“Halah, kalau sudah mulai kan, nanti lupa. Kamu saja yang terlalu dramatis. Rasanya sama saja, kok! Perempuan itu nerimo tidak usah banyak protes!”“Oh, rupanya Ibu mendukung sekali ya, perbuatan Mas Eko. Sudah tahu anak salah masih saja dibela. Sudah sana pergi dari sini aku mau tidur!” Usirku.“Kamu itu ya, kalau orang tua ngomong didengarin bukan malah bantah terus! Sudah kebagusan benar tingkahmu itu!” bentak ibu. Duh, kupingku makin penging saja.“Aku sudah dengar kok, Bu. Ya, sudah ya, sana Ibu pergi bawa sekalian laki-laki tak berguna ini!” kataku kesal seraya kutunjuk wajah mereka berdua.“Apa kamu bilang, Dik? Tega ya, kamu ngomong begitu padahal aku ini masih sah suami kamu,” jawab Mas Eko dengan raut wajah memelas.“Enggak usah menyek-menyek gitu, Ko. Perempuan seperti dia masih banyak di luaran sana. Kamu ganteng dan kaya punya istri 4 yang jauh lebih cantik dan muda dari si Lisa,” sahut ibu.“Kaya? Dilihat dari manany, Bu? Kaya nebeng iya, juga! Ingat ya, ini semua aku ya
“Kenapa kamu melengos gitu, Dik? Kamu tidak percaya denganku?” tanya Mas Eko. Ah, dia tahu kalau aku ini tak mempercayai ucapannya hanya dengan gerakan wajahku saja. “Sudah tahu jawabannya kan, Mas? Sudah sana kalian pergi. Aku mau tidur besok aku harus kerja!” Usirku untuk yang ke sekian kalinya lagi. “Tidak bisa! Eko harus tidur di sini!” tolak ibu. “Iya, benar. Aku harus tidur di sini, Dik. Tidak apa kamu tidak melayaniku yang penting aku di sini bersama kamu,” sahut Mas Eko. “Jangan ngimpi, Mas! Sudah sana pergi atau kutendang lagi burung puyuhmu itu!” “Dasar perempuan enggak waras!” maki ibu dan memapah Mas Eko ke luar kamar ini. “Ayo, Ko! Besok kamu bisa tidur di sini! Jangan sampai pusaka kamu itu kena tendang untuk yang ke dua kali bisa loyo kamu,” ucap ibu. Aku ingin tertawa, tapi aku tahan. “Jangan harap! Sampai kapan pun kamar ini sudah aku haramkan untuk ditiduri Mas Eko!” bentakku seraya kudorong mereka berdua hingga hampir terjatuh. Brak! Kubanting pintu sampai F
“Sudah diam. Lapar itu makan bukan adu mulut begini,” sela ibu.“Mbok, masakin mie!” titah Mas Eko. Mbok menatapku lalu aku gelengkan kepala.“Ma—sak sendiri saja, Pak,” jawab Mbok.“Aku ini tuanmu. Aku harus kamu layani, Mbok!” bentak Mas Eko.“Mbok, masuk kamar Fia bawa dia. Mbok sudah selesai kan, makannya?” Mbok mengangguk dan permisi masuk ke dalam.“Dasar pembantu sok!” maki Mas Eko.“Diam, Mas! Aku sedang menikmati sarapanku!”“Berani kami bentak aku, Dik?”“Memang yang kamu dengar barusan apa, Mas? Panggilan sayang? Kan, bentakan berarti aku berani,” jawabku.“Makin enggak waras ini otak!” sela ibu.“Aku sudah selesai dan aku harus berangkat kerja. Kamu tidak bisa izin dan tidak boleh telat Mas atau gajimu aku potong!” tegasku."Kamu tega Dik, membiarkan kami kelaparan?" Mas Eko membuntutiku ke ruang tamu.“Aku bahkan belum sarapan, tapi sudah kamu suruh berangkat kerja?” katanya lagi."Kamu juga tega Mas berkhianat padaku," jawabku lagi dan lagi. Itu adalah kata kunci yang sa
Ibu, Salsa, dan Rara sangat senang mereka tersenyum mengejek melihat aku yang dimarahi Mas Eko."Oh, gitu, ini aku kembalikan, dan silakan Mas pergi dari sini bawa juga tiga benalu ini!" teriakku lantang.Kubuka pintu lebar-lebar mempersilakan mereka pergi. Sampai kuhitung di detik ke sepuluh masih saja diam."Kalian punya kuping, kan!? Cepetan pergi!" Bukannya pergi Mas Eko justru mencekal tanganku dan menyeretku ke gudang. Mereka semua tertawa puas Fia menangis, dan tantrum, Mbok Wati sampai kuwalahan menenangkan Fia. Rupanya anak itu tahu kalau ibunya sedang tidak baik-baik saja.Kutendang lagi selakangan Mas Eko kuat sekali sampai dia mengaduh kesakitan memegangi senjatanya dan terkapar untuk yang ke dua kalinya."Kurang ajar kamu ya, Lisa! Kalau Eko kenapa-kenapa kamu bakalan Ibu tuntut!" teriak ibu. Beliau berlari menghampiri Mas Eko yang meringkuk.Bugh! Bugh!Karena belum puas aku kembali menendang bagian perut Mas Eko. Dia menjerit kesakitan, bengkak deh, sana itu burung puyu
Bantu follow akunku ya Dears, subs semua cerbungku, like, coment, and share. Terima kasih ☺️🙏*Berharap pada manusia adalah seni terindah untuk menyakiti diri sendiri, itulah yang aku rasakan sekarang. Harapanku terlalu tinggi pada manusia yang bergelar suami, hingga Allah mengujiku begini.🌸🌸🌸“Set*n punya istri enggak yang muda enggak juga tua sama saja tidak ada yang berguna. Aku jadi tersiksa begini. Sakit semua badanku!” omel ibu mertuaku. Beliau tergopoh-gopoh jalan menuju kamarnya lewat pintu belakang. Aku kecolongan pintu belakang lupa aku kunci.“Kok, Ibu ngumpat aku begitu sih, Bu. Aku ini kurang apa jadi menantu Ibu! Awas saja kalau masih saja memakiku bakalan kubuat perhitungan!” jawab Rara. Dia pun jalan menuju kamar ibu seraya memapah Mas Eko dibantu Salsa.“Berisik kamu itu! Tanpa Eko, kamu bisa apa? Enggak becus jadi mantu!” kata ibu lagi. Kaki ini dia menunjuk wajah Rara.“Sudah diam, kalian kenapa malah bertengkar? Lihatlah aku di sini yang paling menderita. Tida
“Kalau aku bod*h Mas Eko tidak mau denganku,” ucapnya membela diri.“Justru perempuan seperti kamu ini yang gampang dibod*hi oleh laki-laki hidung belang. Sudahlah aku ke sini cuma mau kasih tahu saja itu ada dua orang yang cari kamu, Sha. Noh, di mobilmu!” Tunjukku ke luar jendela dari sini terpampang jelas mobil Salsa yang masih mulus karena baru dibeli beberapa bulan yang lalu.“Haduh, jangan-jangan mereka!” Refleks Mas Eko duduk. Dia melupakan sakit selakangannya.“Siapa, Mas? Apa mobilku bermasalah?” Kali ini Salsa pun ikut panik.“Jangan mengada-ada kamu, Eko. Adikmu baru saja lancar bawa mobil awas saja kalau sampai ditarik dealer itu mobil!” Ibu pun ikut panik. Beliau justru ke luar kamar lebih dulu. Nyelonong melawatiku begitu saja. Salsa dan Rara kembali memapah Mas Eko. Mereka terburu-buru keluar.Aku kasih kode ke Mbok untuk segera mengunci pintu belakang dan aku membuntuti mereka.“Mana, Mbak? Tidak ada siapa pun, kok!” seru Salsa saat sudah berada di dekat mobilnya.“Mun
"Mbok, jangan buka pintu pada siapa pun yang datang, sampai aku kembali nanti sore. Kalau Mbok bosan bisa menyusulku ke kantor nanti biar aku pesankan taksi online." Wanita paruh baya itu hanya mengangguk."Em, anu, Bu, kalau Bapak yang pulang apa tetap jangan dibukakan pintu?" tanyanya ragu."Iya, biarkan saja di luar, ingat Mbok siapa pun!" ucapku memperjelas.Sebelum aku benar-benar keluar kupastikan dulu apakah para benalu itu sudah pergi atau masih kekeh mendemoku di depan pintu.Aku tidak mau langkahku terhambat karena harus berdebat dengan mereka semua. Menguras energi saja.“Kunci, Mbok! Aku berangkat dulu, ya, titip Fia!” seruku.“Siap, Bu!” jawab Mbok.Aku gegas membuka pintu pagar karena tidak mungkin aku menyuruh Mbok bisa-bisa Fia nangis.“Eh, Mbak Lisa sudah rapi saja jam segini. Mau ke mana, Mbak?” tanya tetanggaku yang masih ngobrol di luar dengan para tetangga yang lain sepertinya mereka baru saja selesai kerja bakti“Ke mana lagilah pasti mau ke kantor pengadilan aga
“Aman, nanti uang Bapak akan dikembalikan, silakan istirahat, pulang bertemu keluarga tercinta besok bisa kembali dengan keadaan fresh," jawabku seraya mempersilakan mereka pulang.“Alhamduillah ... terima kasih, Bu. Kalau begitu kami pamit.” Aku mengangguk mempersilakan mereka pulang."Mirna, gimana yang booking untuk pemberangkatan besok sudah full belum?" tanyaku memastikan."Alhamdulillah sudah Bu, malah ini lebih dua penumpang,” jawab Mirna. Dia menunjukkan bukunya catatannya."Alhamdulillah, oh, iya, gimana pacar kamu? Nanti kita datang ke rumahnya, ya?Kasihan dia," ajakku."Alhamdulillah juga sudah membaik Bu, hanya saja dia merasa bersalah sudah lalai sampai mobilnya Ibu dirampas."“Semua di luar kendali kita. Jadi, tidak perlu merasa bersalah yang penting nanti kita sama-sama memperbaikinya.”“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya.”"Apa kata kepolisian, Mir?""Pak Eko bekerja sama dengan dua sepupunya, jadi yang merampok bukan sepesialis perampokan Bu, makanya cepat tertangk