Usia pernikahan Safina dan Angga hampir setahun. Safina mendedikasikan hidupnya untuk suami dan keluarganya. Safina yakin mampu menaklukkan hati Angga dengan ketulusan cintanya. Ia ikhlas menerima perlakuan buruk dari mereka sambil menunggu datangnya hari bahagia. Benar saja! Hari yang ditunggu-tunggu Safina datang. Suami tercintanya memberikan kejutan di pesta anniversary pertama pernikahan mereka. Safina menerima kado terindah di pesta itu.
Lihat lebih banyak“Mas, aku capek. Bisa istirahat sebentar, nggak?”
Dengan wajah lelahnya, Safina menundukkan kepala. Ia berusaha mengurangi rasa gugup. Ia ingin membaringkan tubuhnya sebentar di samping suaminya—Angga Wirawan. Angga melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06:00 pagi. Hari masih pagi, tapi Safina mau istirahat? Sebenarnya, apa yang baru Safina lakukan sampai terlihat kelelahan seperti ini? “Kamu mau istirahat?! Ini jam berapa, Safina?!" tanya Angga, ketus. "A—aku ... sebelum subuh, aku udah bangun," jawab Safina, terbata. Benar! Safina tidak mengada-ada. Safina selalu bangun lebih awal daripada siapapun di rumah ini. Status sebagai seorang Istri sama sekali tidak pernah dianggap oleh Suami dan keluarganya. "Mas, selama jadi istrimu, aku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Apakah aku istri atau pembantu, tidak ada bedanya, Mas. " Keluarga Dwicahyo tidak memiliki asisten rumah tangga. Maka, Safina sendiri yang mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci pakaian seluruh anggota keluarga, mencuci piring, dan memasak untuk sarapan. "Gak ada bedanya, tapi ngeluh. Yah udah, istirahat aja di sofa!" Bola mata yang tajam menunjukkan ketegasan Angga untuk tidak tidur bersamanya di ranjang. Meskipun sudah pagi, Angga tetap enggan bangun dari ranjang. Safina menahan rasa lelahnya. Lalu, bertanya, “Mas, kita udah nikah hampir setahun. Kenapa aku harus tidur di sofa terus?” Safina dan Angga memang sudah menikah. Mereka sekamar, tetapi tidak seranjang. Karena Angga terlalu jijik dengan luka bakar di wajah dan tubuh Safina. Angga tertawa kecil, tapi dingin. “Nikah, ya?” Angga berdiri. Tangannya meraih laci nakas. Tidak lama, ia mengeluarkan buku nikah. Lalu, melemparnya ke wajah Safina. Angga berseru marah, "Bagiku, pernikahan kita cuma formalitas. Jangan pernah berharap lebih dari itu, Safina!” Safina menggigit bibir. Hatinya mencelos mendengar kata-kata kejam suaminya. “Mas, aku juga nggak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi, Mas ...." Safina memungut buku nikah yang jatuh tepat di kedua kakinya. Safina tidak menyangka, pernikahannya dengan Angga tidak membuahkan kebahagiaan. Sebagai suami, Angga tidak pernah memberikan nafkah lahir maupun batin. Meskipun begitu, Safina tetap mencintainya dengan sepenuh hati. Ia berharap suatu hari nanti, Angga akan membuka hatinya untuk Safina dan mencintanya seperti cinta seorang Suami kepada Istri. “Maafin aku, Mas! Musibah ini atas kehendak Allah. Aku juga nggak menginginkan pernikahan ini," gumam Safina sambil sesekali menarik napasnya. Air mata Safina jatuh membasahi pipinya. Ia ingin tidur, tapi bagaimana mungkin? Hatinya terlalu sakit setelah dicampakkan oleh Angga. "Ahaha. Justru kamu harus bersyukur dengan pernikahanmu ini. Syukur masih ada lelaki yang mau menikah denganmu wanita buruk rupa!" Angga semakin mengejek Safina. Apa boleh buat? Sesuai amanat sang ayah, Safina harus menjadi istri yang baik untuk Angga. Maka, ia hanya bisa bersabar menghadapi ujian pernikahannya. "Jangan ungkit kejadian kebakaran lagi! Karena itu benar-benar hari sialku! Nggak ada manusia menginginkan musibah," jeritan Safina sambil menghapus air mata. Pernikahan Safina dan Angga tidak didasari rasa cinta, melainkan atas perjanjian damai antara orang tua mereka. Safina berusaha memohon maaf kepada Angga berulang kali atas pernikahan mereka. Namun, Angga tetap bersikap cuek padanya. “Mas. Andai aja kebakaran di toko tidak terjadi, aku dan kamu bakalan tidak ketemu sampai saat ini. Tapi ini sudah jalan yang diberikan Allah agar kita bersatu.” Tidak lama, seseorang mengetuk pintu kamar mereka. “Cepat sana, buka pintunya!” perintah Angga dengan menutup daun telinga dengan tangannya, “telingaku panas dengar kamu ceramah.” Setelah menyimpan buku nikah kembali di laci, Safina membukakan pintu. “Ibu. Kenapa, Bu?” tanya Safina dengan senyuman yang dipaksakan. Plak! Bukan jawaban yang Safina dapatkan dari Ibu mertua, tetapi tamparan keras di pipi kirinya. Safina terkejut. Ia mengusap pipinya yang terasa sakit. “Kamu tanya, kenapa?!” Merliam—Ibu mertua, bertanya dengan wajah marah. Ia mengangkat tinggi-tinggi kebaya brokat berwarna lavender yang dibawanya sambil melototi Safina. "Dasar orang kampung, nggak becus kerja! Kenapa kebaya saya rusak begini, Safina?!" Safina terkejut untuk kedua kalinya. Ia takut dan panik. Bibirnya bergetar hebat. Ia tidak tahu harus menjawab apa! "I—Ibu ... aku kelupaan ...." Kebaya Merliam rusak sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan Safina. Ia diharuskan cekatan dalam bekerja. Terlambat sedikit ia bekerja, sindiran ataupun kemarahan yang harus dihadapinya. Plak! Tamparan kedua dari Merliam lebih keras daripada sebelumnya. Lalu, ia mendorong Safina hingga tersungkur dan kepalanya membentur pintu kayu jati. Seketika, kepala Safina berdenyut. "Istri macam apa yang dinikahi Angga?! Bisa-bisanya kamu kelupaan sedang menyetrika pakaian saya!" "Bu, saat aku sedang menyetrika kebaya, Ayah menyuruhku untuk membuatkan kopi. Jadi, aku pergi merebus air," ujar Safina, menahan tangis. Safina teringat. Ketika pergi ke dapur tadi, ia lupa meletakkan setrika ke tempat semula. Akibatnya, kebaya Merliam gosong dan meleleh karena panas yang berlebihan pada bagian punggung. Nasib Safina setelah menikah dengan Angga, jauh dari harapan ayahnya. Bukan hanya melayani Angga, ia juga harus melayani kebutuhan seluruh anggota keluarga Suaminya. "Kurang ajar!” Merliam menarik rambut Safina yang masih terduduk di lantai. "Saya nggak mau tahu, kamu harus ganti kebayanya."“Silahkan, Ibu Safina bertanda tangan di sini!”Sutradara film tersebut menyodorkan kertas perjanjian, bahwa Safina bersedia salah satu karyanya difilmkan di layar lebar dan pastinya dengan penghasilan yang sangat fantastis.Kurang lebih dua jam berlangsung diskusi antara Safina dan sutradara film membuahkan hasil. Yah, tentu saja keberuntungan sudah di depan mata Safina dan disaksikan oleh Randy. Akhirnya, dari sekian lama Safina menulis sebuah cerita, bahkan air mata menemaninya ketika menulis cerita tersebut. Air mata yang dulu keluar kini digantikan dengan air mata kebahagiaan.“Terima kasih, Pak! Semoga ini menjadi dorongan saya untuk terus bersemangat dalam berkarya!” ucap Safina—penuh percaya diri.Safina dan sutradara film tersebut melakukan foto bersama. Randy melihat Safina begitu antusias menjemput kesuksesannya. Ia pun turut bahagia.Safina menghampiri Randy dan berkata, “Kegigihanku bermain cantik, bukan?”Randy tersenyum dan puas melihat Safina menunjukkan, bahwa dirinya
“Kesabaranmu berbuah manis, Safina.”Tuhan telah menggariskan jalan takdir manusia-Nya. Begitu pula dengan takdir kehidupan Safina. Tidak disangka, setelah beberapa tahun menderita dengan penyiksaan, kini ia bisa menghirup udara bebas dan membuktikan keahlian yang dimilikinya. Safina menghempaskan badannya di kasur kecil yang baru saja ia beli. Paras mendongak ke atas, bibirnya tersenyum manis. Otaknya berputar tidak pernah berhenti berpikir.‘Sampai detik ini pun, aku akan terus tunjukin, bahwa Safina yang dulu setiap hari kau sakiti, dia akan bahagia dengan caranya sendiri di waktu yang tepat,’ tegas Safina dalam hati.Setelah melanjutkan karya tulisannya kemudian dibagikan di platform ternama, Safina memanjakan bola mata dan mengistirahatkan badannya. Berharap esok akan ada kebahagiaan lagi menghampirinya.Kring! Kring! Kring!Randy menghubungi Safina dan ia terbangun mendengar ponselnya berdering. Ketika Randy menghubungi Safina, ia ketakutan. Akankah kabar baik atau buruk yang i
“Tolong, katakan kalau kamu bercanda, Ran!”Pikiran Safina kacau, bingung, mau marah, tetapi takut hubungan persahabatannya dengan Randy jadi renggang. Baru saja Safina ingin berbagi kebahagiaan dengan Randy, justru suasananya berubah menjadi situasi yang tidak terduga.“Maaf, Fin! Kalo gak bisa jawab sekarang juga nggak masalah. Satu yang perlu kamu ingat, aku ingin selalu menjagamu,”Randy menjadi segan kepada Safina, tetapi itulah perasaan, ketika terlalu lama terpendam, akan menjadi beban pikiran. Randy pun tidak memaksakan Safina untuk memutuskan jawabannya. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.Safina perlahan mengungkapkan perasaannya, agar Randy tidak berprasangka buruk. Safina tidak ingin, setelah Randy mengungkapkan perasaannya malah menjauhi Safina.“Maaf, Randy! Aku belum mau memikirkan hal itu. Aku ingin perbaiki hidupku dulu.”“Ya, aku paham, Fin. Maaf yah jadi beban pikiranmu lagi!” ucap Randy.Randy mencairkan suasana. Ia berusaha membuat Safina tersenyum dan tert
“Jangan sampai itu benar Safina!” Safina mendengar kelakar tetangganya tersipu malu, sedangkan Randy salah tingkah dan membalasnya dengan bercanda pula. Randy berharap Ibu tersebut pergi. “Ah! Ibu bisa aja,” canda Randy. Randy berdiri menghampiri Safina. Tangannya masuk di dalam saku celana. “Katanya, Mbak Safina jualan lauk, kan?” lanjut Randy, membisik ke telinga kanan Safina. Setelah mendengarkan Randy, Safina menyimpan ponselnya di dekat Randy kemudian mendatangi Ibu tersebut. Randy dengan tidak sengaja melihat ponsel Safina sedang aktif. Layar ponsel Safina menampilkan sebuah cerita. Sepertinya, itu adalah cerita Safina yang baru saja diunggah di media sosial. “Maaf, Bu! Untuk sementara aku tidak jualan dulu, soalnya banyak urusan yang harus kuselesaikan terutama persidangan perceraianku,” jelas Safina. Ia juga memberikan pengertian kepada tetangganya, bahwa Randy hanyalah sahabatnya, walaupun Ibu-ibu keberatan dengan kehadiran Randy, ia bisa meminta Randy untuk tidak ke
“Ada kabar bahagia yang ingin aku sampaikan.”Beberapa cerita karangan Safina sudah dibukukan dan tersedia di berbagai toko buku terkemuka. Perkembangan hasil karyanya tersebut, memotivasi Safina untuk lebih fokus pada karya-karya selanjutnya.Safina mengirimkan pesan kepada Randy, “Ran. Ada banyak yang ingin aku cerita ke kamu. Pokoknya kamu pasti akan senang dengarnya.”Randy membaca pesan Safina dengan senyum bahagianya. Ia juga sudah tidak gelisah memikirkan keamanan Safina. Tugas Randy kepada Safina sekarang yaitu terus memberikan semangat dan dukungan kepada apa yang Safina usahakan untuk masa depannya.Sekarang Randy dan Safina juga bisa tenang ketika bertemu. Tidak ada lagi yang bisa menghalanginya.“Ok, Fin! Ntar kalo pulang kantor, aku ke rumahmu. Nggak sabar ingin dengar ceritamu,” Randy membalas pesan Safina.Kini, Safina menikmati keuntungan dari cerita-ceritanya yang dibukukan dan terjual di toko buku. Dengan penghasilannya walaupun masih sedikit, perlahan ia mengubah pe
Merliam puas, setelah mengambil cek yang sudah ditandatangani Randy. Merliam mengikuti Angga ke mobil, mengira Angga tidak ingin menemui Safina lagi. Namun, ketika Merliam masuk ke mobil, Angga keluar dari mobil dengan membawa berkas.“Angga, mau ngapain di sana? Kita sudah dapatkan ini,” teriak Merliam dengan mengibaskan cek dari Randy.Angga tidak menghiraukan perkataan Ibunya. Ia tetap melangkah menuju Safina. Merliam di mobil saja menunggu Angga sambil menatap cek dan berangan-angan apa yang akan dilakukan nanti dengan uang sebanyak itu.Merliam sampai lupa dengan suami dan anaknya. Ia menyuruh sopirnya mengantarnya segera ke bank.“Hey, cepat kita ke bank!” perintah Merliam ke sopirnya.“Tapi, Bu! Tuan masih di sana. Kita tunggu Tuan dulu!” respon sopir dalam hati berkata, ‘idih lupa ingatan hanya karena uang.’Merliam tetap tersenyum terus menerus menatap cek tersebut.Angga tiba-tiba berada di samping Safina, di saat Safina bersandar lemas di pundak Randy. Randy dan Safina terk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen