Mempunyai suami pengangguran membuat kehidupan rumah tangga Rahayu dan Sadewo sering terjadi perselisihan. Mau tak mau Rahayu harus terus bekerja agar bisa menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Sayangnya Sadewo tak mau sedikitpun membantu pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anaknya sehingga semuanya harus dikerjakan sendiri oleh Rahayu. Hal ini membuat Rahayu terkadang merasa tak ada gunanya memiliki suami. Parahnya, bukan hanya membiayai kehidupan dirinya sendiri, anak-anaknya dan suaminya saja namun Rahayu juga harus membiayai kehidupan Ibu mertua dan adik iparnya. Ibu mertuanya mempunyai banyak tuntutan pada Rahayu, hal ini membuat Rahayu merasa seperti mesin penghasil uang bagi keluarganya. Awalnya Rahayu menerima keadaan Sadewo dan berharap suatu saat suaminya bisa berubah dan segera mendapatkan pekerjaan. Namun sikap buruk ibu mertuanya ditambah perselingkuhan suaminya membuat Rahayu menyerah. Rahayu mulai menyadari bahwa dirinya hanya dimanfaatkan oleh suami dan ibu mertuanya tanpa sedikitpun dihargai keberadaanya. Di satu sisi Rahayu memiliki karier yang bagus di perusahaanya. Ia menjadi karyawan kesayangan bosnya hingga berhasil merebut hati putra sulung bosnya yang tak lain adalah pewaris perusahaan. Lantas bagaimana kisah kehidupan Rahayu selanjutnya? Akankah dia bertahan dalam pernikahanya yang seperti neraka?
Lihat lebih banyak“Mas kenapa setiap aku pulang kerja rumah selalu berantakan? Apakah kamu tidak ada waktu untuk membereskanya?” Tanya Rahayu protes melihat rumahnya yang begitu berantakan.
Rahayu baru saja memasuki kamarnya setelah bekerja dan mendapati rumah sangat berantakan. Mainan anak berserakan di mana-mana, dapur penuh dengan tumpukan cucian piring, hingga baju-baju kotor anaknya yang juga berserakan tidak pada tempatnya. Sementara suaminya Sadewo sedang asyik bermain game di handphonenya.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Rahayu mendapati rumahnya masih berantakan saat pulang kerja, namun sebelum-sebelumnya Rahayu selalu mencoba bersikap sabar pada suaminya. Kali ini, Rahayu ingin suaminya sadar dan merubah sikapnya.
“Haduuh Rahayu, membereskan rumah itu kan tugas seorang istri, masa aku juga sih yang harus membereskan rumah!” Sadewo tak terima dengan protes yang disampaikan oleh Rahayu, istrinya.
“Mas, aku kan sudah cape kerja, tolonglah bantu aku sedikit dengan membuat rumah kita nyaman saat aku pulang” Rahayu mencoba memberikan pengertian pada suaminya. Ia merasa sudah lelah bekerja seharian, rasanya tidak adil jika dia juga yang harus membereskan rumah setelah pulang kerja.
“Kamu bekerja kan juga atas ijinku Rahayu, kalau aku gak ijinkan uang yang kamu hasilkan dari bekerja tidaklah halal, jadi itu sudah konsekuensimu sebagai seorang istri. Kamu boleh kerja, tapi jangan pernah lupakan kodratmu sebagai seorang wanita!” Ucap Sadewo, seolah sikapnya sebagai seorang suami sudah benar.
Menurut Sadewo istrinya harus tetap mengerjakan kewajibanya mengurus anak-anak dan rumah tangga walaupun dia telah bekerja dan menghasilkan uang. Memang Sadewo yang mengijinkan Rahayu bekerja, namun entah bagaimana jadinya dengan kondisi keuangan mereka jika Rahayu tak bekerja. Pasalnya Sadewo sudah berbulan-bulan menganggur tanpa penghasilan.
“Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja yang bekerja cari uang untuk menafkahi istri dan anakmu? Bukankah itu kewajiban seorang suami? Kenapa kamu malah membiarkan aku yang kerja sedangkan kamu di rumah enak-enakan menikmati semua fasilitas rumah ini? Kamu gak lupa kan kalo aku yang membayar semua biaya tagihan di rumah ini?” Entah dari mana Rahayu memiliki keberanian untuk menjawab suaminya selantang itu. Padahal biasanya Rahayu hanya diam dengan semua sikap suaminya.
Mendengar jawaban istrinya, Sadewo merasa sangat direndahkan sebagai seorang lelaki. Hatinya bergemuruh menahan emosi hingga tanganya mengepal menahan amarah.
“Dengar Rahayu, aku sedang berusaha mencari pekerjaan selama ini, tapi kamu tidak sabar dengan usaha yang sedang aku lakukan! Kamu seharusnya mendukungku, bukan meremehkanku! Paham?!” Sadewo mengucapkannya dengan suara yang keras karena marah pada Rahayu.
"Mencari pekerjaan di mana? kamu hanya enak-enakan main game di rumah Mas! Bahkan membantu mengurus anak-anak dan mengurus rumah pun kamu tak mau melakukanya! Apa kamu gak malu sebagai laki-laki hanya menjadi beban istrimu?" Rahayu pun tak kalah emosi sehingga tanpa sadar ikut mengencangkan suaranya pada Sadewo.
Plak! Satu tamparan mendarat di pipi kiri Rahayu membuatnya reflek memalingkan muka karena tidak siap menerima tamparan tersebut. Rahayu memegang pipinya yang memerah, rasanya panas dan perih. Namun hatinya lebih perih karena sikap suaminya benar-benar menyakitkan hati Rahayu, ia pengangguran sekaligus mulai berani KDRT.
“Ingat Rahayu, aku tidak suka direndahkan! Sekali lagi kamu meremehkan aku, tak segan-segan aku lakukan yang lebih dari ini” Sadewo menunjuk muka Rahayu dengan jarak yang sangat dekat sambil mengucapkan ancamanya. Belum puas dengan ancaman yang dia lakukan pada istrinya, Sadewo mendorong tubuh Rahayu hingga menabrak dinding, lalu keluar kamar meninggalkan Rahayu yang syok dengan sikap suaminya.
Jebreet! Sadewo membanting pintu kamar dengan keras. Membuat tubuh Rahayu berjingkat karena kaget. Kini tubuhnya merosot ke lantai, mata Rahayu panas menahan air mata yang berkumpul di sudut matanya. Bagaimana tidak? Tenaga dan pikiranya telah terkuras habis untuk bekerja hingga malam, namun ia mendapati kondisi rumah yang masih berantakan.
Mainan anak-anaknya berserakan disetiap sudut rumah, sementara cucian piring juga menumpuk di dapur memaksa Rahayu untuk segera mencucinya. Belum lagi disudut kamar mandi juga teronggok tumpukan baju kotor yang menambah beban pekerjaanya. Saat Rahayu protes, Sadewo malah memarahinya dan menamparnya membuat Rahayu merasa dirinya tak berharga.
Rahayu mengelap pipinya yang basah oleh air mata. Ya, air mata itu akhirnya tumpah juga. Rahayu menangis dalam diam sambil menahan seluruh rasa kecewa, lelah dan sedih yang berkecamuk jadi satu dalam hatinya. Bagaimana mungkin suaminya setega ini, ia sudah lelah bekerja namun setelah pulang masih dihidangkan segudang pekerjaan rumah yang mau tak mau harus dikerjakan.
***
Setelah tenang, Rahayu keluar dari kamarnya. Ia mendapati ibu mertuanya sedang menonton televisi acara malam di ruang tengah, sementara suaminya entah kemana. Biasanya Sadewo akan pergi keluar jika sedang marah seperti saat ini.Rahayu mengambil keranjang yang biasa digunakan untuk menyimpan mainan anak-anaknya. Ia memunguti satu persatu mainan anak-anaknya yang berserakan di lantai. Setelah itu, ia menyapu kemudian dilanjutkan mengepel lantai yang lengket oleh kotoran. Ia melirik ke arah Ibu mertuanya yang tak ada inisiatif untuk membantu, namun Rahayu cepat-cepat mengalihkan pandanganya ke lantai yang sedang di pel ketika Ibu Yanti melihatnya.
“Rahayu maaf yah Ibu tidak membantu, ini sudah malam, Ibu cape seharian habis pergi arisan” Ucap Bu Yanti. Tanganya asyik memegang remot tv sambil menikmati snack yang sebenarnya Rahayu beli untuk anak-anaknya.
“Iya Bu, tak apa Rahayu sudah terbiasa” Ucap Rahayu pelan. Rahayu tak ingin mencari masalah lagi dengan memprotes perilaku suami maupun Ibu mertuanya.
Selain menanggung beban suami yang menganggur, Rahayu juga menanggung biaya hidup Ibu mertua dan adik iparnya. Mereka berdua memustuskan tinggal bersama Rahayu dengan alasan rumah mereka telah disewakan untuk biaya hidup. Rahayu pun tak bisa menolak, menurut Sadewo apa yang diperintahkan oleh suami, istri harus menurut.
Setelah selesai membereskan mainan anak-anak dan mengepel lantai, Rahayu mengumpulkan pakaian kotor untuk di cuci. Beruntungnya Rahayu memiliki mesin cuci sehingga bisa meringankan pekerjaan rumahnya.
Rahayu berdiri di depan mesin cuci yang letaknya tak jauh dari kamar mandi. Ia memisahkan pakaian putih dan pakaian berwarna sebelum memasukan ke mesin cuci. Pakaian putih ia masukan terlebih dahulu ke dalam mesin, setelahnya pakaian berwarna agar tidak luntur dan mengotori pakaian putih.
“Nyuci baju aja pake mesin cuci, kan boros listriknya! Apalagi malem-malem begini haduuh nanti tagihan listrik jadi mahal loh!” Ibu Yanti tiba-tiba muncul mengomentari Rahayu yang menggunakan mesin cuci. Rahayu yang berniat masuk kamar mandi jadi merasa tak enak, padahal tagihan listrik pun dirinya yang membayar.
“Iya Bu, Rahayu sudah cape soalnya seharian kerja, biar cepat jadi pake mesin cuci” Ucap Rahayu, lalu cepat-cepat masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia enggan meladeni mertuanya tersebut karena takut salah bicara hingga menimbulkan masalah baru dengan suaminya.
“Dasar menantu jaman sekarang memang manja! Aku dulu nyuci ya di kucek pake tangan biar bersih!” Suara Ibu mertuanya terdengar jelas dari kamar mandi sedang menyindir Rahayu. Rahayu memilih diam pura-pura tak mendengar, lalu melanjutkan acara mandinya.
Betapa menyedihkan kehidupan Rahayu, hidup di rumah sendiri tetapi rasanya seperti menunpang. Segala sesuatu yang Rahayu lakukan selalu saja mendapatkan komentar negatif dari Yanti, Ibu mertuanya.
“Rahayu…” suara Ardhi terdengar tenang, tapi dalam. “Kamu telah melalui begitu banyak luka, dan tetap berdiri. Kuat, meski sendiri. Dan aku tahu… kamu gak butuh siapa pun untuk menyelamatkanmu. Tapi izinkan aku… untuk jadi orang yang berjalan bersamamu, bukan di depan, bukan di belakang. Tapi di sampingmu.”Rahayu menahan napas. Air matanya sudah menggenang.“Aku gak mau terburu-buru, tapi setidaknya kamu tahu… aku serius. Aku mencintaimu. Dan aku ingin membangun kehidupan yang sehat, jujur, dan utuh—bersama kamu.”"Will you marry me?" Rahayu menutup mulutnya dengan tangan, terkejut… terharu… nyaris tak percaya bahwa ini sungguh terjadi. Satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan hanyalah anggukan pelan dengan air mata yang akhirnya jatuh juga.“Ya… aku bersedia.” lirih Rahayu.Ardhi tersenyum penuh lega, lalu menyematkan cincin di jari manis Rahayu. Ia berdiri, dan keduanya saling menatap lama, hangat, dan tenang.***Pernikahan Rahayu dan Ardhi digelar secara mewah namun tetap bersif
Riuh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, sesaat setelah Pak Darmawan memotong pita merah yang membentang di depan pintu utama, sebuah simbol resmi dibukanya cabang ke-12 Darmawan Group.Ardhi berdiri di samping ayahnya, tampak gagah dalam setelan jas abu muda. Tak jauh dari mereka, Rahayu berdiri dengan anggun di antara jajaran manajer senior dan staf utama, mengenakan blazer biru tua yang mencerminkan wibawa dan profesionalisme.Di sisi lain, para pemegang saham, mitra strategis, dan perwakilan investor turut berdiri sejajar dengan Pak Darmawan, menyambut momen penting ini dengan penuh antusias.Pak Darmawan melangkah ke podium kecil yang telah disiapkan. Dengan suara mantap dan senyum penuh keyakinan, ia menyampaikan pidato pembukaan.“Cabang ke-12 ini bukan hanya angka. Ini adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, dan konsistensi seluruh tim Darmawan Group. Sebuah pencapaian sekaligus pengingat... bahwa untuk tetap menjadi yang terdepan, kita harus terus bertumbuh dan berinov
Beberapa hari setelah penangkapan Sadewo, kehidupan Rahayu mulai berangsur tenang. Meski luka dan letih masih terasa, ia bisa bernapas lebih lega. Tak ada lagi pesan ancaman. Tak ada ketakutan untuk membuka ponsel, atau khawatir anak-anak dibawa pergi tanpa izin.Pada suatu sore, setelah jam kantor selesai dan mereka juga baru selesai melakukan meeting, Ardhi mendatangi Rahayu yang sedang merapikan dokumen dengan dua cup es krim stroberi dan cokelat. “Lelah hari ini?” tanyanya santai, menyerahkan satu cup es krim coklat ke Rahayu.Rahayu tersenyum tipis. “Lumayan. Tapi es krim ini bisa sedikit memperbaikinya.”Rahayu akhirnya memilih duduk di sofa kecil yag tersedia di ruangan meeting, Ardhi mengikutinya. Mereka berbagi cerita ringan, tanpa membahas pekerjaan dan tanpa tekanan. Hanya tawa kecil yang perlahan mengisi ruang di antara mereka. Seorang office girl yang membersihkan ruang meeting hanya tersenyum mengangguk, lalu kembali fokus pada pekerjaanya.“Arkana dan Athala sehat?” t
Hingga malam menjelang, Rahayu tetap tak menggubris pesan apa pun dari Sadewo. Beberapa kali ia melihat ponselnya bergetar, nama Sadewo muncul berkali-kali di layar, namun ia tak pernah menyentuh tombol hijau itu. Ia hanya menatap layar yang menyala, lalu membiarkannya padam kembali, tanpa ekspresi.Di tempat lain, Sadewo mulai gelisah. Nafasnya memburu, dadanya naik turun penuh amarah yang menumpuk.“Kurang ajar! Perempuan itu benar-benar keras kepala!” gerutunya, membanting ponsel ke meja usang yang dipenuhi abu rokok dan gelas kopi kosong.Ia kembali menyentuh layar, menekan nama Rahayu sekali lagi. Menunggu. Berharap. Mungkin kali ini Rahayu akan mengangkat, akan ketakutan, dan akan memohon padanya agar tak menyebarkan apa pun ke publik. Tapi hasilnya tetap nihil.Nada sambung... ...lalu mati dengan sendirinya. Dihubungi berkali-kali, namun tetap tak digubris.“Baik!” gumam Sadewo, matanya menyipit penuh dendam. Tangannya bergerak cepat menulis pesan terakhir, pesan yang dia kira
Rahayu membuka pesan itu.Dan dadanya kembali sesak."Rahayu, aku tak main-main. Kutunggu kabar uang 150 juta itu. Atau... ku hancurkan kariermu!"Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat, rahangnya mengeras. Ardhi yang duduk di sebelah langsung menoleh, menangkap perubahan ekspresi di wajah Rahayu.“Pesan dari dia lagi?” tanyanya pelan.Rahayu tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada layar ponsel.Bibirnya terkatup rapat. Tapi di matanya, tak ada lagi ketakutan yang ada hanya amarah dan tekad untuk melawan mantan suaminya.Rahayu menunjukkan ponselnya pada Ardhi, matanya menatap lurus penuh tekanan yang tertahan.“Sadewo mengirim pesan ancaman lagi,” ucapnya pelan, tapi jelas.Ardhi membaca sekilas isi pesan itu, lalu menoleh padanya dengan ekspresi tenang namun tegas.“Bagus,” katanya. “Simpan semua pesan itu. Jika dia benar-benar melakukannya, kita akan lebih mudah menjeratnya dengan pasal UU ITE, seperti yang dikatakan Pak Fadly.”Rahayu mengangguk. Ada sesuatu dalam nad
Pagi itu, kantor berjalan seperti biasa. Deretan meja dipenuhi tumpukan dokumen dan suara keyboard yang tak henti mengetik. Namun, bagi Rahayu, hari ini terasa berbeda. Perutnya terasa mual bukan karena lapar, tapi karena tekanan yang membayangi pikirannya sejak semalam.Menjelang jam makan siang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Ardhi:"Jam 12.30 kita keluar sebentar ya. Aku udah atur pertemuan dengan pengacara itu. Kita makan siang sekalian."Rahayu menatap pesan itu sejenak, lalu membalas singkat:"Baik, terima kasih Ardhi."Tepat pukul 12.30, Ardhi sudah menunggu di lobi kantor. Mengenakan kemeja biru muda dan jaket semi-formal, ia tampak lebih tenang dari biasanya, tapi sorot matanya jelas menunjukkan bahwa ini bukan sekadar makan siang biasa."Siap?" tanyanya lembut saat Rahayu menghampirinya.Rahayu mengangguk, meski hatinya berdebar kencang.Mereka naik ke mobil dan melaju ke sebuah restoran tenang di kawasan Senopati. Tempat yang tak terlalu ramai, tapi cuku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen