Apapun yang kukerjakan, selalu salah di mata ibu mertuaku. Pernikahan ini bagaikan mesin yang bisa ia kendalikan kapanpun ia mau. Kemanakah arah rumah tangga ini bila ibu mertuaku memusuhiku sepanjang waktu?
View More“Ratih ... Ratih! Buka pintunya! Aku mau masuk.” Suara itu terdengar nyaring memanggilku dari balik pintu rumah sewa yang kami tempati kurang dari satu tahun pernikahanku.
“Iya, Bu, maaf, ya, aku baru pulang dari Puskesmas, badanku sedikit lelah melayani banyak pasien di sana,” jawabku seadanya.Wanita tua yang tak lain adalah ibu mertuaku masuk dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Bagaikan debt collector yang tugasnya menagih hutang para nasabah, begitulah tiap kali ia datang berkunjung ke rumah kami.“Di mana suamimu?” tanyanya ketus tanpa menoleh padaku sedikitpun, melirik ke setiap sudut ruangan.“Bang Haris masih ngajar, Bu, belum pulang.”“Terus habis pulang kerja gini, kau bermalas-malasan di rumah? Gak ngerti apa kalau suamimu itu cuman guru biasa! Harusnya kau pahamlah dan bantu suamimu, jualan, atau jadi tukang cuci atau pembantu rumah tangga yang bisa ngasilkan uang.”Aku hanya bisa terdiam tiap kali kalimat pedas itu terdengar lewat runguku. Padahal, aku dan suamiku tidak menumpang hidup dengannya, namun ia datang ke rumah sewa kami dan mengomentari setiap apapun yang kami kerjakan. Rasanya berat menjalani pernikahan seperti ini, tapi batinku berkata untuk terus kuat dan bertahan demi bayi yang sedang kukandung, buah cinta pertama kami.“Iya, Bu. InsyaAllah nanti setelah aku melahirkan, aku akan cari kerjaan tambahan untuk bantu perekonomian keluarga kami.”“Kenapa gak sekarang aja?”“Aku belum bisa, Bu, soalnya aku udah hamil tua, untuk berjalan aja kadang udah ngos-ngosan.”“Alaaah ... gak usah manjalah! Kau pikir aku gak pernah hamil, gak pernah ngerasain kekmana rasanya orang hamil, iya!” Ibu membentakku tuk kesekian kalinya. “Jadi perempuan, tuh, jangan malas-malasan! Jangan jadi perempuan yang cuma numpang hidup sama suami. Kau gak nyadar kalau kau berasal dari keluarga misk*n!”Deg!
Rasanya jantungku berhenti berdetak mendengar celaan dari ibu mertuaku.
“Untung suamimu itu PNS, jadi dia bisa punya gaji tetap tiap bulan untuk biayai hidupnya. Kalau gak, mau jadi apa anakku itu hidup sama kau!” Tak puas sampai di situ, mertuaku terus mengeluarkan kalimat-kalimat pedas untuk mencela diriku. Aku yang saat itu dalam kondisi lemah, hanya bisa berpasrah dengan semua ucapan ibu mertuaku.“Baik, Bu, secepat mungkin aku cari kerjaan untuk tambahan perekonomian kami.”“Nah, gitu, dong. Kalau udah masuk ke keluarga kami, kau juga harus tau diri dan tau kerja! Jangan sok mau jadi nyonya!" tambahnya lalu pergi meninggalkan rumah sewa kami.Padahal aku dan bang Haris tak pernah mempermasalahkan urusan biaya hidup, kami selalu bersyukur dengan semua yang kami punya. Aku pun tak menyangka, ternyata kedatangan ibu mertuaku ke sini hanya untuk mengucapkan kalimat-kalimat pedas itu.***“Assalamualaikum, Dek, abang pulang.”“Waalaikum salam, Bang,” jawabku lesu sembari mencium punggung tangan suamiku.“Kamu kenapa? Kok, kelihatannya lesu kali?” tanyanya sambil mencium jabang bayi yang ada di perutku.“Tadi ibumu ke sini, Bang. Dia mencelaku lagi.”Raut wajah suamiku yang tadinya bahagia, kini berubah menjadi cemberut. Aku sedikit lega ketika suamiku mau merespon ceritaku atau setidaknya sedikit memberiku dukungan atas sikap ibunya, namun ternyata aku salah. Bang Haris justru menyalahkanku.“Dek, aku gak suka, ya, kalau kau terlalu benci dengan ibu. Biar bagaimanapun, dia itu ibuku, yang telah mengandung dan melahirkanku. Harusnya kau bisa patuh dan nurut apa kata ibu.” Kalimat sinis itu kudengar dari lelaki yang mempersuntingku belum satu tahun ini.“Bang, aku bukannya gak suka dengan ibumu, tapi aku hanya menyampaikan apa yang terjadi tiap ibumu ke sini.” Air mata itupun menetes tanpa sengaja. Tak tahan rasanya menahan air bening itu tetap berada di pelupuk mataku.“Aku bosan, setiap kali aku pulang, kau selalu memulai cerita jelek tentang ibuku, macam gak ada baiknya ibuku di matamu!”Bang Haris, pun, pergi meninggalkanku di ruang tamu seorang diri. Aku bingung, harus pada siapa mengadu. Aku hanyalah seorang anak yatim. Untuk mengadu pada ibuku bukanlah pilihan yang tepat karena hanya akan menambah lelah batinnya.***Pagi itu, bang Haris berangkat kerja lebih dulu. Dia tak menungguiku seperti biasa. ‘Apa mungkin karena kejadian semalam, dia malah tidak mencakapiku sampai hari ini?’ batinku.“Bang ....!” teriakku tergopoh-gopoh membawa termos berisi alat suntik dan es batu. Namun, ia tak menoleh dan tak menyahut panggilanku. Malah terus melaju menggunakan motor jadul miliknya. Padahal aku sangat butuh bantuannya untuk mengangkat termos ini menuju Puskesmas tempat aku bekerja. Terpaksa kutahankan terus berjalan membawa beban di tangan dan di perutku.“Ratih, mana suamimu? Kok, kau yang bawa termos itu? Kan, berat, loh! Sini-sini biar kubantu.”“Makasih, ya, Bi.”“Ayo duduk dulu sini, minum teh manis. Semalam kudengar dari rumahmu ada yang teriak-teriak. Siapa itu?” tanya bi Marina teman kerjaku.“Dia mertuaku, Bi.”“Kekmana mertuamu itu? Kok, gitu dia ngomong ke menantunya, emangnya si Haris itu berapa bersaudara?”“Cuma dua orang, Bi. Dia sama adik perempuannya.”“Nah, cuma dua orang, tapi, kok, kekgitu dia, ya. Padahal biar gimanapun, menantu perempuan juga yang nantinya ngurus dia kalau udah tua.” Logat Batak khas dari bi Marina.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi komentarnya. Tiba-tiba dari rumah sewaku, tampak berdiri seorang wanita berbaju kebaya, menunggu penghuninya dengan penuh kebencian. Dia tak lain adalah Painem, ibu mertuaku."Ratih ... Ratih!” teriaknya berulang-ulang.
Suaranya yang lantang mampu didengar oleh semua orang yang ada di Puskesmas itu, termasuk aku. Kuakui, ibu mertuaku adalah sosok wanita tua yang masih sangat kuat. Dia bekerja tiada henti, pekerjaan apapun itu pasti digelutinya demi mendapatkan uang. Di pikirannya hanya uang, uang, dan uang.
"Iya, Bu? Ada apa pagi-pagi ke sini, Bu?” tanyaku dengan nafas yang tersenggal karena lelah berjalan cepat menuju rumah.
“Mana suamimu? Aku mau bicara dengannya!”
“Bang Haris udah berangkat kerja setengah jam yang lalu. Ada apa emangnya, Bu, nanti, kan, bisa kusampekkan.”“Aku mau bicara soal pembagian harta warisan. Seenak kalian aja dapat bagian banyak, sedangkan adiknya dapat bagian lebih dikit!”Aku gak habis pikir, bisa-bisanya mertuaku datang pagi-pagi ke rumahku hanya untuk membahas harta warisan.“Bu, kan, bisa kita bicarakan lain waktu, dan bisa kita bicarakan di dalam rumah dengan tenang.”“Gak perlu aku pendapatmu itu, yang kumau sekarang, kau bilang sama suamimu tuk bagi harta warisan ladang itu sama rata dengan anak perempuanku!”“Bagi harta warisan sama rata?” BERSAMBUNG“Abang mau bicara apa?”“Makasih, ya, udah kembali teduhkan hati anak kita untuk menerima ibuku di rumah ini. Aku gak tahu harus berkata yang bagaimana lagi ke kamu. Kesabaranmu, ketulusanmu, kesetiaanmu dan semua hal baik tentangmu, mungkin gak mampu kubalas satu persatu.” Mata itu tampak berkaca-kaca menatapku yang berdiri di depannya.“Bang, aku ini istrimu, sudah sepantasnya selalu ada di saat apapun keadaan yang kamu alami. Aku memilih mencintaimu sejak dulu, hari ini, dan nanti. Tapi biar bagaimanapun, aku bukanlah makhluk yang sempurna, Bang.”“Bagiku kaulah yang paling sempurna, Dek.”“Enggak, Bang. Kamu salah bila menganggapku sesempurna itu. Aku juga pasti punya titik terendah yang mungkin dapat membuatku merasa lelah suatu hari nanti. Hingga tanpa kamu sadari, aku melakukan hal yang tak pernah kamu duga.”“Apa maksudmu, Dek?”“Aku juga hanya manusia biasa, Bang. Apalagi aku adalah seorang wanita yang mana segala sesuatunya berlandaskan hati. Beda dengan kalian yang menganda
“Hana!” balas Bang Haris dengan teriakan yang lebih lantang. “Apa maksudmu ucapkan perkataan itu!”“Aku udah capek sama semua penderitaan ini, jangan abang tambah lagi bebanku dengan menitipkan ibu sama aku!” Hana meronta-ronta seperti orang kerasukan.“Aku bukannya gak mau ngajak ibu ikut tinggal bersamaku, tapi ibu yang gak mau ikut aku!” sergah Bang Haris.“Aku gak mau tahu, ajak ibu pindah dari sini, aku gak mau dia jadi penambah bebanku di rumah ini!”Segera kuberjalan menuju kamar di mana ibu mertuaku berada. Tak kuindahkan lagi perkataan serta omelan adik iparku. Sepanjang kami berada di rumahnya, ia terus mengomel dan mengeluarkan ujaran kebencian. Aku seakan menutup telinga kiri dan kananku. Mengabaikan semua perkataannya.“Bang, semua perlengkapan ibu udah kubawa, kita pergi sekarang aja, ya,” ajakku tanpa menghiraukan Hana yang masih ngedumel.Masih terdengar jelas di telingaku ucapan pedas dari mulut Hana, tapi aku seolah menganggapnya tidak ada.“Heh, Kak, Bang! Kalian de
“Masalah apa lagi yang mau kau buat.” Kudengar suara itu dari ruang tamuku, jangan-jangan ada lagi masalah baru sepulang kami dari rumah Hana tadi siang.Segera aku menyusul pusat suara itu, dan kulihat bang Haris sedang bertelponan tapi entah dengan siapa.“Bang, baru telponanan dengan siapa?” tanyaku sedikit ragu. Kulihat suamiku masih mengepalkan tangan kanannya. Tampak dia sangat kesal dengan orang di telepon barusan. “Duduk dulu, yuk, biar kamu lebih tenang. Bentar aku ambilkan teh hangat, ya.” Sesaat kuambilkan teh hangat untuk Bang Haris supaya dia lebih tenang dan meredalah emosinya. “Ini tehnya, Bang.” Kusuguhkan teh yang masih panas namun sedikit hangat itu untuknya.“Makasih, ya, Dek.”“Gimana? Udah enakan?”“Udah.”Kugenggam tangan suamiku dengan tangan kananku dan sedikit kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan tangan kiriku.“Aku gak habis pikir lihat Hana dan Jefri.” Bang Haris mulai angkat bicara. Kutatap sorot matanya tanda aku serius mendengarkannya bercerita. “Hana
“Aku benci kalian semua!” Jelas terdengar suara yang tak asing di telingaku. Ya, itu suara Endi.GUBRAKPintu rumah yang memang tak terkunci itupun didobrak oleh Endi.“Endi, darimana saja kau?” sergah Hana yang masih tersulut emosi.“Aku benci hidupku, aku benci semua yang ada di sini! Aaarrhhhg ....”“Cukup Endi, cukup! Udah gak pulang seminggu, pulang-pulang malah marah-marah gak jelas! Darimana saja kau?”“Aku mau kemana, itu terserahku, kalian semua ini cuma mikirkan harta, harta dan harta!”Kami yang menyaksikan perdebatan antara Endi dan ibunya lebih memilih diam daripada ikut campur. Masno dan Dewo memilih ke luar dari rumah itu sedangkan suamiku memilih menuntun ibu mertuaku ke tempat tidurnya.“Tunggu, anak kurang aj*r kau, ya!” sergah Hana. Ia menyusul ke luar kamar ibu mertuaku.“Untuk apa ibu masih mencariku, bukannya ibu dan bapak udah puas dengan banjir harta, punya sawah sana sini, punya warung yang selalu ramai.”“Tutup mulutmu!”PLAKTamparan itu tepat mengenai pipi
“Bang Haris, ngapain abang di sini?”“Kami datang ke sini untuk melihat seorang ibu tua yang kalian telantarkan,” jawabku sinis.“Kang, maafkan aku, ya, atas semua kesalahanku di masa lalu.” Seketika Hana melompat turun dari becak yang ditumpanginya dan bersimpuh di bawah kaki suamiku. “Aku gak pernah berpikir panjang akibat dari ulahku sejak dulu dengan kakang dan kak Ratih. Kumohon maafkan aku, ya, Kang.”Aku gak yakin Hana meminta maaf dengan tulus kepada kami. Namun pada situasi ini, aku tetap berusaha bersikap tenang. Tak kutunjukkan sedikitpun raut kesal di hadapan adik iparku yang licik dan lihai bersandiwara.“Bangkitlah, Han. Aku sudah memaafkan kalian. Sekarang mari kita tuntun Jefri dan ibu ke dalam rumah,” ucap bang Haris.“Aku senang kakang dan kak Ratih datang ke sini.” Kutahu ucapan Hana itu hanyalah basa basi belaka, lagaknya yang sok sibuk membuatkan teh untuk kamipun mungkin hanya penghias sandiwaranya saja.“Kak, kenapa dari tadi kulihat kakak seperti menyimpan sesu
Tangis histeris menyelimuti lorong rumah sakit itu, Hana, pun, berucap, “Oh Tuhan cobaan apa lagi ini!”***“Kulihat tadi malam kamu udah tidur lelap, aku gak tega bangunin kamu.”“Bang, astaghfirullah, aku belum salat subuh. Aku salat dulu, ya, Bang.” Bergegas kutinggalkan suamiku yang masih duduk di atas sajadah dengan sarung serta peci yang melekat di kepalanya.Selesai aku salat, kusalim tangan suamiku dan seperti biasa, ia mengecup lembut keningku.“Bang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapku pelan.“Bicaralah, Sayang. Kan memang seperti biasa, pagi-pagi selepas salat subuh, kita selalu bercengrama seperti ini,” balasnya dengan senyuman.“Tapi ini menyangkut keluarga besar kita.” Aku tertunduk takut menatap bagaimana ia meresponku setelah ini.“Tidak apa-apa, bicaralah, baik maupun buruk yang akan kamu sampaikan, takkan mengubah apapun dariku.”“Aku mau minta maaf karena semalam telah melampiaskan seluruh emosiku di pesta anak Hana.” Aku masih menunduk takut.“Lantas?” tanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments