Widiani menikah dengan Rendy demi cinta, meski tanpa restu dari ayahnya. Namun, Rendy membuat ulah di usia 1 tahun pernikahan mereka. Rendy tidak jujur dalam keuangan bahkan tega menyelingkuhi Widiani. Tidak hanya itu, Widiani juga mendapatkan fakta menyakitkan tentang niat Rendy menikahi dirinya. Widiani bersumpah akan membalas perbuatan Rendy. Di tengah dendam yang membara, seorang pria kaya bernama Fabian hadir membantu dan perlahan menyembuhkan luka Widiani. Apakah Fabian mampu menggoyahkan hati Widiani?
Lihat lebih banyakSetelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Widiani merebahkan diri di sofa ruang tamu, menikmati sejenak ketenangan yang jarang ia dapatkan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika dua orang pria berpakaian formal mengetuk pintu rumahnya. Lebih parahnya lagi, wajah kedua orang tersebut tidak menunjukkan keramahan sama sekali.
"Permisi, perkenalkan saya Restu. Dan beliau tuan Fabian, atasan saya," ujar Restu. "Kami mencari pak Rendy, untuk menanyakan progres pengerjaan pesanan kami. Apa dia ada di rumah?"
Widiani hendak menjawab bahwa Rendy ada di kamar mereka. Namun, sebelum sempat berbicara Hera–-ibu mertua Widiani menyela ucapannya.
"Rendy sedang tidak ada di rumah," ujar Hera--ibu Rendy dengan lantang dari arah belakang Widiani.
Kening Widiani mengkerut, merasa heran dengan perkataan sang ibu mertua. Entah apa maksudnya berbohong tentang keberadaan Rendy, tapi pertanyaan itu hanya bisa ia telan di dalam hati.
"Kalau boleh tau, di mana keberadaan pak Rendy saat ini? Masalahnya, pesanan kami sudah telat jauh dari hari yang dia janjikan. Sudah berhari-hari rekan kami menemui Pak Rendy di workshop CV. Lintang Advertising. Tapi, tidak pernah ada di tempat. Sampai-sampai, atasan kami yang harus turun tangan," ucap Restu panjang lebar.
"Silahkan masuk dulu, Bapak-bapak. Kita bicarakan ini di dalam," tawar Widiani pada Fabian dan Restu. Ia tidak ingin permasalahan ini terdengar oleh tetangga sekitar.
"Tidak perlu!" tolak Fabian dengan wajah dingin, kemudian memberi ancaman tak terduga pada Widiani. "Kalau pesanan kami tidak selesai lusa, kami akan membawa perkara ini melalui jalur hukum. Permisi."
Widiani menatap punggung Fabian dan Restu, sampai kedua pria yang memakai pakaian formal itu masuk ke dalam sebuah mobil mewah. Widiani bergegas menuju kamarnya, sampai tak menghiraukan Hera yang masih berdiri di sana. Begitu sampai di kamar, tampak sang suami sedang duduk di tepi ranjang dengan raut wajah gelisah.
"Mas, kenapa pesanan pelanggan sampai mangkrak? Ada kendala apa sebenarnya? Tidak biasanya kamu seperti itu, Mas," ujar Widiani pada sang suami.
"Kamu ini banyak tanya, ya!" sentak Rendy ketus.
"Kenapa jawabnya begitu, Mas? Ya, wajar dong aku tanya. Memangnya kamu mau dipenjara, kalau pesanan itu tidak selesai lusa?"
Rendy menghela napas kasar, lalu mengusap wajah dengan kedua tangan. "Bukan aku nggak mau jawab, Sayang. Aku juga pusing! Ada masalah besar yang nggak bisa aku jelasin sama kamu sekarang."
Widiani mengernyit, ia makin curiga pada sang suami. "Masalah besar apa, Mas? Aku ini istrimu. Setidaknya, kasih aku kejelasan."
Rendy terdiam. Matanya menatap lantai kamar, seolah sedang mencari jawaban di sana. Di sisi lain, Widiani semakin gelisah melihat sikap suaminya yang tampak seperti seseorang yang memiliki banyak beban.
"Mas, kalau memang ada kendala, kita cari solusinya. Jangan malah diam dan lari dari masalah seperti tadi," bujuk Widiani dengan suara lebih lembut.
"Aku kehilangan dana proyek itu," ucap Rendy lemah.
Mata Widiani membola, saat mendengar pengakuan sang suami. "Kehilangan? Maksudnya?"
"Dana yang harusnya aku pakai untuk produksi barang pesanan mereka, raib tak bersisa. Sebagian aku gunakan untuk membayar hutang, sebagian lagi ...." Rendy menggigit bibir, ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Sebagian lagi apa, Mas?" desak Widiani.
Rendy mendongak menatap istrinya. "Aku kena tipu investasi bodong."
Jantung Widiani mencelos. Ia tak menyangka suaminya terjebak dalam masalah seperti ini. "Ya Tuhan, Mas. Kenapa kamu tidak cerita dari awal?"
"Aku takut, Wid! Aku pikir, akan ada cara untuk menutupi semuanya sebelum tanggal pengambilan pesanan pak Restu."
"Berapa uang yang terpakai sama kamu, Mas?" tanya Widiani penuh selidik.
"Semuanya 175 juta.” Rendy menjawab sambil meraih pergelangan tangan sang istri. "Tolong, Sayang. Bantu aku cari pinjaman atau jual apa pun yang bisa dijual. Aku tidak mau masuk penjara."
"Seharusnya, dari awal kamu tuh mikir, Mas. Kamu tahu sendiri 'kan, aku sudah tidak punya apa-apa. Semua tabungan dan perhiasan ku sudah habis, untuk membuka usaha kita itu. Parahnya, kamu malah gunakan uang itu untuk hal yang tidak perlu tanpa seizin aku," ucap Widiani panjang lebar sambil melepaskan pergelangan tangan yang dipegang oleh sang suami, iaa sungguh kecewa dengan kelakuan pria yang telah menikahinya satu tahun yang lalu.
"Jadi, kamu tidak mau membantu suamimu sendiri!" bentak Rendy frustasi. "Kamu mau aku dipenjara?"
Widiani terdiam, hatinya nyeri setelah dibentak seperti itu oleh sang suami. Selama ini. Rendy selalu bertutur manis padanya. Namun, kali ini sikap Rendy bagai orang asing, seolah ia bukan lagi pria yang begitu mencintainya.
"Mana bukti kamu bayar hutang, Mas? Dan, kasih aku alamat dan nomor telepon orang yang sudah menipu kamu." Widiani mengulurkan sebelah tangannya ke depan dada Rendy. "Aku punya teman yang bisa melacak identitas penipu itu."
"Aku bayar hutang pakai tunai. Dan... soal penipu itu, aku juga tidak punya data lengkapnya," jawab Rendy dengan nada terbata-bata.
Widiani menatap suaminya dengan sorot mata yang tajam. "Jadi, kamu kasih uang ratusan juta ke orang yang bahkan nggak kamu kenal baik, tanpa bukti apa pun?"
Rendy terdiam. Matanya tampak menghindari tatapan sang istri, kedua tangannya terkepal di atas lutut. "Anggap saja, kita sedang terkena musibah."
"Iya, musibah. Musibah yang kamu buat sendiri dengan sadar!" ujar Widiani penuh penekanan.
Saat Widiani hendak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan paksa. Di ambang pintu, Widiani dan Rendy melihat Hera berdiri dengan wajah tegang dan ketakutan.
“Rendy! Di luar ada tante Tini. Dia mau menagih hutang,” ucap Hera terbata.
Widiani langsung menatap sang suami dengan sorot penuh kekecewaan. "Jadi, kamu punya hutang lain yang aku tidak tahu, Mas!”
Bukannya menjawab, Rendy malah menundukkan kepala, menghindari tatapan sang istri. Widiani merasa dadanya semakin sesak. Masalah rumah tangganya ternyata jauh lebih rumit dari yang dipikirkan.
Suara ketukan keras di pintu depan, terdengar menggema ke seluruh rumah. Widiani bisa mendengar suara seorang wanita paruh baya yang berbicara dengan suara tinggi.
“Rendy!Jangan kamu kira bisa lari dari tanggung jawab!” suara tante Tini terdengar jelas dari luar.
Hera menatap putranya dengan gelisah. "Rendy, kamu harus bicara dengan dia. Kalau dibiarkan, nanti malah makin ribut!"
Namun, Rendy tetap tak bergeming. Ia malah mengusap wajahnya dengan frustasi. "Ibu saja yang temui. Minta waktu satu bulan lagi sama dia, Bu."
"Ibu mana berani, Ren. Kamu saja, toh uang itu juga untuk ...," Hera bungkam seketika, saat Rendy memberi kode untuk diam. Namun, interaksi ibu dan putranya itu tak luput dari perhatian Widiani.
"Apalagi yang Ibu, dan Mas Rendy sembunyikan dari aku? " tanya Widiani penuh selidik.
"Nggak ada yang kami sembunyikan!" ketus Hera, kemudian memberi perintah pada Widiani. "Mending kamu temui rentenir itu ke depan. Bilang aja ibu sama Rendy nggak ada di rumah."
"Ibu sama Mas Rendy yang berhutang, kenapa harus aku yang menghadapi mereka?" ujar Widiani acuh.
"Kamu istrinya Rendy. Jadi, kamu juga harus ikut bertanggung jawab!" Hera mendelik tajam ke arah sang menantu.
Brak!
Terdengar suara pintu depan yang dibuka paksa, sebelum Widiani sempat membalas ucapan Hera. Tak lama, suara tante Tini menggema nyaring dari arah ruang tamu.
"Keluar kamu, Rendy! Bayar hutang, atau saya bakar rumah ini!"
"Tolong!" jerit Widiani, suaranya tercekat.Di luar kamar, Ana yang baru saja meletakkan panci sayur di meja makan, mendengar samar-samar suara teriakan. Ia mengernyitkan dahi."Pak Rendy?" panggil Ana pelan, tapi tidak ada jawaban. Suara teriakan Widiani kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Ana merasakan firasat yang tidak enak. Ana ragu sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk mendekati kamar Widiani.Tok... tok... tok...Ana mengetuk pintu kamar dengan pelan. "Pak Rendy? Bu Widi? Makan malam sudah siap."Tidak ada jawaban. Yang terdengar justru suara samar-samar seperti desahan tertahan dan gesekan kain. Ana mengetuk lagi, sedikit lebih keras.Tok... Tok... Tok..."Pak Rendy, Bu Widi! Maaf mengganggu, makanan sudah saya siapkan," ujar Ana lagi.Tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasar. Rendy berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam, rambutnya makin berantakan dan kaos oblongnya semakin kusut. Kilatan amarah terpancar jelas di mata Rendy."Apa?!" bentak Rendy, nadanya sangat
Jam menunjukkan pukul enam sore ketika Widiani sampai di rumah, pelipisnya masih terasa tegang setelah seharian bergelut dengan pekerjaan. Widiani rasa, kepalanya akan makin bertambah pusing bila Hera mengajaknya untuk berdebat lagi. Widiani memutuskan masuk ke dalam lewat pintu samping yang terhubung ke dapur agar tidak berpapasan dengan Hera atau pun Rendy. Begitu Widiani membuka pintu samping, indra penciumannya langsung disambut oleh aroma berbagai jenis masakan. Alis Widiani mengernyit, suara mendesis dari wajan yang sedang digunakan menandakan ada seseorang yang sedang memasak. "Tumben," batin Widiani karena ia mengira Hera yang sedang memasak. Widiani berjalan pelan ke area dapur dan langsung mendapati seorang perempuan berdiri membelakanginya, bukan Hera seperti yang ada dipikiran tadi. Perempuan itu mengenakan blouse bermotif bunga pudar dan rok batik panjang, rambutnya dikuncir rapi. Tangannya cekatan mengaduk tumisan di wajan besar. “Apa itu Indri?” tanya Widiani di
"Rendy, bangun!" teriak Hera pada Rendy yang masih tertidur pulas di atas sofa ruang tamu. "Ini sudah siang, Ren. Cepetan susul istri kamu ke ruko."Hera melihat Rendy tidak bergeming, sang putra masih saja berkelana di alam mimpi. Hera mendekat dan tanpa ragu menepuk punggung Rendy beberapa kali dengan cukup keras."Rendy! Bangun! Ini udah hampir jam sebelas!" ujar Hera dengan nada semakin tinggi. Rendy menggeliat, lalu mengerang pelan sambil memijat pelipis. “Aduh, Bu ... Rendy masih ngantuk.”“Ngantuk terus, kalau kayak gini terus gimana kamu bisa sukses, Ren?!” sentak Hera. “Cepat duduk. Ibu mau minta uang."Rendy duduk perlahan, wajahnya kusut dan mata masih setengah terpejam. “Lah, uang yang Rendy kasih kemarin habis, Bu?"Hera melotot. “Kemarin? Kamu kasih uang sama ibu itu udah mau 2 minggu lebih, Rendy! Cepetan, ibu mau arisan nanti sore."“Bu, Rendy udah gak pegang uang sama sekali. Harusnya Ibu minta sama Widiani sebelum dia berangkat,” jawab Rendy sambil berdiri malas.“
“Ma-maksudnya apa, ya?” tanya Widiani gugup, ia refleks menjauh sedikit dari Fabian. Melihat respon Widiani, Fabian cepat-cepat melambaikan tangan di depan dada dan tersenyum. “Eh ... maksudnya, aku mau ajak kamu makan malam. Maaf, sudah membuat kamu salah paham."Widiani langsung menunduk dengan wajah memerah, sudah 2 kali ia berpikiran buruk tentang Fabian malam ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran Widiani. Kenapa Fabian terlihat begitu perhatian? Apa Fabian seperti itu juga pada kliennya yang lain? Akhir-akhir ini, Widiani memang begitu sensitif dengan perlakuan orang-orang di sekitar, terlebih pada makhluk berjenis kelamin pria. Luka batin akibat pengkhianatan Rendy membuat Widiani lebih mudah curiga dan berprasangka buruk. Widiani takut terjebak lagi dalam situasi yang salah, di mana ia dikhianati padahal sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya."Terima kasih, Mas Fabian. Tapi aku sedang tidak lapar saat ini," ujar Widiani. "Oke," balas Fabian singkat, lalu meng
Widiani segera pergi setelah puas melihat Rendy merintih kesakitan. Itu belum seberapa, Widiani berjanji akan membalas Rendy lebih dari yang pria 27 tahun itu lakukan padanya. Baru beberapa langkah, Widiani mendengar suara pintu kamar Hera terbuka dengan keras. Brak! Hera keluar dengan wajah merah padam dan napas memburu. Mata tuanya menatap tajam ke arah Widiani, seperti buaya yang ingin menerkam mangsanya. "Kamu apakan Rendy!?" tanya Hera histeris. Widiani berdiri tegak, tak gentar sedikit pun meski Hera sudah mendekat sambil menunjuk-nunjuk wajahnya. "Tanya sendiri sama anak Ibu." Hera melihat Rendy yang sedang duduk sambil memegang bagian tengah tubuhnya. "Kamu diapain sama istrimu, Ren?" "Titiw Rendy ditendang Widi, Bu. Sakit banget," ucap Rendy sambil menahan ngilu. Entah masih bisa berfungsi atau tidak benda pusakanya setelah ini? Pikir Rendy. "Astaga! Kamu benar-benar keterlaluan, Widi. Bisa-bisanya kamu berbuat kasar sama suami sendiri!" maki Hera. "Dia yang ta
Widiani telah melakukan dua kesalahan yang sangat fatal dalam hidup, mencintai pria yang salah dan mati-matian memperjuangkan pria itu meski sang ayah tidak setuju. Mungkin karena itulah Widiani mendapatkan teguran dari Sang Pemberi Kehidupan, menunjukkan siapa Rendy yang sebenarnya.“Rendy itu pria yang tak bisa diandalkan!” bentak Arman keras pada malam Widiani meminta persetujuan untuk menikah dengan Rendy.“Ayah belum kenal sama Rendy. Ayah belum tahu dia yang sebenarnya,” ujar Widiani, berusaha menahan getar suara, walau matanya sudah memerah.“Justru karena ayah tahu seperti apa pria itu, Ayah menolak! Kamu pikir ayah diam saja selama ini? Ayah tahu dia punya hutang di mana-mana. Ayah tahu dia manipulatif dan cuma pandai bicara! Dia cuma memanfaatkanmu, Widi! Tapi kamu malah tutup telinga dan butakan hati!” Arman menunjuk wajah anak perempuannya dengan jari gemetar karena emosi. “Apa yang sudah terjadi sampai kamu keras kepala seperti ini? Apa kamu sudah di—?”“Aku nggak mungki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen