“Terima kasih, ya.”
Senyum manis Sena terukir sangat indah. Wajahnya yang putih walau tanpa balutan make up mempesona Adit kembali. Ia tak menyangka bisa melihat senyum ramah Sena lagi. Ia sudah menyerah saat memunggungi Sena di pertemua terakhir ketika SMA. Walau tahu jika salah, keegoisannya masih tetap dipertahankan hari itu.
“Sa-ma-sama.” Tergagap Adit menjawab.
Ia merasa amat canggung duduk di samping tempat tidur rumah sakit dan kemudian mengobrol. Di sofa belakang, Mama Sena dan Raina memperhatikan gerak-gerik mereka.
“Nama kamu Adit, kan? Kata Mama aku mengalami amnesia karena benturan di kepala. Seharusnya aku sudah lulus tahun lalu. Maaf, karena malah manggil kamu kemari.” Sena begitu lancar bicara dengan Adit.
Padahal pada acara reuni kemarin dan pagi tadi saat bertemu Reno, memandang wajah Adit saja ia muak.
“Nggak apa-apa.”
“Apa hubungan kita baik selama di SMA?”
Sena tersenyum manis sekali. Jantung Reno jungkir balik karena itu. Ia baru mencapai pintu masuk dan tak berani lagi melangkah lebih jauh.“Kenapa hanya berdiri di sana? Silakan masuk,” panggil Sena sambil melambai menggunakan tangannya yang bebas.Reno melirik Adit lebih dulu. Dilihatnya Adit mengangkat bahu dan tersenyum, tanda ia sama sekali tidak keberatan. Pemuda sahabatnya itu mundur, memilih menjatuhkan bokongnya di atas kursi sofa empuk tak jauh dari ranjang Sena.“Kita pernah sekelas?”Reno melongo. Adit memang sudah menjelaskan kalau Sena mengalami amnesia. Akan tetapi, ia sama sekali tak menyangka gadis cantik ini juga lupa tentangnya.“Kita sekelas pas kelas dua. Apa kabar?” tanya Reno setelah memberitahu yang sebenarnya. Ia lalu memperhatikan buah-buahan yang dibaw, tetapi belum diserahkan.“Sudah lebih baik.” Sena terdengar riang kini.Tidak seperti saat bertemu dengan Reno
Adit ingin sekali menanyakan pada Reno apa yang terjadi kemarin. Namun, lidahnya kelu. Seolah tumbuh sebuah tulang di dalam sana, membuatnya berhenti berucap.Reno juga sepertinya tidak ingin membicarakan soal kemarin. Sebab baru saja turun dari motornya di parkiran kampus MIPA dan bertemu dengan Adit, Reno langsung bertanya tentang pelaku perempuan yang mendorong Sena.“Aku rasa dia sudah ada di kampus sekarang.”Reno mengangguk dan mulai berjalan mendahului Adit. Ia bersemangat sekali untuk menangkap basah perempuan yang dilihat Adit sudah melakukan kejahatan pada Sena.“Kamu ingat namanya?”“Tidak, aku tidak tahu nama gadis itu. Aku hanya tahu dia satu jurusan denganku dan merupakan senior di sini.”Reno berhenti sebentar. “Artinya dia merasa punya kuasa melakukan hal seperti itu pada junior?”Adit terdiam sebentar lalu berpikir. “Aku tidak berpikir begitu.”Reno me
“Kamu menyukai makanan di restoran ini?” Reno duduk di depan Endah.Gadis tersebut berhenti mengunyah dan mengangguk sambil tersenyum, berusaha tampak manis.Namun, Reno melihatnya sebagai sesuatu yang memuakkan. Jika bukan karena harus mendapatkan kesaksian Endah untuk kasus Sena, ia tak akan mau beramah-tamah dengan orang di depannya.“Syukurlah.” Reno mengambil gelas berisi kopi hitam buatannya.Pelan-pelan disesapnya cairan hitam agak pekat yang sama sekali tak dicampur dengan pemanis tersebut. Untuk pecinta kopi sepertinya, cairan hitam tanpa pemanis ini masih menyisakan rasa nikmat luar biasa di lidahnya.“Jadi, kenapa kamu datang sendirian? Bukannya kamu bilang akan datang dengan seorang teman?” Reno mulai bertanya, berusaha bersikap bahwa mereka berteman.Wajah Endah yang sejak tadi datang penuh senyuman berubah. Reno tidak bisa mendeskripsikan keadaan itu. Ada ketidaksukaan juga kekecewaan di sana
Adit mengusap wajahnya dengan kasar. Ia mondar-mandir selama beberapa saat sebelum duduk lagi di depan Reno.“Kamu harusnya tidak mengatakan itu pada Endah!” seru Adit berang.Reno sama sekali tak bereaksi. Ia duduk tenang sambil memandangi wajah Adit yang telah berubah warna menjadi merah padam.“Kenapa diam saja? Katakan sesuatu!” Kali ini Adit merangsek maju, memegang kerah baju Reno.Jika masih tak ada penjelasan terkait kejadian yang tidak menguntungkan ini, maka Adit tak akan segan-segan melayangkan tinju.Reno melepaskan kedua tangan Adit yang mengenggam keras kerah bajunya. “Lalu aku harus jadi penipu sepertimu?”Reno menatap tajam, tepat ke pupil Adit. Ia sama sekali tak berkedip selama beberapa saat. Napasnya juga teratur, tidak ada emosi dalam pembawaannya.“Apa maksudmu?” Suara Adit yang tadi meninggi kini lemah.Ia merasa tertampar di tempat yang seharusnya. Adit menj
“Kenapa Monik membenciku?”Reno mendapat pertanyaan itu saat hanya berdua dengan Sena.Hari ini tiba-tiba saja Sena mendatangi kafenya diantar Pak Sarmin. Rayna telah pergi ke lokasi pemotretan dan mulai bersiap dan meminta Sena untuk makan terlebih dahulu. Ia merasa mendapatkan kesempatan untuk bertanya pada lelaki yang mengaku teman saat SMA—Reno.Reno yang mendapatkan pertanyaan seperti hanya diam. Ia memperhatikan Sena, menilai apa yang sebenarnya diinginkan Sena dari pertanyaan tersebut. Namun, Reno tidak bisa menduga apa yang ada di dalam pikiran Sena.“Aku tidak tahu.”“Aku tidak pernah menganggunya. Aku tidak pernah berusaha menarik perhatian yang dia inginkan.” Sena berhenti bicara sebentar, matanya memperhatikan interior kafe. “Mungkin—aku tidak pernah mencari masalah dengannya.”Reno tersenyum. Ia membiarkan pelayan kafe meletakan minuman dan pesanan Sena terlebih dahulu
“Kamu mau membantuku, kan?” tanya Sena dengan mata berbinar cantik. Reno yang sedang memasukan laporan keuangan kafe hari ini ke dalam komputer tercenung seketika, tak menyangka diminta demikian, dan kehilngan fokus. Ia melirik para pelangan yang menikmati makan di meja mereka. Berharap salah satu dari para pelangan itu kemudian berdiri dan membayar pesana, sehingga untuk beberapa lama ia tak perlu berpikir. “Kenapa wajahmu begitu? Kamu terganggu ya?” Wajah Sena berubah menjadi sendu. Reno menjadi panik. Ia langsung berdiri dari kursi putar di belakang meja kasir dan memaksakan diri tersenyum. “Tidak, bukan begitu.” Matanya lalu dengan liar mencari alasan. “Aku belum makan siang, jadi … maaf.” Reno membuang napas pasrah. Sena lalu tersenyum lebar. Ia lalu melirik papan menu di bagian pemesanan. “Ayo makan siang bareng. Hari ini aku libur pemotretan dan juga syuting,” katanya sambil berjalan ke bagian pemesanan. Reno melambai memanggil seorang
Dengan keengganan yang luar biasa, Reno menyiapkan acara makan malam yang diminta Sena. Kesal, jelas. Cemburu, sangat dirasakannya kini. Hatinya seperti terbakar sesuatu. Udara yang keluar dari air conditionair terasa begitu panas. Berkali-kali ia menegak minuman dingin untuk menetralkan suhu tubuhnya. “Kamu baik-baik saja, Ren?” Sena sejak tadi memperhatikan kebiasaan Reno itu. Ia menjadi curiga jika temannya tersebut sedang dalam kondisi tidak baik. “Kamu sakit?” tanya Sena mulai khawatir. Wajah Sena terlihat sangat menyesal. Jika benar Reno sakit saat ini dan masih tetap memaksakan diri menyiapkan keinginan Sena, pastilah pemuda itu sangat baik. Begitu anggapan yang tercipta di dalam pikiran Sena. Reno rupanya masih beslum mendengar pertanyaan yang diajukan Sena. Maka gadis cantik yang kini menyanggul rambut panjangnya itu kembali mengulangi pertanyaan yang dilontarkan tadi. “Reno, kamu sakit?” Reno akhirnya menoleh. Selama
Cukup lama Adit mondar-mandir di depan pintu rumah. Menimbang-nimbang untuk kembali ke restoran milik Reno, masuk, lalu melayangkan pukulan. Hal yang sempat terlintas di pikirannya tadi, sebelum memutuskan melarikan diri. Dengan gusar Adit menendang kaki kursi yang tertata di teras. Kursi bergeser sedikit dan ia mengalami sakit. Ia melompat dan menjatuhkan diri di kursi, mengusap ujung ibu jari yang tertutup sepatu dan mengumpat beberapa kali. “Kamu kenapa?” Seorang wanita paruh baya menghampiri Adit. Wanita yang tak lain ada maminya itu melihat wajah sang anak yang basah oleh keringat. Dahinya mengernyit. Ia mengelus punggung Adit saat melewati dan duduk di kursi lain yang ada di teras. Mami—Dena—terlihat pucat. Di lehernya terkalung syal berwarna abu-abu. Rambutnya yang panjang disanggul tinggi. Beberapa anak lambut keluar dari ikatannya, memberontak. Mata Dena sayu, memandang putranya. “Kamu kenapa?” tanya Dena sekali lagi. Bukannya menjawa