Perselingkuhan yang dilakukan oleh Aditama Wiguna saat sang istri - Aruna Respati - sedang mengandung buah hati mereka, membuatnya harus menanggung penyesalan terbesar seumur hidup.
View MoreKutatap tubuh molek dengan balutan pakaian tipis didepanku tanpa berkedip. Sudah sepuluh bulan ini, saat bersamanya aku selalu tak pernah bisa berkutik. Selama itu pula sama sekali tak kurasakan bosan kala memandanginya.
Dewi Ayuni namanya. Meski mungkin bagi sebagian orang nama itu terlalu biasa, tapi bagiku dia benar-benar seperti sesosok dewi yang turun dari langit untuk memberiku kebahagiaan. Dia sungguh ayu dan mempesona. Sangat berbeda jauh dengan Aruna yang kini tubuhnya bertambah gendut dan makin membuatku tak berselera."Mas, ponselnya bunyi tuh. Pasti istrimu deh. Nyebelin banget, gangguin aja," katanya dengan muka cemberut sambil mencelos tak mau menatapku lagi.Kuraih ponsel yang sudah kuletakkan di atas nakas sejak kedatanganku di apartemen dengan malas. Dari nama yang tertera di layar sudah terlihat bahwa Aruna yang sedang menelponku. Malas sekali rasanya untuk menerima panggilan itu. Paling-paling istriku itu cuma mau nitip dibeliin ini itu saat aku pulang nanti. Calon anak kami lah yang selalu dia jadikan alasan untuk merengek tiap hari."Ah, merepotkan," gerutuku."Nggak diangkat dulu?" Dewi masih cemberut saat kembali kudekati. Sepertinya dia ngambek karena kesenangan kami harus terhenti akibat bunyi telepon dari Aruna. Salahku juga tidak mengatur senyap dulu ponsel sebelum melancarkan aksiku bersamanya."Udah aku matiin HPnya, jangan marah. Maaf ya, aku lupa senyapin tadi. Ayo dong, Sayang," bujukku."Mas nih kebiasaan deh." Dewi pun langsung membalikkan badan dengan pipi bersemu merah usai mendengar penjelasanku.Beberapa menit kemudian, kami pun sudah larut dalam hasrat membara lagi.*****Tepat pukul 5 sore kuputuskan untuk segera meninggalkan apartemen yang telah kusewa selama beberapa bulan ini untuk ditempati Dewi.Langkahku sedikit tergesa melewati lobby menuju ke area parkir. Tentu saja aku takut ada seseorang yang kukenal melihatku berada di tempat ini.Sesampainya di basement, aku bermaksud langsung melajukan mobil sportku saat tiba-tiba teringat sesuatu. Aku lupa belum menyalakan ponselku lagi. Kemudian dengan sigap kuraih benda pipih itu dan mulai memencet tombol powernya.Sesaat setelah ponsel itu menyala, rentetan bunyi notifikasi segera terdengar tanpa henti."Apa apaan sih Aruna ini? Rewel banget,' umpatku dalam hati.Belum sempat kuperiksa rangkaian notifikasi itu, tiba-tiba nada panggilan berbunyi. Ada nama adik perempuanku terpampang di layar."Halo Ras, kenapa?" sahutku cepat setelah menggeser icon telepon berwarna hijau."Mas Tama, ya Allah Maaas, Kamu lagi dimana sih? Susah sekali dihubungi," ujarnya dengan nada panik.Tak sedikit pun curiga dengan kepanikan itu, aku malah mengomelinya. "Jam segini kok nanya dimana? Ya di kantor lah. Dimana lagi memangnya?""Di kantor mana, Mas? Jangan bohong deh. Aku udah telepon ke kantormu tadi dan katanya Mas Tama udah keluar dari jam 2.""Aduh, si*l! Ngapain sih Laras pake nelpon ke kantor segala? Memangnya ada masalah penting apa?" batinku menyembunyikan kejengkelan"Iyaa, maksudku … aku tadi ada tugas luar. Makanya nggak di kantor. Memangnya kenapa sih, Ras?""Mas ini keterlaluan banget. Udah tahu istrinya lagi hamil, HPnya malah dimatiin." Kali ini dia ganti mengomel. Kudengar nada amarah dalam kalimatnya. Adik semata wayangku itu memang terkenal sangat galak sejak dulu. "Tadi aku telpon bolak balik pake HPnya Mbak Runa lho. Nggak diangkat juga. Terlalu kamu, Mas!" lanjutnya."Sebentar to, Ras. Ini ada apa sih sebenarnya? Kenapa malah jadi ngomel-ngomel nggak jelas gitu? Memangnya mbakyumu kenapa?""Mbak Runa masuk rumah sakit, Mas. Tadi dia kepeleset dan jatuh di kamar mandi. Sampai pendarahan lho. Sekarang ini kita semua lagi ada di rumah sakit, eh kamu malah nggak jelas dimana. Mana susah banget dihubungi."Aku tak terlalu mendengarkan lagi kalimat Laras selanjutnya. Mendengar Runa di bawa ke rumah sakit, pikiranku langsung melayang pada bayi kami."Apa?! Kamu jangan bercanda deh, Ras!" kataku sedikit menghardiknya."Ngapain sih Mas hal kayak gini dibecandain? Buruan ke sini. Mbak Runa masih belum sadar."Aku baru merasa panik saat kudengar nada suara adikku itu melunak. "Ya udah, aku langsung ke situ sekarang, Ras. Kasih tau aku, kalian di rumah sakit mana. Aku udah di mobil ini," jelasku.Kututup telepon dengan kasar usai mendengar informasi dari Laras, lalu kulempar benda pipih itu ke jok samping. Namun baru saja aku berniat menghidupkan mesin mobil, mendadak pintu penumpang dibuka dari luar dan Dewi melompat masuk."Wi, ngapain?" Dahiku sampai mengernyit melihat tingkahnya. Sementara dia malah tersenyum-senyum aneh menatapku."Sekali lagi yuk, Mas," ajaknya dengan nada menggoda. Mataku langsung membelalak mendengar itu."Tapi Wi, aku …."Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb
Tak ingin ibu mertua dan iparnya tahu jika dirinya sedang mendengarkan pembicaraan mereka, Runa segera bergegas menuju kamar. Wanita itu menarik nafas berat melihat suaminya sudah memejamkan mata dengan ponsel masih di genggaman saat dia sampai di sana. Perlahan Runa mendekat, membenarkan letak selimut pria itu, lalu meraih ponsel untuk dipindahkannya ke atas nakas. Namun Tama tiba-tiba membuka mata saat merasakan ada gerakan di telapak tangannya."Apa, Run?" tanyanya dengan gugup sembari menarik ponselnya dengan cepat. Sepertinya tadi dia ketiduran saat sedang beraktifitas dengan benda pipihnya itu."Enggak, aku cuma mau simpan ponselmu saja, Mas. Kalau mau istirahat, jangan sambil mainan HP," sindir Runa. "Aku nggak mainan, tadi lagi chat aja sama orang kantor kok," kilahnya. Runa hanya mengulas senyum miris mendengar itu. "Aku lapar, Run. Ambilin makan dong," lanjutnya lagi. Sepertinya Tama tidak mau istrinya bertanya lebih lanjut kegiatannya dengan HPnya."Iya, sebentar aku am
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments