Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.
Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.
“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.
Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.
“Sombong.”
Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
Sena mengguap, ia pulang pagi lagi tadi. Syuting benar-benar memakan waktunya seharian. Ia bahkan tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri--bahkan untuk gosok gigi seorang asisten menunggu di depan pintu kamar mandi. "Mbak Sena!" Sena menghembuskan napas kasar. Baru saja ia berpikir, asisten yang diperkejakan Mama sudah memanggil di luar pintu kamar. Ingin Sena diam saja, berpura-pura tak mendengar. Namun, kasus terakhir kali membuat nyalinya ciut. "Ya!" serunya. Ia masih ingin menarik selimut dan kembali melanjutkan tidur. "Mbak, inget jadwal hari ini, kan?" tanya asistennya--Rayna namanya. Sena memutar kembali ingatannya. Tadi malam saat makan, Rayna sudah membacakan jadwal untuk hari ini. Ia hanya ingat jadwal pemotretan jam tiga sore nanti, selebihnya suara Rayna mengambang tak tentu arah. Malas, Sena beringsut pelan menuju tepi ranjang. Langkahnya terasa begitu berat saat turun dari ranjang dan mendekati pintu. Ia ingin berteriak, 'biarkan aku sendiri saja hari ini.' Akan t
Aditya terpana. Anak-anak mulai lagi, gumamnya dalam hati sambil geleng-geleng kepala. Walau ia mengeluh dengan kelakuan teman-temannya yang gesreknya minta ampun, tetapi sama sekali tak berniat menolong. Santai, pemuda bekulit hitam manis itu melengang di samping kumpulan murid lelaki dan perempuan yang tengah menjadikan seorang gadis menjadi olok-olokan. Ia bahkan sempat melakukan high-five sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas lalu duduk manis di kursinya. Teriak-teriakan keras dan juga hinaan sampai juga ke telinganya. Sekali lagi, Aditya hanya melirik sedikit dan kemudian memasang headseat untuk menghentikan suara yang sama tertangkap telinganya lagi. Bruk! Aditya tersentak kaget. Matanya yang sedari tadi terpejam, kini terbuka lebar. Ia melotot memandang gadis yang tadi menjadi bulan-bulannya di depan kelas. Bukan karena niat membantu, apalagi memberikan sedikit rasa prihatin melalui tatapan mata. Hal tersebut dilakukan karena headseatnya yang tadinya terpasang, kini lepas. S
Reno mempersilakan Sena duduk. Meja yang terletak di depan dekat panggung. Setelah itu ditinggalkan Sena begitu saja, ia lalu mendekati Aditya. “Kamu nggak mau ngobrol, Dit?” Aditya menyesap cappucino lagi dan melirik ke arah meja. Walau sedikit ia masih bisa melihat wajah Sena. Gadis itu semakin cantik saja. Pertemuan terakhir mereka setahun lalu, tepat pada hari kelulusan. Hari itu Sena menangis, terluka karena sikap teman-temannya dan Adit. Andai saja Adit ikut menangis dan bukannya tertawa, hubungannya dengan Sena saat ini mungkin tak buruk. Mungkin ia bisa seperti Reno, disambut dengan senyuman dan rona merah jambu di pipi. “Cobalah mulai, Adit. Mungkin saja Sena telah lupa.” Aditya membiarkan Reno pergi ke balik meja, menyiapkan minuman. Barulah ia bisa mendesah dan memejamkan mata. Jika Reno tahu apa yang sudah diperbuat Adit pada Sena, maka temannya itu pasti membencinya. Adit melirik lagi. Mata Sena kini sedang berbinar memandang punggung Reno. Ada kebahagian yang terpan
Sena tidak buruk. Ia memiliki tinggi 165 centimeter, tubuh yang langsing, wajah bulat telur, hidung mancung, bibir tipis, rambut ikal bergelombang, mata yang jenih, serta berkulit putih. Ia adalah boneka cantik. Namun, entah kenapa ia selalu menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya sejak SMA. Ia tak tahu persis kesalahan apa yang sudah diperbuat. Sebab begitu naik ke kelas dua, semuanya menjadi mimpi buruk. "Sena!" Teriakan itu yang pertama kali didengar saat memasuki halaman sekolah pada awal tahun pelajaran. Sena tersenyum. Sebab sebagai teman, ia merasa perlu bersikap demikian. Namun, ketika ia diapit dan di seret menuju samping sekolah, senyumnya menghilang. Pikirannya mulai berisi dugaan apa yang akan terjadi. Juga memikirkan berbagai alasan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Seember air berpindah dari wadahnya, membasahi tubuh sena. Seluruh seragamnya basah, begitu pun dengan buku-buku di dalam tasnya. "Kamu tahu apa yang se
Apa kabar? Pesan dari nomor Reno membuat Sena langsung berdiri dari duduknya siang itu. Ia sama sekali tak menyangka jika Pemuda tersebut akan membalas pesannya. Pesan pertama yang dikirimkan Senas ama sekali tidak digubris. Pesan kedua juga begitu. Karena itu Sena malas berharap. Mungkin Reno terlalu sibuk mengurus kuliah dan restorannya dalam waktu bersamaan. Atau Reno menganggap pesan dari Senas ama sekali tidak penting. Baik. Pesan balasan dari Sena singkat, tetapi dilengkapi emoticon senyum. Namun, pada akhirnya Sena menyesali pemberian emoticon karena dianggap terlalu berlebihan. Ia kemudian menunggu balasan selanjutnya dengan tak sabar. Sayang sekali, sampai Sena dipanggil untuk pengambilan gambar selanjutnya untuk drama televisi yang dibintangi, pesan yang ditunggu tak pernah sampai. Karena hal tersebut mungkin, Sena melakukan kesalahan beberapa kali dalam pengamb
Perlombaan antar sekolah ini diadakan setiap tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, semua sekolah selalu menyiapkan bahan-bahan terbaru dan ide-ide baru. Tahun lalu sekolah Sena dan Adit hanya mendapatkan juara dua saja, padahal sebelumnya mereka mendapatkan peringkat pertama.Karena itu, tahun ini Adit dan timnya menyiapkan semuanya dengan hati-hati. Mereka tidak mau ide mereka sampai bocor dan kemudian ditiru oleh sekolah lain.“Bisa jadi masalah jika benar Sena memberitahukan ide kita tanpa sadar.”Adit berpangku tangan di kursi sebelah kanan. Teman-temannya yang rata-rata dari kelas berbeda mengelilingi meja panjang tempat banyak kertas dan modul fotokopian berserakan.“Sena kan sudah bilang kalau orang itu sudah selesai dengan karyanya lebih dulu dari kita, nggak usah khawatir.” Reno akhirnya angkat bicara.Ia merasa heran pada Adit yang terlalu terobsesi dengan perlombaan, sampai berpikiran buruk terhadap