“Telur … telur … telur ….,” gumam Jamie seraya memejamkan matanya.
Ia melihat sesosok makhluk gaib berdiri menatapnya dari pojok ruang baca dekat kamarnya.
Jamie masih terus berlatih cara mengendalikan pikiran seperti yang Anna, ibunya, ajarkan padanya. Terkadang ia berhasil, terkadang belum berhasil.
Jamie membuka matanya sedikit demi sedikit—hendak mengintip apa kali itu ia berhasil lagi. Namun, sayangnya tidak.
“Arrrgghhh!!” Jamie memekik kencang.
Suaranya dari lantai dua kediaman tersebut tiba di lantai dasar bahkan sampai keluar. Seketika pelayan dan penjaga keamanan di rumahnya terperanjat.
Makhluk gaib yang ternyata hanya roh penasaran sudah berdiri di hadapannya persis. Menatap Jamie lekat-lekat.
Jamie terbirit-birit menuju kamar orang tuanya yang telah ia lewati sebelumnya, tanpa mengetuk pintu, ia langsung menerobos masuk.
Ia membelalak dan mulutnya menganga, tetapi segera ia tutup matanya rapat-rapat. Jamie b
Jamie lulus dari Sekolah Menengah Pertama W di Bentonville sejak akhir bulan Mei lalu. Ia dan Anna, ibunya, baru pindah ke Toronto pada awal bulan Juni lalu. Liam, ayahnya, yang telah lebih dulu pindah beberapa bulan sebelumnya mengurus pendaftaran sekolah Jamie di Toronto. Sekolah Menengah Atas The Y Toronto, tempat Jamie akan menempuh pendidikan selanjutnya. Dan sekolah akan di mulai awal bulan September. Dua minggu lagi. Jamie sudah lebih terbiasa dengan kemampuannya. Ia dapat keluar rumah dengan leluasa sembari melatih mengendalikan pikirannya di luar rumah. Musim panas pertama Jamie di Toronto. Ada energi baru di udara. Dari jalanan perumahan, pekarangan sampai taman umum membuat Jamie bersemangat dengan kota Toronto. Ia pergi dengan sepedanya ke area taman tak jauh dari kediamannya pada sore hari. “Wah, ini sungguh taman yang sangat bagus, Aku sangat menyukainya!!” ungkap Jamie ketika ia tiba di Taman Sir Winston Churchill. Ya, i
Dua hari berikutnya, Jamie sudah lebih dulu berada di taman sore itu. Ia duduk di tempat biasa dirinya dan Sophie berada. Sophie tak datangkah hari ini? Haruskah aku menghubunginya? Sudahlah, kutunggu saja. Jamie berdebat dengan pikirannya sendiri. Tak sabar ingin bertanya pada Sophie. Ia menunggu sembari memandang orang-orang yang berada di area taman. Tak berapa lama, Sophie pun tiba. Dia tersenyum saat melihat Jamie sudah duduk di kursi taman, hanyut dalam lamunannya. “Jamie, apa yang kau lamunkan?” “Ahh, tak ada, aku pikir kau tak datang hari ini,” ucap Jamie saat Sophie sudah duduk di sebelahnya. Jamie masih penasaran dan sedikit berharap. “Kau masih belum tanya orang tuamu di mana sekolahmu nanti, Sophie?” tanyanya. Sophie kembali mengangkat kedua bahunya, seakan tak peduli dengan sekolah selanjutnya. Jamie sedikit memiringkan kepalanya sembari mengerutkan dahi. Ia bingung karena sekolah akan dimulai, tet
Keesokan harinya, Jamie kembali ke taman, tetapi tak menemukan Sophie. Satu hari, dua hari sampai tiga hari masih sama. Ia tak pernah lagi melihat Sophie. “Ponselnya pun tak dapat dihubungi.” Jamie bergumam lirih. Jamie pernah meminta nomor ponsel Sophie, tetapi belum pernah menghubunginya. Sophie juga tak pernah membawa ponsel saat mereka bertemu. Jamie pikir karena orang tua Sophie melarangnya membawa ponsel ke taman. Ia juga belum pernah bertukar pesan pada Sophie karena mereka selalu bertemu. Namun, Jamie merasa tak enak, berpikir ketidakhadiran Sophie karena marah padanya saat kejadian terakhir kali. Ia pun kembali menekan tombol panggilan pada ponselnya ke nomor Sophie—tak lebih dari tiga kali. Setelah hampir satu jam menunggu di kursi taman, Jamie menyerah dan pulang. “Sophie pasti marah dan kecewa padaku karena Mom,” ucap Jamie bersungut-sungut—menyalahkan Anna, ibunya. Mereka berdua berada di ruang keluarga se
Jamie mengumpati dirinya dalam hati—menyalahkan diri karena terlalu ceroboh. “Ya, aku … lurus saja kalau begitu,” ucap Jamie sendiri—ia pura-pura tak mendengar. “Kau ingin ke kantor administrasi, bukan?” tanya si makhluk gaib. Dia sejak tadi memerhatikan Jamie dan mendengar Jamie kebingungan. Dia hanya iseng bertanya tanpa tahu manusia di hadapannya bisa melihat dan mendengarnya atau tidak. Namun, Jamie tanpa tahu siapa yang menegurnya, ia langsung menjawab. Si makhluk gaib itu gembira. Dia menjelaskan arahnya pada Jamie, tak peduli dengan sikap Jamie yang mengabaikannya. Dia tahu Jamie berpura-pura. “Kalau kau mau ke kantor administrasi, kau berbelok ke kanan, kembali ke meja penerima tamu dan belok kiri di sana.” Jamie mendadak ragu, tetapi ia tetap melangkahkan kakinya perlahan seraya berpikir. “Kanan? Kanan atau kiri, ya? Kalau aku ke kanan, aku akan ketahuan mendengar dia, kalau aku ke kiri? Apa murid tadi masih ada di san
Ternyata, bukan hanya Andy, beberapa teman lainnya sudah lebih dulu melihat kejadian seperti hari itu. Kejadian di mana Jamie terlihat berbicara sendiri, terkadang terlihat tertawa meledek dan terkadang terlihat sangat marah dengan seseorang, tetapi mereka tak menemukan siapa pun di sekitar Jamie. Tak hanya di kelas, tetapi laboratorium, toilet, kantin, koridor dan hampir semua tempat di sekolah. Jamie tak punya pilihan lain selain menyalahkan serangga. Dari sana mereka menganggap Jamie agak aneh. Mereka pikir Jamie memiliki kepribadian lain. Namun, walaupun begitu mereka masih berteman dengan Jamie karena di luar keanehan Jamie, ia teman yang menyenangkan. Tak berbeda dengan Leslie, teman dekat Jamie di sekolah. Dia selalu bersama dengan Jamie, jadi tak mungkin Leslie tak merasakan hal yang sama. Selain dirinya beberapa kali memergoki Jamie berbicara sendiri, dia merasa ada sesuatu yang lebih aneh lagi. Beberapa minggu belakangan, Leslie meli
Di saat si pemilik kemampuan supranatural sibuk menutupi kemampuannya, di tempat lain si penyihir sibuk pamer kekuatannya. Josh mengarahkan tangannya pada gelas di atas meja ruang keluarga. “Naik!” perintahnya dan gelas itu pun terangkat. Ia melirik ke arah Mike yang berada di sebelahnya, kemudian Josh menyeringai. Ia lanjut menggerakkan tangannya sampai gelas yang berada di atas meja terjangkau olehnya. “Apa kau masih belum bisa melakukannya, Mike?” tanya Josh meledek Mike. Joshua Christian Keith, seorang remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun. Dia sangat tinggi dan kurus. Rambutnya lurus berwarna cokelat dengan belahan samping. Wajahnya sedikit lebih kecil dari ukuran remaja seusianya, ditambah rahang tegas dan kulit agak kecoklatan membuat Josh—panggilan Joshua, terlihat
Josh berusaha menenangkan Mike, adiknya. Sedangkan William hanya bisa menghela nafas. “Ayolah, Mike. Anggap saja ini liburan,” hibur Josh. “Terserah,” jawab Mike mengakhiri makan malamnya. Dia bangkit dari kursi dan berderap menuju kamarnya. Dulu Josh juga seperti Mike sering merajuk karena selalu berpindah-pindah dan sekolah di rumah, tetapi sekarang ia memilih mendukung apa pun keputusan William karena semua yang William lakukan demi melindungi keluarganya. Josh sudah mengetahui apa yang belum Mike ketahui. Sebulan setelah keluarga Keith pindah dari Los Angeles ke Atlanta. William mengajak Josh berbicara berdua dengannya. Dia memberitahu Josh alasan mereka berpindah-pindah karena ada yang memburu keluarganya bahkan sejak ratusan tahun lalu. Para pemburu itu adalah si penghisap darah, vampire. Namun, William tak mengetahui alasan para vampire jahat itu memburu mereka. Dulu, demi melindungi keluarganya
Baik William, maupun Julia tak menjawab Mike. “Kalian berdua tidurlah, besok kita belanja makanan pokok,” pinta William pada Josh dan Mike. Julia menuju ke kulkas dan membuka pintunya. “Aku sudah belanja untuk kalian.” Josh, Mike dan William hanya memelotot melihat kulkas mereka yang penuh dengan makanan pokok. Daging, Ikan, Ayam, Telur, Susu, Sayuran dan semua kebutuhan perut mereka sudah ada di sana. “Ah, satu yang belum ada. Cemilan. Aku akan belanja … sendiri.” Josh menyeringai sembari menadahkan tangannya—meminta kartu debit William. William memutar bola mata, sedikit menggeleng—tak habis pikir, sambil mengeluarkan kartu debit dari dalam dompetnya. “Dasar anak-anak.” William melirik pada Julia dan Julia hanya terkekeh. Josh hendak membantah William yang menyebutnya anak-anak, tetapi Mike lebih dulu berbicara. “Jadi? Tak ada yang akan menjawabku?” tanya Mike sebal. “Hah?” Josh, William dan Julia tercengang s