“Bapak!”“Dek, tolong panggilkan warga yang lewat di depan rumah!” titah suamiku histeris. Aku yang panik kala itu segera bergegas menuju pintu depan. Tak kuhiraukan perutku yang sudah sangat bulat sempurna. Kupanggil sesiapapun yang melintas. Pastinya mereka adalah para lelaki yang hendak pergi ke masjid. Di tengah-tengah aku memanggil mereka, azan maghrib berkumandang. Membuat para lelaki itu berlarian mengejar waktu menuju masjid. Tak seorangpun mendengar panggilanku.“Bang,” panggilku kecewa, namun sayup terdengar isak tangis suamiku dari bilik kamar. Begitupun suara Masno yang terus menyebut ‘kakek’ diiringi tangis.Kutekan daun pintu dan kulihat bapak mertuaku telah terbujur kaku di atas pembaringan yang selama ini ditempatinya.“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kalimat itu spontan terucap dari lisanku.“Dek, bapakku udah meninggal, Dek, bapakku udah gak ada,” tangis bang Haris sambil memelukku. Tak dapat kubendung air mata ini, hingga tumpah membasahi pipiku juga. Kuingat s
“Heh, manusia gak tahu diri.” Suara itu mengejutkanku yang tengah mendoakan bapak mertuaku.“Hana, apa maksud ucapanmu itu?” tanyaku pada Hana yang menyergahku dengan kata-kata barusan.“Kakak penyebab bapakku meninggal! Kakak udah membunuh bapakku!” sergahnya dengan amarah yang menggebu-gebu. Aku berusaha bangkit dari .“Ada apa ini?” tanya bang Haris yang baru saja pulang dari masjid.“Bang, kenapa istrimu ini selalu saja membawa masalah di keluarga ini. Dulu masalah harta warisan, sekarang dia menjadi penyebab meninggalnya bapak. Padahal aku sayang sekali dengan bapak.” Isak dan tangis yang entah itu hanya sandiwara, tampak dari wajah Hana. Kulihat ibu mertuaku ke luar dari kamarnya dan menimpali ucapan Hana barusan.“Haris, mending kau talak aja istrimu ini daripada semakin banyak kesia*an yang dibawanya untuk keluarga ini,” cerca ibu mertuaku.“Bang, apa penilaianmu terhadap aku? Apa sama seperti ibu dan adikmu?” Bang Haris terpaku, aku tahu, sulit baginya memilih antara aku atau
“Haris, ibu mohon padamu, talak istrimu ini!” Ibu mertuaku berkata demikian dengan raut memelas untuk menarik simpati suamiku.“Bang, kamu gak bisa lakuin itu sama aku, jenazah bapak masih ada di hadapan kita, ibumu, kok, tega bikin masalah baru!” Kali ini aku menyerang ibu balik dengan kata-kata yang mungkin tidak sopan.“Terus, kakak mau apa rupanya setelah ini? Mau harta kami? Mau jadi menantu tunggal yang menerima harta warisan dari bapak mertua yang sangat menyayangi menantu perempuannya? Gitu!” tambah Hana.‘Bang, tolong ucapkan sesuatu, jangan diam aja kayak gini,’ pintaku dalam hati.“Ah.” Tiba-tiba perutku terasa keram sekali.“Kenapa, Dek?”“Gak tahu, nih, Bang, tiba-tiba perutku kontraksi, kayak mau melahirkan, aduuuh ....” jeritku di gelapnya malam.“Ya, udah, kalau gitu kita ke Puskesmas aja, ya,” ajak suamiku.“Iya, Bang.” Bang Haris memapahku hingga ke luar rumah.“Bu, Han, tolong nanti susul kami di Puskesmas, ya, sekalian bawakan tas yang ada di dalam kamar. Aku mau
“Pulang sekarang juga, Ris!” teriak seorang wanita yang berjalan gontai menuju Haris dan Jaya.“Bu, Hana? Apa maksud ibu nyuruh aku pulang sekarang? Istriku baru saja bertaruh untuk melahirkan anakku di dalam sana, ibu suruh aku pulang ninggalin dia! Aku gak habis pikir bagaimana jalan pikiran ibu!” sergah Haris yang mulai panas dengan sikap ibunya selama ini.“Oh, udah mulai melawan orang tua kau sekarang, ya, Ris. Cuma karena perempuan dan keluarganya yang misk*n ini, kau berani melawan ibu yang sudah melahirkanmu!” Painem murka dengan ucapan Haris barusan.Samar terdengar kegaduhan di luar, membuat Nur cemas.“Ratih, Bu, aku keluar dulu, ya, mau lihat ada kegaduhan apa di sana,” ucap kak Nur. Sebenarnya kegaduhan itu juga membuatku cukup panik, tapi aku tak begitu kuat untuk keluar dan melihat kejadiannya. Jelas kutahu suara siapa barusan, dia adalah ibu mertuaku.“Bu, aku takut kalau mereka bertengkar,” ucapku pada ibu yang menemaniku di ruangan.“Kita tunggu aja apa yang terjadi
“Nur ... cukup!” Jaya berusaha mencegah amukan Nur yang semakin merajalela.“Untung kau tak kubu*uh, cuih!” Seketika Nur menghentikan aksinya dan pergi menuju ruang bersalin.“Haris, bantu ibumu, aku mau menyusul Nur di dalam.” Jaya bergegas meninggalkan Haris juga ibu dan adiknya.“Bu, ayo kubantu.” Haris menopang kepala ibunya yang setengah tak sadarkan diri.“Minggir kau, anak tak tahu d*ri!” tolak Painem. Dengan gerak tertatih, Painem berusaha bangkit dan berjalan meninggalkan puskesmas itu bersama anak perempuannya.“Pergilah kau bersama istrimu itu, Kang!” ucap Hana ketus disusul oleh Painem yang menatapnya nanar lalu pergi.***Keesokan harinya, para tamu mulai berdatangan ke rumah Juriono hendak bertakziah. Di sana telah tampak ustad dan kepala desa yang akan membantu prosesi pemakaman bapak Haris.“Maaf, bu Painem, kita mulai saja proses memandikan jenazahnya sekarang, ya. Kasihan pak Juriono, terlalu lama dikebumikan,” ujar pak ustad.“Yo wislah, kono!” jawabnya singkat deng
“Beneran, loh, aku gak bohong, tadi, tuh ada memar kayak bekas cubitan sama kayak benturan benda keras di tubuh kakek itu.”“Eh, yang bener kamu?”“Iya, masa suamiku bohong, sih, tadi dia yang mandikan jenazahnya.”“Udah, ah, aku gak mau ikut-ikutan,” tutup salah seorang tetangga yang diajak bergosip oleh tetangga lainnya.***Suasana di ruanganku menjadi sedikit tegang kala Bang Jaya masuk ke dalam. Ia menatap mata Kak Nur tajam. Seketika kakakku tertunduk. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar tadi.“Nur, kenapa tadi kau sekejam itu dengan ibunya?” Kalimat pertama dari Bang Jaya membuatku sedikit memicingkan mata.“Kalau dia gak seperti itu pada adikku, mana sampai aku bisa sekejam itu padanya.”“Tapi bukan dengan menghukumnya seperti tadi!”“Itu pantas diterimanya atas semua yang dilakukannya pada Ratih!”“Nur, kau gak bisa berbuat seenaknya, bisa-bisa kau dituntut atas perbuatanmu tadi.”“Aku gak takut dituntutnya karen aku bisa lebih kejam menuntutnya balik!” Tak mau kalah, Kak N
“Jangan-jangan ibuku tahu soal ini, Pak.”“Begini, Nak, sebaiknya ini dibicarakan dengan pihak keluarga, jangan sampai isu ini menyebar dan nama baik keluarga nak Haris jadi kurang baik. Niat saya menyampaikan ini supaya kamu sebagai anak lelaki bisa mengambil keputusan dengan bijak.”“Iya, Pak, saya mengerti maksud bapak. Sebelumnya saya juga mau minta maaf bila tadi tidak bisa ikut memandikan jenazah bapak saya.”“Iya, Nak.“Istri saya melahirkan di malam itu, Pak.”“Astaghfirullahalazim.” Sejenak mereka bertiga terdiam.“Kenapa bapak beristigfar?” tanya Haris heran.“Tidak, Nak, tidak apa-apa, Nak.”“Katakan saja, Pak. Saya tidak akan merespon buruk apa yang bapak pikirkan.”“Ehm ... tadi Bu Painem bilang kalau kamu tidak peduli lagi dengan kedua orang tuamu. Ah, tapi ya sudahlah, mungkin ibumu kecapean. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, ya, Nak Haris. Semoga kau bisa menyelesaikan masalah ini dengan bijak. Assalamualaikum,” ucap kepala desa sebelum akhirnya mereka berpencar k
“Astaghfirullah, Bu, kenapa ibu lakukan itu.” Haris menutup kedua matanya dengan tangannya dan spontan terduduk sambil menangis. “Dia itu suamimu, Bu! Gak pantas ibu perlakukan bapak kayak gitu!”“Cukup ... cukup!” Suara Haris yang begitu menggelegar membuat Painem ketakutan.“Apa, sih, yang bikin ibu jadi segitu bencinya sama bapak? Dari dulu ibu selalu aja perlakukan bapak gak baik, kenapa, Bu, kenapa?” sergah Haris.“Karena bapakmu baik dengan istrimu! Bapakmu selalu aja belain istrimu!”“Ya Allah, Bu, Ratih itu istriku, Bu, ibu dari cucumu!” Kenapa, sih, kui gak ngerti juga. Posisimu itu orang tua di keluarga kita ini, harusnya kui bisa bersikap adil antara pasangan Hana dan juga pasanganku. Kui bisa baik sama suami Hana, kenapa dengan istriku, kui malah segitu bencinya. Apa salah Ratih, Bu? Apa!”“Dia misk*n!”Sesaat Haris menatap ibunya nanar, namun seketika tatapan itu berubah menjadi tatapan penuh kekecewaan.“Aku ... aku kecewa, sangat kecewa denganmu, Bu!” ucap Haris lalu pe