Rachel, seorang perempuan miskin, menjalani hidup yang penuh penderitaan bersama ibunya yang sudah tua. Sejak kecil, ia terbiasa berjuang untuk bertahan hidup dalam menghadapi kesulitan demi kesulitan tanpa ada yang benar-benar peduli padanya. Namun, hidupnya berubah ketika Martin seorang pria kaya raya yang baik hati datang untuk melamarnya. Pernikahan dengan Martin bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan bagi Rachel. Semua kesulitan yang dulu membebani hidupnya kini sirna. Ia bisa menikmati kehidupan mewah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Rachel merasa beruntung memiliki suami yang begitu mencintainya dan memberinya segalanya tanpa syarat. Namun, kemewahan perlahan mengubah hati Rachel. Ia mulai merasa malu dengan latar belakangnya yang miskin dan memilih menjauh dari keluarganya. Keangkuhan menguasai dirinya, membuatnya lupa bagaimana sulitnya hidup sebelum bertemu Martin. Ketika Martin jatuh sakit dan tidak lagi bisa mengurus bisnisnya, Rachel melihat ini sebagai kesempatan emas. Keserakahannya tumbuh, dan ia mulai berusaha menguasai seluruh harta yang belum sepenuhnya berada di tangannya. Namun, karma datang lebih cepat dari yang ia duga. Sebuah kecelakaan tragis membuat Rachel terbaring tak berdaya di rumah sakit. Kesakitan dan kehilangan segalanya membuatnya sadar akan semua kesalahannya. Di saat ia merasa sudah terlambat untuk menebus semuanya, Martin tetap ada di sisinya. Meski dikhianati, Martin masih mencintai Rachel dan bersedia memberinya kesempatan kedua. Tapi, apakah Rachel benar-benar bisa berubah? Ataukah kesalahannya terlalu besar untuk dimaafkan?
View MoreRachel menatap langit-langit rumahnya yang sudah mulai rapuh. Atap bocor di sana-sini, dan dinding kayu yang lapuk membuat angin dingin leluasa masuk. Malam itu, ia duduk di samping ranjang kayu tempat ibunya terbaring lemah. Napas wanita tua itu terdengar pelan dan berat, seolah setiap hembusan membutuhkan tenaga besar.
“Ibu, makanlah dulu.” Rachel menyodorkan semangkuk bubur yang hampir dingin. Sang ibu menggeleng pelan, menatapnya dengan mata sayu. “Kamu sudah makan, Nak?” Rachel tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kenyataan. “Sudah, Bu.” Padahal, sejak pagi perutnya belum terisi apa pun. Bohong demi kebaikan sudah menjadi kebiasaannya. Ia lebih memilih menahan lapar asalkan ibunya bisa makan, meski hanya sedikit. Hidup mereka selalu penuh kekurangan. Sejak ayahnya meninggal, Rachel dan ibunya hidup dalam kemiskinan. Setiap hari, ia bekerja sebagai pelayan di restoran kecil, mencoba mengumpulkan uang untuk bertahan hidup. Namun, gaji kecilnya nyaris tak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya yang semakin hari semakin memburuk. Rachel menatap wajah ibunya yang mulai tertidur. Hatinya nyeri. Ia tak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa. Tapi bagaimana caranya menyelamatkan ibunya tanpa uang? Sambil menghela napas panjang, ia berbaring di atas tikar lusuh di lantai. Malam itu, perutnya kembali kosong, tapi ia memaksakan diri untuk tidur. Besok, hari baru menantinya. Keesokan harinya, restoran tempat Rachel bekerja lebih ramai dari biasanya. Pelanggan datang silih berganti, membuatnya harus bergerak cepat mengantar pesanan. “Rachel! Meja tujuh, cepat!” seru seorang koki dari dapur. Rachel segera mengambil nampan berisi sup panas dan roti, lalu berjalan menuju meja yang dimaksud. Namun, sebelum ia sampai, seseorang dengan sengaja menjulurkan kaki ke depannya. BRAK! Rachel tersungkur ke lantai. Sup panas dalam mangkuk tumpah, mengenai celana pria yang duduk di meja itu. “Astaga!” Pria itu berdiri dengan marah, menatap noda di celananya. “Kamu tidak punya mata, hah?!” Rachel langsung bangkit dan menunduk dalam. “Saya minta maaf, Tuan. Saya tidak sengaja—” “Dasar ceroboh!” Pria itu menarik kerah bajunya. “Tahu nggak berapa harga celana ini?! Aku bisa menuntutmu!” Rachel menggigit bibir, tubuhnya gemetar. Ia ingin menangis, tapi tahu menangis tak akan menyelesaikan masalah. Saat itu, suara berat dan dingin terdengar dari meja sebelah. “Lepaskan dia.” Semua orang menoleh. Seorang pria duduk santai di kursinya, menyesap kopi dengan tenang. Meski ekspresinya datar, sorot matanya tajam dan berwibawa. Rachel menelan ludah. Pria itu berbeda dari pelanggan lain. Pakaiannya rapi, wajahnya tegas, dan caranya berbicara menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa. Pria yang menjegal Rachel langsung mundur selangkah. “Kau siapa? Jangan ikut campur!” Pria berwibawa itu mengangkat alis. “Pemilik restoran ini.” Keheningan menyelimuti ruangan. Rachel membelalakkan mata. Pemilik restoran ini? Seketika, pria yang tadi menganiaya Rachel berubah pucat. “M-Maaf, Tuan Martin… saya tidak bermaksud” “Keluar,” potong pria itu dengan nada dingin. Tanpa menunggu perintah kedua, pria itu langsung kabur dari restoran. Rachel masih berdiri terpaku, jantungnya berdebar kencang. Ia tak menyangka pria yang menolongnya adalah pemilik restoran ini—Martin Hartono, seorang pengusaha kaya raya. Martin menatapnya. “Kamu tidak apa-apa?” Rachel cepat-cepat mengangguk. “Terima kasih, Tuan.” Martin tidak langsung menjawab. Ia justru menatap Rachel lama, seolah menilai sesuatu dalam dirinya. “Berapa lama kamu bekerja di sini?” tanyanya. Rachel terkejut dengan pertanyaannya, tapi ia menjawab jujur, “Sudah hampir dua tahun, Tuan.” “Berapa gajimu?” Rachel terdiam. Kenapa pria ini menanyakan hal seperti itu? Martin menyesap kopinya, menunggu jawaban. “Aku… aku hanya mendapat cukup untuk makan dan membayar sebagian kecil biaya obat ibuku,” kata Rachel lirih. Martin menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Lalu, tanpa berkata banyak, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yaitu selembar kartu nama dan meletakkannya di atas meja. “Datanglah ke kantorku besok pagi,” katanya sebelum bangkit dan berjalan keluar dari restoran. Rachel menatap kartu nama itu dengan bingung. Kenapa pria seperti Martin ingin bertemu dengannya? Genggamannya mengerat, dadanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah ini kesempatan yang bisa mengubah hidupnya? Atau justru jebakan berbahaya?Langit sore di kota itu tampak kelabu, seolah menyatu dengan suasana hati Rachel. Di balkon rumahnya yang menghadap taman kecil, ia berdiri sendiri. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa harum bunga melati yang ditanam almarhum ibunya dulu. Rachel menatap jauh ke depan, ke arah jalanan tempat Martin baru saja pergi untuk mengurus sisa perkara keluarga yang nyaris merenggut segalanya dari mereka.Rachel menarik napas dalam. Seluruh perjalanan panjang ini terasa begitu berat di pundaknya. Dari seorang perempuan sederhana yang hanya ingin hidup damai bersama suaminya, kini ia menjadi perempuan yang memanggul beban nama besar keluarga, konflik, warisan, dan luka yang menganga akibat pengkhianatan orang-orang yang ia percayai.Tapi sore ini, Rachel tahu: semuanya akan berakhir. Bukan karena dunia sudah berubah sepenuhnya, tapi karena ia sendiri yang berubah.Ketukan pelan di pintu balkon menyadarkannya. Clara berdiri di sana dengan mata yang berkaca-kaca. “Rachel… kamu baik-baik saja?”Ra
Senja itu, Rachel berdiri di depan cermin besar di kamar tidur mereka. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Seolah semua badai yang telah dilewatinya mulai mereda. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya masih berputar—tentang sidang yang baru saja berlangsung, tentang Tante Renata yang tak mau menyerah, tentang keluarga besar yang kini memandangnya dengan iri sekaligus takut.Martin masuk ke kamar, melepaskan dasi, lalu mendekat. Tangannya menyentuh bahu Rachel lembut. “Semua akan segera selesai, sayang. Percayalah.”Rachel mengangguk pelan. “Aku percaya, Martin. Tapi aku juga tahu… ini bukan sekadar soal sidang atau warisan. Ini soal menutup semua luka masa lalu. Luka kita, luka keluargamu, luka keluarga kita.”Martin tersenyum pahit. “Dan kamu sudah melakukannya lebih baik dari siapa pun.”Rachel berbalik memandang Martin. “Besok aku ingin mengadakan syukuran di butik. Bukan untuk merayakan menang atau kalah. Tapi untuk mengakhiri s
Langit Lembang mendung, awan kelabu menggantung rendah seolah menambah berat di dada Rachel. Vila tua keluarga besar Anshari berdiri kokoh, menjadi saksi bisu betapa rapuhnya tali persaudaraan yang sebentar lagi diuji. Rachel menatap bangunan itu dari balik jendela mobil. Di sampingnya, Martin menggenggam tangannya, berusaha menyalurkan kekuatan.“Kamu yakin mau hadapi ini, Rachel?” tanya Martin lirih.Rachel mengangguk. “Kalau aku lari, selamanya mereka akan menganggap aku pengecut. Dan aku nggak akan biarkan kebenaran dikubur begitu saja.”Martin mengangguk, meski hatinya tak kalah gelisah. Mereka turun dari mobil bersamaan dengan datangnya mobil-mobil lain. Dari mobil hitam mengilap, keluar Tante Renata dengan gaun mahal dan tatapan menusuk. Di belakangnya, para paman, bibi, sepupu, dan anggota keluarga besar lain yang jarang ditemui Rachel. Semua berkumpul karena satu alasan: mempertanyakan warisan Malik Anshari.Saat semua masuk ke dalam vila, Rachel berdiri di depan mereka. Meja
Pagi itu, Rachel bangun lebih awal dari biasanya. Udara segar pagi menyambutnya di balkon kamar, namun pikirannya sudah penuh dengan rencana hari ini. Hari pertama audit menyeluruh Anshari Properti dimulai, dan Rachel tahu langkah ini akan mengguncang banyak pihak.Martin muncul membawa secangkir kopi. “Kamu belum tidur cukup, ya?”Rachel tersenyum lelah. “Tidak apa-apa. Ini bukan soal lelah. Aku harus memastikan tidak ada celah lagi untuk mereka mencuri hak orang banyak.”Martin duduk di sampingnya. “Aku bangga padamu.”Rachel menatap suaminya, lalu menggenggam tangannya erat. “Aku juga bangga padamu, karena selalu berdiri di sampingku.”Di kantor pusat, suasana lebih tegang dari kemarin. Rachel, Martin, dan Reza sudah berada di ruang audit, bersama tim independen yang mereka tunjuk. Layar besar menampilkan aliran dana perusahaan selama lima tahun terakhir.“Ini laporan pertama,” ujar Reza sambil menunjuk grafik. “Kita temukan ada dana masuk yang tidak pernah tercatat dalam laporan r
Pagi di rumah Rachel disambut matahari yang hangat, namun suasana hatinya tetap penuh waspada. Kemenangan di pengadilan dua hari lalu ternyata belum benar-benar memberi kelegaan. Di meja ruang makan, koran-koran dengan berita utama terpampang: “Rachel Ayuningtyas Sah Miliki 40% Saham Anshari Properti”, “Keluarga Besar Anshari Pecah Karena Warisan”, “Rachel: Wanita Biasa, Pewaris Luar Biasa”. Rachel menatap tajuk-tajuk itu dengan campuran rasa lega dan gelisah. Martin datang membawa secangkir teh hangat, meletakkannya di depan istrinya. “Koran hari ini penuh tentang kamu lagi,” ucapnya pelan. Rachel mengangguk. “Dan mungkin akan begitu untuk beberapa waktu. Aku tidak ingin dikenal hanya karena saham ini, Martin.” Martin duduk di hadapannya. “Kamu akan dikenal karena caramu menjaga amanah ini, Rachel. Bukan karena angka 40% itu.” Rachel menarik napas panjang. “Aku ingin mulai bekerja hari ini. Kita harus pastikan perusahaan ini benar-benar dikelola dengan jujur. Tak boleh ada cel
Dua hari terakhir ini menjadi dua hari terberat dalam hidup Rachel. Setiap malam terasa panjang, setiap detik penuh cemas. Sejak sidang ditunda untuk musyawarah hakim, pikirannya terus dihantui kemungkinan terburuk. Tak jarang ia terjaga hingga fajar, menatap langit gelap dari jendela kamar, bertanya-tanya: Apakah aku kuat menghadapi semua ini?Pagi ini, matahari baru saja muncul dari ufuk timur ketika Rachel berdiri di depan cermin. Ia menatap pantulan dirinya. Mata itu, yang dulu selalu dipenuhi keraguan, kini memancarkan keteguhan. Bibirnya mengatup erat, menahan kegugupan. Gaun abu-abu sederhana membalut tubuhnya, rambutnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan. Ia tak mengenakan perhiasan mewah, hanya cincin kawin di jari manisnya—satu-satunya simbol bahwa ia punya sandaran yang selalu setia.Martin masuk membawa secangkir kopi hangat. Tanpa berkata-kata, ia meletakkannya di meja dan berdiri di belakang Rachel, memandang istrinya dari pantulan cermin. Tangan Martin terulur, memegang p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments