Sligo, Irlandia. Tahun 1661. “Hai, namaku Nicholas James Carran. Panggil saja, Nick.” Layla hanya memandang tangan besar dari laki-laki yang berdiri di hadapannya. Dia tak segera menyambut tangan tersebut, membuat Nick melihat ke arah tangannya kemudian menyeka pada kaos yang dia kenakan untuk bermain bola. Melihat sikap Nick, Layla segera mengulurkan tangannya. “Layla Miriam Duane. Panggil aku, Layla.” Nick tersenyum. Senyum manis dari wajahnya tampan yang selalu diam-diam Layla perhatikan dari jauh selama lima tahun itu. Dia memiliki wajah kecil dan mata biru keabuan yang sangat indah. Rambut pirang keemasan Nick selalu tampak berkilauan ketika berlari di lapangan kala sinar matahari menyinarinya. Ya, benar. Selama lima tahun, Layla hanya dapat memandang dari kejauhan ketika Nick berada di lapangan dan bermain bola. Dan hari itu, Nick lebih dulu menghampiri Layla, menyapa bahkan memperkenalkan dirinya. Hari itu Layla
Toronto, Kanada. Lebih dari tiga ratus tahun kemudian. “Pencuri!!” Teriak seorang laki-laki muda. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Seorang pencuri di pagi hari. Pencuri itu hanya diam saat Josh meneriaki dari belakangnya, membuat ia semakin geram. “Sekuriti! Sekuriti! Ada pencuri di sini!!!” Mendengar teriakan dari belakangnya, seorang perempuan yang menggunakan hoodie abu-abu pun berbalik. Ia hanya menemukan seorang laki-laki yang sedang menatapnyaa dengan tajam. Ia nampak kebingungan, mulai menoleh ke kanan kiri dan tak menemukan orang lain di sana. Hanya dirinya dan laki-laki yang barusan berteriak memanggil petugas keamanan—Josh. Petugas keamanan akhirnya tiba, si laki-laki tadi tanpa ragu mengangkat telunjuknya, mengarah pada sosok perempuan yang berdiri di hadapannya—Jamie. “Dia pencurinya, Sir.” "Hah? Aku pencuri? Apa-apaan!" Dalam h
Jamie baru saja kembali ke rumahnya. Ia terus menggerutu sepanjang pintu masuk sampai dapur tempat ibunya berada. “Dasar menyebalkan!” Anna, ibunya, yang berada di dapur dengan seorang pelayan, menaruh sebelah tangan di pinggulnya dan sebelah lagi terangkat menghadap ke atas—meminta penjelasan apa yang membuat putri satu-satunya jengkel. Jamie pun tanpa ragu menceritakan bagaimana dirinya berakhir di kantor polisi hanya karena sebungkus Miss Vickie’s Potato Chip. Ia pun semakin kesal, teringat karena kejadian itu ia tak dapat menikmati camilan kesukaannya. Jika kejadian itu terjadi pada anak lain, ibu anak tersebut pasti khawatir dan marah, bahkan menuntut Josh dengan pencemaran nama baik atau apa pun itu. Namun, Anna hanya tersenyum kecil, dia tahu dengan baik siapa putrinya. Jamie tak mungkin melakukan hal itu dan mendengar Jamie berbicara terus-menerus karena merasa sangat marah—diperlakukan tak adil, dia mengambil kesimpulan, Jamie baik-ba
Jamie berusaha tak melihat matanya. Ia hanya menatap Josh yang tanpa Josh tahu berada di sebelah roh jahat tersebut, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Jamie. Tentu saja, tak ada kata yang keluar di saat pandangan mata kentang menyeramkan itu melekat pada Jamie. Tenang Jamie, tenang … jangan memberinya kesempatan. Jamie menenangkan diri dalam pikirannya tanpa berucap. “Apa yang kau lakukan? Kau akan memukulku sekarang?” Josh terus memancing emosi Jamie. “Josh, hentikan!” Bibinya mencoba menengahi mereka berdua. Dia merasa ada yang aneh dengan tatapan Jamie. Jamie ingin memberitahu mereka berdua, tetapi lidahnya terasa kelu. Satu kesalahan dan kentang itu pasti masuk ke dalam tubuh salah satu dari mereka, tetapi sepertinya kentang menyeramkan itu telah mengunci targetnya. Mom, di mana kau berada? Aku tak bisa mengatasi ini. Berharap bisa memanggil Anna dalam pikirannya, tetapi ....
Flashback tiga tahun sebelumnya. Jamie Anne Mikell, seorang remaja dengan rambut hitam sebahu, sedikit bergelombang. Kulitnya putih cerah, tetapi hitam legam rambutnya membuat kulit Jamie terlihat agak pucat. Ia terlahir istimewa. Jamie memiliki kemampuan supranatural. Kemampuan yang berasal dari keluarga ibunya secara turun menurun kepada anak perempuan yang telah berusia lima belas tahun. Beruntung, satu-satunya anak dari keluarga Mikell seorang anak perempuan, Jamie. Anna, ibu Jamie, tak ingin Jamie terkejut saat waktunya tiba. Dia lebih dulu memberitahu Jamie dan menuturkan satu per satu kemampuan yang dimiliki anggota keluarga lainnya, termasuk dirinya yang dapat memanipulasi energi air. Kemampuan yang mereka miliki pun tak semuanya sama, tak pula berbeda. “… kemampuan Great-Granny membaca pikiran, sedangkan Granny dapat memindahkan benda tanpa menyentuhnya. Itu disebut telekinesis. Hebat, bukan?”
“Telur … telur … telur ….,” gumam Jamie seraya memejamkan matanya. Ia melihat sesosok makhluk gaib berdiri menatapnya dari pojok ruang baca dekat kamarnya. Jamie masih terus berlatih cara mengendalikan pikiran seperti yang Anna, ibunya, ajarkan padanya. Terkadang ia berhasil, terkadang belum berhasil. Jamie membuka matanya sedikit demi sedikit—hendak mengintip apa kali itu ia berhasil lagi. Namun, sayangnya tidak. “Arrrgghhh!!” Jamie memekik kencang. Suaranya dari lantai dua kediaman tersebut tiba di lantai dasar bahkan sampai keluar. Seketika pelayan dan penjaga keamanan di rumahnya terperanjat. Makhluk gaib yang ternyata hanya roh penasaran sudah berdiri di hadapannya persis. Menatap Jamie lekat-lekat. Jamie terbirit-birit menuju kamar orang tuanya yang telah ia lewati sebelumnya, tanpa mengetuk pintu, ia langsung menerobos masuk. Ia membelalak dan mulutnya menganga, tetapi segera ia tutup matanya rapat-rapat. Jamie b
Jamie lulus dari Sekolah Menengah Pertama W di Bentonville sejak akhir bulan Mei lalu. Ia dan Anna, ibunya, baru pindah ke Toronto pada awal bulan Juni lalu. Liam, ayahnya, yang telah lebih dulu pindah beberapa bulan sebelumnya mengurus pendaftaran sekolah Jamie di Toronto. Sekolah Menengah Atas The Y Toronto, tempat Jamie akan menempuh pendidikan selanjutnya. Dan sekolah akan di mulai awal bulan September. Dua minggu lagi. Jamie sudah lebih terbiasa dengan kemampuannya. Ia dapat keluar rumah dengan leluasa sembari melatih mengendalikan pikirannya di luar rumah. Musim panas pertama Jamie di Toronto. Ada energi baru di udara. Dari jalanan perumahan, pekarangan sampai taman umum membuat Jamie bersemangat dengan kota Toronto. Ia pergi dengan sepedanya ke area taman tak jauh dari kediamannya pada sore hari. “Wah, ini sungguh taman yang sangat bagus, Aku sangat menyukainya!!” ungkap Jamie ketika ia tiba di Taman Sir Winston Churchill. Ya, i
Dua hari berikutnya, Jamie sudah lebih dulu berada di taman sore itu. Ia duduk di tempat biasa dirinya dan Sophie berada. Sophie tak datangkah hari ini? Haruskah aku menghubunginya? Sudahlah, kutunggu saja. Jamie berdebat dengan pikirannya sendiri. Tak sabar ingin bertanya pada Sophie. Ia menunggu sembari memandang orang-orang yang berada di area taman. Tak berapa lama, Sophie pun tiba. Dia tersenyum saat melihat Jamie sudah duduk di kursi taman, hanyut dalam lamunannya. “Jamie, apa yang kau lamunkan?” “Ahh, tak ada, aku pikir kau tak datang hari ini,” ucap Jamie saat Sophie sudah duduk di sebelahnya. Jamie masih penasaran dan sedikit berharap. “Kau masih belum tanya orang tuamu di mana sekolahmu nanti, Sophie?” tanyanya. Sophie kembali mengangkat kedua bahunya, seakan tak peduli dengan sekolah selanjutnya. Jamie sedikit memiringkan kepalanya sembari mengerutkan dahi. Ia bingung karena sekolah akan dimulai, tet