Share

Apa salahku, Tuhan?

Buru-buru mencari Kanaya di dapur, halaman belakang juga di tukang sayur, akan tetapi tidak jua kutemukan wanita itu. Saat memeriksa isi lemari juga seluruh bajunya masih utuh dan tersusun rapi.

Pun dengan dompet serta barang-barang milik Kanaya lainnya. Penasaran, membuka dompet tersebut, lalu memeriksa isinya. Kosong. Hanya ada uang pecahan lima ribu selembar saja, beserta tanda pengenal yang terselip di kantung kecil.

Ya Tuhan, Kanaya. Ke mana uang yang selalu aku berikan. Harusnya lima puluh ribu sehari itu masih tersisa banyak. Apalagi segala kebutuhan seperti gas, air, beras, semuanya tinggal mengambil saja di toko.

Ternyata benar kata saudara-saudaraku. Kanaya itu begitu boros, tidak bisa mengolah keuangan dengan benar.

Segera menyambar jaket yang menggantung di belakang pintu, berjalan setengah berlari menuju parkiran kemudian mendorong sepeda motorku keluar dari halaman rumah. Aku ingin mencari Kanaya di rumah Dilan, karena aku yakin pasti dia bersembunyi di sana.

Ketika sampai di halaman rumahnya, aku lihat Dilan sudah bersiap-siap pergi bekerja, karena sudah menggunakan kemeja rapi serta almamater putih menyampir di tangan.

"Kamu sembunyikan di mana istri saya, Dilan?" Menarik kerah baju laki-laki bermata sipit itu, sambil menatap sinis wajahnya.

Bukannya menjawab, pria berwajah oriental itu malah mengernyitkan dahi, menatapku dengan mimik terheran-heran.

"Katakan, di mana Kanaya, Bren*sek?!" sentakku lagi.

Dilan menyingkirkan tanganku yang mencengkeram erat kerah bajunya, lalu mengusap-usap bekas sentuhanku seolah ada debu yang menempel di sana. Jumawa.

"Kamu itu aneh, Gunawan. Dia itu istri kamu. Kalau dia tidak ada di rumah, kenapa malah tanya sama aku?" Dia naik ke atas motor dan segera menstaternya, meninggalkan diriku sendiri di halaman rumahnya.

Sial! Ke mana perginya Kanaya. Kalau dia tidak di sini, terus, dia pergi ke mana? Apa dia pulang ke rumah orangtuanya?

Tidak mungkin! Kampung halaman Kanaya cukup jauh dan dia pergi tanpa membawa uang serupiah pun.

Menguyar rambut frustrasi, bingung harus mencari dia ke mana. Tidak mungkin juga menghubungi nomor ponselnya, sebab aku lihat tadi handphone milik Kanaya sedang disisi baterai di kamar.

Tidak bisakah kita bicarakan masalah ini secara baik-baik, Kanaya. Kamu itu seperti anak kecil. Ada masalah sedikit langsung kabur. Bukannya diselesaikan.

Kembali menyalakan mesin kendaraan roda duaku, pulang ke rumah ingin menenangkan diri. Kapala ini terasa berputar-putar karena terus memikirkan istri.

Namun, ketika baru saja menjajakan kaki di teras, aku mendengar suara berisik di dalam rumah. Seperti suara Thalita sedang bersenda gurau dengan Kanaya. Apa mereka berdua sudah kembali.

"Assalamualaikum, Nay, Dedek!" Untuk pertama kalinya aku pulang mengucap salam dan memanggil mereka berdua.

Hening. Suasana rumah tiba-tiba sepi. Suara tawa riang Thalita terdengar berpindah ke kamar, dan aku segera menghampirinya ke dalam bilik. Tetapi lagi-lagi hanya kehampaan yang menyapa, karena kamar dalam keadaan kosong.

"Ya Allah, Dedek, Papa kangen sama kamu!" ucapku seraya mengusap kasur, tempat dimana dia selalu merebahkan bobotnya sambil bermanja-manja dalam pelukan sang bunda.

Karena merasa kesepian, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Ibu, sebab perut juga terasa lapar dan di rumah tidak ada bahan makanan apa pun selain telur dua butir di dalam kulkas.

"Loh, kok kamu pagi-pagi begini sudah datang ke rumah, Gun?" tanya Ibu ketika melihatku masuk dan duduk di kursi meja makan.

"Aku lapar, Bu!" Membuka tudung saji, mengambil secentong nasi lalu meletakkannya di atas piring, menyiram kuah sayur serta mengambil sepotong daging.

Tumben, Ibu masak banyak sekali. Biasanya dia selalu memesan makanan di Yuk Minah, atau menyuruh Kanaya masak.

"Apa istri kamu tidak memberi makanan?"

"Kanaya kabur, Bu. Dia pergi nggak tahu ke mana."

"Alhamdulillah kalau begitu. Ibu senang dengarnya. Semoga saja dia pergi dan tidak akan pernah kembali lagi."

Aku menghentikan aktivitasku menyuap nasi ke dalam mulut. Sepertinya Ibu begitu bahagia dengan kepergian Kanaya dari rumah.

Ah, ternyata begitu sulit menyatukan mertua dan menantu, karena walaupun selalu berusaha bersikap adil, tetapi mereka tidak pernah akur.

"Bu, rencananya nanti malam aku mau mengadakan tahlilan. Tolong Ibu urus segala keperluannya ya, Bu." Aku berujar seraya menyandarkan punggung di penyangga kursi.

"Tenang saja, Gun. Tapi jangan lupa ditransfer ya uangnya."

"Pakai duit Ibu dulu. Nanti tinggal dihitung habis berapa."

"Ok."

Kami mengakhiri obrolan karena hari sudah siang dan aku harus ke toko. Ingin libur dan tutup, namun kebutuhan kian membengkak. Apalagi sekarang anak Delia butuh susu karena ASI-nya tidak keluar.

*

"Saya turut berdukacita ya, Gun. Kamu yang sabar. Insya Allah Lita menjadi penyelamat kamu dan Naya kelak di akhirat," ucap Pak Haji Haironi, penjual perabot di toko sebelahku.

Ya, aku adalah seorang pemilik toko kelontong yang sudah lumayan cukup rame dengan omset puluhan juta seminggunya di sebuah pasar besar di kota Jakarta. Dan selama ini aku tidak pernah mengizinkan Kanaya membantuku untuk berjualan, karena takut dikorupsi serta khawatir dia tahu berapa pendapatanku sebenarnya.

Bukannya pelit. Hanya saja tidak mau dia jadi banyak menuntut. Kalau Kanaya sampai tahu berapa pendapatanku, pasti dia akan hidup boros dan terlalu banyak permintaan. Karena yang aku tahu, Kanaya itu tipe wanita yang doyan sekali berbelanja serta foya-foya.

"Terima kasih, Pak Haji." Menerbitkan senyuman, walaupun bibir terasa kaku dan tenggorokan ini terasa perih ketika mengingat wajah imut putriku. Apalagi jika bayangan ketika memperlakukan dia dengan kasar tiba-tiba berkelebat dalam bayangan.

"Oh, ya. Tadi pagi saya liat Mbak Naya jalan sendirian di depan gerbang komplek. Wajahnya terlihat pucat sekali. Apa dia juga sedang sakit?"

Aku terkesiap mendengar kabar dari Pak Haji kalau dia melihat istri di depan gerbang komplek. Berarti dia belum jauh. Biarlah. Nanti aku cari sore hari saja setelah toko tutup. Soalnya sayang. Toko sedang ramai. Ini saja baru mau buka sudah banyak ibu-ibu mengantre ingin berbelanja. Sayang kalau ditinggal.

***

Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka tujuh malam. Segera menutup toko, pulang ke rumah ibu karena di kediaman ibu sedang mengadakan tahlilan.

"Gun, ini rincian belanja tadi. Sudah ibu catat semuanya ya." Wanita yang tidak pernah mau mengenakan penutup kepala itu menyodorkan selembar kertas bertuliskan daftar belanja. Total lima belas juta.

Apa semahal ini mengadakan tahlilan? Kalau sehari habis sampai lima belas juta, akan habis berapa jika mengadakan tahlilan selama sepekan?

Kubaca pelan-pelan daftar belanja yang Ibu tulis. Kenapa mahal-mahal sekali. Masa beras satu liter dua puluh ribu, dan telur satu kilo empat puluh ribu. Bahkan hanya penyedap rasa yang harganya lima ratus rupiah saja dia catat. Kalau tahu akan dikorupsi seperti ini, lebih baik ambil di toko saja. Memangnya Ibu pikir aku bodoh.

"Bu, kok ini mahal-mahal sekali harganya?" protesku.

"Lha, memangnya kenapa? Kamu keberatan ibu kasih harga segitu. Memangnya Ibu masak nggak pakai tenaga? Itu juga ibu bonusin tenaga loh!" Ibu menjawab dengan nada meninggi.

"Tapi, masa cuma penyedap rasa sebungkus saja Ibu itung? Lita itu cucu ibu loh. Bukan orang lain."

"Kalau kamu nggak mau ganti ya nggak apa-apa, Gunawan. Ibu tidak mempermasalahkan. Biar saja uang yang ibu keluarkan menjadi hutang seumur hidup, supaya anak kamu tidak tenang di alam kubur!"

Ya Allah. Pakai ngancem seperti itu pula.

"Oke, nanti aku transfer." Lebih baik mengalah daripada urusan jadi panjang.

Setelah menyelesaikan semua urusan dengan ibu, gegas pamit karena malam kian beranjak larut. Apalagi sepanjang aku berada di rumah ibu, dia selalu menjelakkan Kanaya dan membanding-bandingkannya dengan Santi. Entah mengapa ada yang tersayat-sayat ketika dia selalu membicarakan keburukan-keburukan Kanaya di depanku, sebab setahuku Kanaya itu seorang istri yang penurut.

Rumah terlihat sepi ketika sepeda motor kuparkirkan di teras. Biasanya ada yang berlari tergopoh menghampiri, mengambil tanganku dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat.

Sekali lagi melirik benda bulat yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul sepuluh malam. Ingin kembali mencari Kanaya tetapi tubuh sudah terasa begitu lelah. Mungkin besok pagi akan melanjutkan pencarian. Dia 'kan tidak membawa uang sepeser pun. Pasti tidak akan pergi terlalu jauh karena tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos taksi ataupun ojek.

Memutar anak kunci, aku segera melangkah masuk ketika pintu sudah terbuka. Mataku memicing ketika melangkah ke dalam dan rumah dalam keadaan berantakan. Televisi, tabung gas, juga beberapa barang elektronik yang ada di rumah sudah tidak ada. Sepertinya ada pencuri masuk dan mengambil semua barang-barang berharga milikku.

Ya Tuhan. Apa salahku kepada-Mu, sampai-sampai Engkau menghukum aku seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status