukan suami yang tunduk pada istri.”“Aku capek Mas, jika berdebat terus dengan kamu. Punya otak tidak nyambungan mau sampai mulutku berbusa pun kamu tidak akan pernah nyambung. Lebih baik kamu sekarang pergi atau aku gunakan kekerasan!”“Lisa, kali ini saja tolong beri aku kesempatan. Aku janji tidak akan pernah berbuat aneh-aneh lagi di belakangmu. Aku menyesalinya, Lis, sumpah!”“Silakanlah kamu mau bersumpah seperti apa pun aku tidak akan pernah percaya lagi sama kamu, M
“Kamu masih pagi banget sudah rapi, Dik. Tidak seperti biasanya. Penampilan kamu juga seperti gadis lagi. Mau ke mana?” tanya Mas Eko. Dia sudah duduk manis di meja makan bersama keluarga benalunya. Tidak heran, sih, kalau mereka bisa masuk rumahku karena aku yakin Mas Eko punya kunci duplikat rumah ini dan aku memang harus segera menggantinya. Jika tidak, maka apa yang aku takutkan bisa terjadi di kemudian hari.“Sudah punya suami kalau dandan itu enggak usah menor-menor, pakai baju enggak usah bagus-bagus. Pakai tas enggak usah yang mahal-mahal, dan enggak usah pakai perhiasan begitu. Terlalu mencolok! Nanti dikiranya kamu gadis,” sahut ibu mertuaku seraya mengunyah sarapannya.“Kenapa sih, Ibu dan Mas Eko ini rewel banget. Aku mau pakai baju apa pun mau pakai perhiasan mana pun itu terserah aku. Karena ini milikku dan tidak menyusahkan kalian apalagi minta dibelikan kalian,” jawabku kesal segera aku tarik kerah baju Rara agar beranjak dari kursi makanku. Enak saja dia menduduki k
Brak!“Aaaa ... baju baruku!”Rara teriak saat kuhempaskan tubuhnya sampai jatuh dan bajunya robek karena terinjak high heelnya sendiri.“Dasar perempuan iblis!” maki Rara padaku.“Yang iblis itu kamu, Ra! Iblis jangan teriak iblis!” kataku lagi. Aku benar-benar kesal padanya dan kembali kuinjak telapak tangannya.“Sakit! Bego kamu ya! Tuli kupingmu, ya! Lepas ini sakit sekali!” pinta Rara seraya memukuli betisku.“Bagaimana sakit bukan? Kalau tidak mau merasakan sakit jangan pernah menyakiti orang lain!”“Ya, ampun Rara! Kenapa kamu jatuh begitu?” teriak ibu. Beliau tergopoh-gopoh membantunya berdiri.Tak kulihat Mas Eko, entah di ada di mana perasaan tadi dia pergi ke arah sini.“Lihat Bu, baju mahalku sobek. Gara-gara si Risa mendorong sampai bajuku tersangkut. Ini padahal kan, harganya mahal sudah gitu dibelikan Mas Eko,” adu Rara seperti anak kecil.“Kalau kamu tidak kurang ajar pada mbok, aku tidak akan pernah melukaimu,” jawabku santai.“Kamu juga Lisa, apa-apaan sih, malah
“Permisi, Mbak ... ada yang bisa kami bantu?” sapa suster di bagian resepsionis. Astaghfirullah aku begitu memperhatikan teh Ocha dan keluarganya sampai aku lupa bahwa di dekatku ada resepsionis. Sekilas kulirik Teh Oca dan keluarganya duduk di ruang tunggu.“Begini, Sus, saya ingin bertemu dengan Bidan Linda. Sebenarnya kemarin harusnya saya menemui beliau, tapi ada keperluan mendadak, jqdi saya tidak bisa ke sini. Apa Bidan Linda hari ini ada?”“Ada, tapi kebetulan Bu Bidan sedang ada pasien melahirkan, jadi Mbaknya bisa menemui beliau setelah bidan selesai menangani pasien. Ini nomor antriannya nanti akan kami panggil, ya?” Kuambil nomor antrian yang diberikan oleh suster kulihat nomor antrian 8 padahal rumah bersalin ini masih sepi kenapa aku dapat nomor 8? Harusnya kan, di bawah ini.“Suster, maaf memangnya ada pasien banyak kok, saya dapat antrian nomor 8? Perasaan hanya ada saya di sini?” tanyaku lagi. Kalau sampai aku benar-benar harus menunggu bisa-bisa Mas Eko akan sampai
“Assalamualaikum. Permisi Bu Bidan,” sapaku kepada bidan Linda yang sibuk mencatat sesuatu.“Waalaikumsalam ... silakan duduk,” jawab Bindan Linda dengan ramah.“Apa kabar Mbak Lisa, kemarin sudah saya tunggu loh, tapi ternyata nggak dateng,” tanyanya.“Alhamdulillah baik Bu Bidan. Kemarin saya ada keperluan keluarga mendadak, jadi tidak bisa datang. Maaf ....” jawabku sungkan. Sungguh aku merasa tidak enak sekali karena mengingkari janjiku sendiri.“ Alhamdulillah kalau begitu.”“Em ... maaf Bu Bidan. Saya bermaksud menanyakan yang kemarin itu,” kataku lagi.“Oh, iya ... kemarin saya dengan beberapa suster sudah mencoba mencari dokumen yang sama persis dengan yang Mbak Lisa bawa dan memang kami mengakui bahwa akte kelahiran yang Mbak Lisa bawa itu dari rumah bersalin ini. Memang benar Mbak Lisa merupakan pasien melahirkan 1 tahun yang lalu, tapi anak yang Mbak Lisa lahirkan krisis lalu kami rujuk ke rumah sakit.”“Jadi anak saya kritis Bu Bidan? Lalu kenapa saya tidak tahun, ya
“Iya, Mbak Lisa memang benar. Waktu pengajuan akta kelahiran seorang bayi itu menggunakan KK dan juga KTP kedua orang tuanya dan memang saya langsung yang terjun untuk mengurus itu, tapi memang saya tidak memperhatikan apakah itu satu orang yang sama atau tidak karena kan, yang lahiran di sini banyak jadi yang mengajukan akte kelahiran juga banyak. Kebetulan juga waktu Mbak Lisa mengajukan akte kelahiran untuk anak Mbak Lisa itu sekitar 1 bulan setelah kelahiran karena mungkin keluarga Mbak Lisa sangat sibuk. Ke dua orang tua Mbak Lisa waktu melengkapi administrasi di sini belum mengajukan pembuatan akta setelah sekitar 1 bulan kemudian baru KK dan KTP diantarkan,” jelas Bidan Linda lagi.“Oh, begitu Bu bidan, tapi ini NIK nama ayahnya benar-benar sama. Saya hanya ingin memastikan saja. Kalau pun benar tidak apa-apa,” kataku lagi. Pandangan beliau pun merasa iba padaku bahkan beliau seperti bingung dan ingin sekali menanyakannya padaku lebih lanjut, tapi beliau sadar ini menyangkut
“Berkas apa yang kamu maksud, Mas? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?” Mas Eko langsung salah tingkah dan buru-buru menggelengkan kepalanya.“Bukan apa-apa hanya Berkas pekerjaan biasa,” elak Mas Eko. Dia beranjak ke lemari dan mengobrak-abrik isinya.“Oh, iya? Pekerjaan yang mana, kok, aku tidak tahu?” cecarku.“Memangnya segala sesuatu seorang istri harus tahu?” jawab Mas Eko balik bertanya.“Tentu saja dong, Mas. Bukankah kamu tadi sudah menuntutku untuk memberi tahu padamu tentang segala sesuatu yang aku kerjakan?”“Ya, itu istri. Kalau suami itu tidak wajib.”“Oh, jadi gitu aturannya. Sudah seperti majikan dan asistennya saja, dong! Aku tentu saja tidak akan pernah mau menaati peraturan yang sama sekali tidak menguntungkan bagiku. Sebaiknya sekarang kamu keluar!” Usirku.“Berisik! Aku sedang ada perlu di sini. Aku butuh berkas yang aku simpan di sini!” bentak Mas Eko.“Ck, katanya tadi tidak penting kok, sekarang butuh?”“Bisa diam enggak kamu itu, Lisa! Bawel