Share

Bab 11: Payung yang Terlalu Sempit

Penulis: Reva Chazep
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-15 21:17:12

Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.

Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.

Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang.

"Raisa?"

Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam.

"Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"

Aku mengangguk t
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 15: Malam Tanpa Izin

    Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 14: Pesan Singkat, Nafas Panjang

    Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 13: Tubuh yang Merespons Dosa

    Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 12: Ciuman yang Menyesal Tapi Tak Mau Dilupakan

    Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 11: Payung yang Terlalu Sempit

    Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang."Raisa?"Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam."Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"Aku mengangguk t

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 10: Pintu yang Tak Pernah Dikunci

    Pagi itu terasa berbeda. Setiap helaan napas lebih berat, setiap detik mengalir lambat seperti madu. Aku berdiri di jendela dapur dengan cangkir kopi dingin, memandang rumah Aldo yang sepi. Tirai kamarnya masih tertutup rapat—seperti rahasia yang belum siap terbuka.Kemarin, saat tangannya menyentuh punggungku di taman, ada sesuatu yang berubah. Benang tipis mulai mengikat kami—halus tapi kuat, tak terlihat mata namun terasa di jiwa.Dimas sudah pergi sejak subuh dengan cium rutinitas yang tak berjiwa—seperti cap stempel di surat resmi. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir ia menciumku dengan sungguh-sungguh, mata terpejam dan tangan meremas pinggangku seperti tak ingin berpisah.Aku berjalan ke pintu belakang, tanganku terulur ke handle lalu berhenti. Biasanya selalu kukunci sebelum tidur—kebiasaan yang ditanamkan Dimas. Tapi tadi malam, entah kenapa, kubiarkan terbuka. Hanya grendel tipis yang mudah dibuka dari luar.Udara pagi menyapa dengan semilir angin membawa aroma tanah basah d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status