Sejak Menikah Dani selalu tidak adil dengan istrinya. dani lebih banyak memberikan uang dan kemewahan pada ibu dan kakaknya yang tidak punya suami. Saat Soraya meminta uang, Dani selalu berkata uang nya habis. namun buat sang kakak selalu ada.
Lihat lebih banyak"Mas, ini brosur sekolah buat Adel. Ini sekolah bagus Mas, IT dan mungkin bagus buat perkembangan agamanya Adel. Coba di lihat."
Soraya istriku menyodorkan brosur harga sekolah SDIT yang tidak jauh dari rumah kami. Aku menghela napas, akhirnya mengambil brosur itu dari tangannya. Berat. Bukan kertasnya, tapi bayangan angka-angka yang pasti tertulis di dalamnya. Aku hanya mendengus pelan, menatap brosur itu sekilas. Huruf-huruf besar berwarna biru mencolok: "Sekolah Dasar Islam Terpadu—Mencetak Generasi Berakhlak dan Berprestasi". Aku membukanya perlahan. Mataku langsung tertuju ke bagian "Bi@ya Pendaftaran". Deretan angka berjajar rapi, dengan nominal yang cukup untuk memb3li motor bekas dalam kondisi lumayan. Aku bisa merasakan keningku berkerut, gegas aku kembali menaruh di meja. Soraya menatapku, seakan bisa membaca pikiranku. "Mas, memang m@hal, tapi coba pikir, ini buat Adel," suaranya pelan, tapi tegas. Aku diam. Di satu sisi, aku ingin memberikan yang terbaik untuk Adel. Tapi di sisi lain, aku juga tahu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. "Kita bisa cari sekolah lain dulu, atau bahkan seolah negri saja sama kok biayanya dan pastinya bagus," kataku akhirnya, mencoba tetap tenang. Soraya menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. Namun, aku bisa melihat dari matanya bahwa ini belum selesai. "Hmm... " "Mas, dilihat lagi yang jelas. Beberapa bulan lagikan Adel SD, Mas," ucap Soraya lagi. Terpaksa aku mengambilnya lagi, padahal aku sudah tahu karena sekolah yang direkomendasikan istriku hampir sama dengan sekolah Adinda--keponakanku dan sudah jelas bulanan saja mahal apalagi u@ng pangkal. "Lebih mvrah sih dari sekolah Adinda, Mas. Memang sekolah negri sama bagusnya, tapi aku mau lebih ada pendalaman agama lagi pula pengh@silan kamu pun cukup untuk memb@yar bulanan dan daftar ulang tiap tahun," ucap Aya lagi. "Kalau mau sekolah IT kenapa kamu baru bilang sekarang, harusnya sejak awal. Kan bisa masuk gelombang pertama. Lebih murah, kalau sekarang kan sudah mahal," kataku mencoba mengalihkan. Kulihat wajah Soraya berubah pias. Bahkan dia kembali mengambil brosur itu dan bangkit berdiri di hadapan aku. "Mas, kamu bilang beberapa persen kamu tabungkan buat biaya sekolah Adel kan? Kenapa kamu seolah-olah tidak ada uang untuk sekolah Adel, penghasilan kamu itu besar loh sebagai General manager," ucap Soraya. Aku menarik napas panjang, yah penghasilanku memang sangat cukup untuk membayar uang pangkal, tapi ... Ah sudahlah. Aku harus tegas pada Soraya. Lagi pula sama saja kan sekolah juga. Negri dan swasta. "Ma, kamu jangan ikut campur urusan keuangan aku. Sudah aku katakan, aku memberimu segitu ya sudah. Jangan protes dan meminta lebih. Kamu pikir, aku gudang uang apa!" Kutinggalkan istriku ke dalam, berdebat dengannya sangat membuang waktu. Gegas aku kembali merebahkan tubuh, harusnya saat libur seperti ini dia tidak membuat mood aku jelek. Ting ... Sebuah pesan dari Mbak Maya membuat aku beralih pada ponsel di nakas. "Dan, besok malam Tante Inggit ngundang kita ke acaranya. Ulang tahun dia, kamu datang ya tapi jangan ngajak Soraya. Istri kamu itu nanti hanya bikin malu saja di sana." Aku menarik napas panjang, Mba Maya ini lupa apa tidak sih, aku sudah berkeluarga tapi tidak pernah boleh mengajak Soraya ke acara penting. Tapi, ada benarnya juga. Sehari-hari saja pakai daster bolong. Adanya nanti buat malu aku di sana. Sedangkan Tante Maya itu investor besar. Mungkin saja aku bisa mendapatkan investasi di perusahaan kecil yang baru aku bangun tanpa sepengetahuan Soraya. Perutku terasa lapar, lebih baik aku makan dari pada kena Magh. Kukira akan mendapatkan lauk enak, tapi kenapa hanya nasi goreng saja? Kemana uang yang aku berikan awal bulan, masa tanggal 15 sudah habis? "Ma, kamu enggak masak?" Aku melangkah menghampiri Soraya. "Itu kan ada di meja makan, nasi goreng. Makan aja yang ada, Pa. Seadanya saja," jawabnya santai. "Seadanya bagaimana? Nasi goreng doang, aku kerja capek dari pagi pulang malam, hari libur kamu suguhi nasi goreng doang? Uang yang aku kasih ke kamu sebulan ke mana?" tanyaku berapi-api. "Awal bulan kamu kasih aku satu juta, bilangnya pegang aja dulu, nanti tanggal 10 kamu transfer lagi. Tapi, aku Wa kemarin bilang uang masak abis karena ibu datang dan minjem buat beli makanan bekal buat Adinda, tapi kamu bilang iya aja." Soraya bangkit menghampiri aku lebih dekat. "Sampai tanggal 15 kamu enggak transfer loh, Pa." "Ya, aku lupa. Kenapa kamu enggak ingetin?" tanyaku. "Bukannya sudah, tapi kamu bilang nanti pulang kerja. Tapi, pulang kerja kamu pulang malam karena mengantar Mba Maya ke rumah sakit berobat Adinda kan? Ehm,, jangan-jangan kamu juga yang bayar ke dokter anak." "Jangan asal bicara!" "Kalau enggak santai aja jangan emosi. Aku masih di depan kamu, ini rumah bukan hutan. Jadi, jangan berteriak seolah-olah aku tidak bisa mendengar. Kalau enggak ya sudah," ujarnya. Aku menarik napas, kesabaran ini sangat tipis menghadapi Soraya yang sekarang mulai membantah. Apa karena sekolah Adel yang aku tolak? Astaga perutku lapar, mau tidak mau aku makan nasi goreng itu. *** "Aku sudah tr4nsfer uang yang kemarin di pinjam ibu. Sama aku tambah buat sampai akhir bulan. Aku enggak mau sampai kamu masak kaya tadi," ucapku. Aku melongok ke dapur, ternyata dia sedang mencuci baju kerjaku. Dia sangat rapi, teliti. Bahkan, kerah baju kerjaku saja tidak pernah kotor. Selalu bersih, berbeda dengan beberapa rekan kerja yang kerah baju sudah hitam tidak hilang. "Hmm ... Makasi." Soraya hanya menjawab itu saja, dia kembali menyikat baju kerjaku dengan tangannya. Kenapa sedingin itu? Apa masih dengan alasan sekolah Adel dia marah atau aku telat transfer uang masak? "Ma, aku nanti malam mau pergi sama Mbak Maya juga ibu ke rumah teman ibu. Ada acara." "Ya, sudah." Loh, kok dia hanya jawab seperti itu. "Ma, aku dari tadi bicara kok kamu malah sibuk mencuci? Kalau suami bicara, lihat dong aku." Emosi aku kali ini. "Aku sibuk Mas, lagi pula apa yang harus aku jawab lagi, toh aku enggak pernah di ajak jadi sudah seperti biasa kan. Harus bicara apa lagi akunya?" Loh kok Aya marah? Menyebalkan sekali. Harusnya dia berkaca sama Mbak Maya, dia janda loh dan masih dandan dan cantik. Berbeda sama Soraya, aku pulang kerja dia pakai daster. Masih bau bawang dan ah .... Malas juga aku mengingatnya. "Aku malas mengajak kamu, aku malu karena kamu enggak pandai berdandan. Beda sama Mbak Maya yang bisa menempatkan diri." Soraya menatapku, lalu dia berdiri di hadapanku. "Kalau kamu modalin aku, aku juga bisa lebih cantik dari Mbak Maya. Kamu lupa, kenapa kamu bisa menikah sama aku? Kalau aku tidak cantik, buat apa kamu mengajak aku menikah?" Sial! Kenapa dia bisa membalikan ucapanku? "Enggak bisa jawab kan kamu?" "Aku tidak mau bahas itu. Kalau aku salah ya sudah maaf." "Maaf? Selalu itu kata keramat yang keluar dari mulut kamu dan besok begitu lagi. Oh, ya satu hal lagi yang harus kamu ingat ,Mas. Jangan pernah bandingkan aku dan Mbak Maya kakak kamu yang enggak jelas dapat uang dari mana bisa menyekolahkan anaknya di tempat mahal dan juga selalu tampil cantik sementara dia saja tidak bekerja." Tangan ini lepas kontrol dan berakhir membuat pipi Soraya merah. ***Bara menatap Soraya sejenak sebelum memfokuskan diri pada jalan. "Kamu sudah melangkah jauh, Ay. Aku bangga sama kamu."Soraya tersenyum tipis, hatinya terasa lebih ringan. Beban yang dulu menghimpit perlahan mulai menghilang. Bersama Bara, dia merasa bisa menjalani hidup yang baru dengan lebih bahagia."Terima kasih, Bara, untuk selalu ada," ucapnya pelan.Bara menggenggam tangan Soraya lembut. "Selalu, Ay. Sekarang fokus kita adalah masa depan—kamu, aku, dan Adel."Soraya mengangguk, yakin bahwa apa yang dia pilih saat ini adalah yang terbaik. Masa lalu sudah tertinggal, dan kini saatnya melangkah maju."Jadi, kita bulan madu ke mana?" Bara mengedipkan mata. Soraya pun tersipu malu saat di goda suaminya. "Bulan madu? Memangnya kita masih perlu bulan madu?" goda Soraya sambil tertawa kecil."Ya perlu dong, Bu Bara. Hitung-hitung refreshing. Lagipula, Adel pasti senang kalau kita liburan bareng," jawab Bara sambil menyeringai.Soraya berpikir sejenak. "Hmm, kalau gitu, ke tempat yan
Bu Rasyid mengurus Dani, dia berharap sang anak akan memafkan dirinya. Di satu sisi, Dani masih belum bisa percaya dengan sang ibu.Namun, Murni terus mengingatkan Dani. Ada Adinda yang juga masih harus dia urus. Terlepas dari kebenciannya pada Maya, mungkin Dani bisa berdamai dengan keadaan. Apalagi Adinda kini sebatang kara.Di kamar yang kini terasa semakin sempit, Dani duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kepalanya masih terasa berat oleh segala masalah yang menumpuk, sementara Bu Rasyid duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan wajah penuh harap."Dan, Ibu cuma mau kamu bahagia. Maafin Ibu, Nak," ucap Bu Rasyid pelan, suaranya bergetar.Dani menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya yang sudah lama rapuh. Rasa kecewa, marah, dan lelah bergulat dalam dadanya."Memaafkan itu enggak gampang, Bu. Luka ini masih ada," jawab Dani dengan suara rendah.Bu Rasyid menunduk, merasa kata-kata Dani begitu menusuk. Murni yang berada di sana mencoba menengahi."
Dani tertawa sinis. "Wanita pengganti Soraya? Ibu pikir semudah itu?"Bu Rasyid menghela napas, duduk di samping Dani. "Nak, hidup harus terus berjalan. Kamu nggak bisa selamanya terjebak di masa lalu."Dani menatap ibunya, matanya lelah. "Ibu sadar nggak, kalau semua ini karena keputusan ibu juga?"Bu Rasyid terdiam. Murni yang sejak tadi mendengarkan ikut bicara, "Mas, udah cukup. Berhenti nyalahin ibu. Kalau Mas benar-benar mau bangkit, mulai dari diri sendiri dulu."Dani menunduk. Entah kenapa, kali ini kata-kata Murni lebih mengena daripada biasanya.*"Sah.""Sah."Akhirnya Bara mengucapkan ijab kabul, pernikahan mereka sudah sah. Soeaya sudah menjadi istri dari Bara. Soraya menundukkan kepala, menahan haru. Air matanya hampir jatuh, tapi bukan karena kesedihan—melainkan rasa lega. Setelah bertahun-tahun melewati luka, akhirnya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.Bara menoleh ke arahnya, tersenyum penuh arti. Soraya balas tersenyum, hatinya mengh
Sebulan cukup untuk mempersiapkan pernikahan untuk Soraya. Dia tidak meminta mewah, tapi baginya sah saja sudah cukup dan dia mau pernikahan keduanya awal dari kebahagiaan yang tertunda. Di satu sisi lain, Dani kini sedang berada di rumah sakit. Pria itu over dosis obat karena beban yang terlalu banyak dia merasa pusing dan akhirnya berlebihan mengkonsumsi obat. "Mas, harus sembuh. Mas masih punya masa depan kok." Murni mencoba menyemangati sang kakak. Dani masih sangat lemas, "Enggak, Mur. Masa depan Mas hanya pada Soraya dan Adel." Tatapannya hampa dan penuh penyesalan. Murni pun sudah mengerti mungkin sang kakak sudah mengetahui kabar tentang pernikahan mantan istrinya yang akan segera di gelar. Murni menghela napas berat. "Mas, hidup nggak berhenti di Soraya dan Adel. Mas harus bangkit. Kalau Mas terus begini, Mas nggak akan pernah bisa memperbaiki hidup."Dani tertawa miris. "Bangkit buat apa? Soraya udah bahagia, Adel juga pasti udah nyaman sama Bara. Aku cuma bayang-bayang
Ruangan tiba-tiba sunyi.Bu Rasyid menelan ludah, hatinya nyeri melihat putranya yang seperti ini. "Dani, Ibu enggak mau lihat kamu terpuruk. Bangkit, Nak. Kalau kamu enggak mau buat dirimu sendiri, setidaknya buat Adinda."Dani terdiam, bibirnya menegang. Hatinya ingin membantah, tapi entah kenapa, rasa lelah yang lebih mendominasi."Stoplah, Bu. Adinda itu enggak buat aku semangat. Yang buat aku semangat itu Adel anak kandungku!""Dan, Adinda anak kandung kamu. Jangan kaya gitu," protes Maya. "Iya, anak haram!"Sebuah tamparan mengenai pipi Dani. "Lagi tampar Mbak. Puas Mba sekarang dah buat hidup aku hancur!" Teriakan Dani membuat Maya takut. Bu Rasyid pun mencoba menenangkan Dani. Sementata itu sepertinya Maya mengurungkan niat awal saat dia datangnya.Soraya mempersiapkan untuk makan malam bersama di rumahnya. . Dia mengundang Bara karena ucapan terimakasih kasih sekaligus ingin membahas sesuatu dengannya. Soraya akan menjawab pertanyaan Bara apa mau menjalanj masa dengan deng
"Kamu lihat kam Dan, siapa yang duluan move on? Lihat, Soraya bersama pria makan malam di restoran."Dani menarik napas saat membaca pesan masuk dan melihat gambar foto Soraya dan Bara yang sedang makam malam. Dadanya kembali terbakar saat melihat keduanya sangat akrab setelah siang tadi dirinya juga merasakan hawa panas yang menjalar keseluruh tubuh.Dani menggenggam ponselnya erat. Matanya menatap foto itu lekat-lekat, seolah mencari celah bahwa ini hanya kebetulan, hanya pertemuan biasa. Tapi nyatanya, senyum Soraya terlalu lepas, terlalu bahagia. Dan Bara… pria itu jelas bukan sekadar teman.Rahangnya mengatup, dadanya terasa sesak. "Cepat banget dia move on," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Pikirannya berkelindan. Siang tadi, melihat Soraya di kantor sudah cukup menyakitkan. Tapi kini, melihatnya makan malam bersama Bara—seakan dunia menamparnya dua kali dalam sehari.Ponselnya kembali bergetar."Kamu diam aja, Dan? Atau masih berharap bisa balikan? Lihat kenyataan, dia u
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen