Share

3. Mencari Jejak

Malam ini aku menunggu Mas Juna terlelap terlebih dahulu, tentu saja aku aku melakukannya agar mendapat kesempatan untuk bisa mencari jejak akan kebusukan apa yang telah ia lakukan di belakangku sebenarnya.

Setelah memastikan Mas Juna tertidur, pelan-pelan kuambil gawai dari genggamannya. Beruntung, gawainya masih dalam keadaan nyala dan tak terkunci, karena Mas Juna tertidur saat sedang bermain game.

Gegas saja aku mengecek aplikasi berwarna hijau bergambar telepon. Mencari apakah ada hal yang mencurigakan di dalamnya.

Namun, sangat aneh, di aplikasi tersebut sama sekali tak ada riwayat percakapan tersimpan. Hanya ada satu percakapan denganku dan percakapan dari grup yang itu pun isinya kosong semua, rupanya ia rutin menghapus semua percakapan di ponselnya tersebut.

Tak habis akal aku pub mencoba mencari lagi di aplikasi yang lain, kubuka aplikasi bergambar biru di mana orang-orang selalu berbagi kabar berita. Kubuka bagian pesan, hanya ada beberapa percakapan dari beberapa bulan yang lalu. Nampaknya aplikasi ini sudah sangat jarang dibuka olehnya.

Masih penasaran aku lanjut lagi membuka beberapa aplikasi lainnya, dari mulai aplikasi untuk berbagi gambar, aplikasi berbagi video yang sekarang sedang digandrungi, sampai kotak pesan masuk dan keluarnya pun kuperiksa.

Dan hasilnya nihil, sama sekali tak kutemukan satu pun hal yang mencurigakan. Kecuali bagian di mana ia menghapus semua riwayat percakapan di aplikasi berwarna hijau bergambar telepon itu dan juga ada beberapa panggilan masuk dari satu nomor yang tak diberi nama oleh Mas Juna dan nomor asing ini cukup sering menelepon, dalam sebulan ini sudah 12 kali dengan durasi 2 sampai 5 menit.

Hah ..., cukup pintar nampaknya Mas Juna menyembunyikan jejaknya. Apa ia tahu bahwa aku akan menyelidikinya sehingga ia menghapus semua hal yang mencurigakan di gawainya?

Tak mendapat hasil yang cukup berarti, kembali kusimpan gawai suamiku di samping tempat tidur. Lalu kupandangi wajah lelaki yang baru sekitar 14 bulan menjadi suamiku itu. Wajahnya ganteng dan menarik tentu saja, itulah salah satu alasan kenapa bisa ia bekerja sebagai teller di bank.

Dan apakah karena kegantengannya ini juga yang menjadi perusak rumah tanggaku? Padahal jelas Mas Juna yang begitu gigih ingin menjadikanku sebagai istri sebelumnya.

Mas Juna adalah kakak kelasku waktu SMA. Memang ia selalu menggangguku sejak SMA. Kadang ia menarik rambutku yang dikuncir ekor kuda, kadang ia juga mengacak-acak isi tasku, pernah juga ia menghalangi jalanku ketika aku lewat di depannya sampai aku jatuh bersujud di depannya dan juga teman-temannya. Lalu ia berlalu begitu saja seolah tak bersalah.

Aku benar-benar membencinya kala itu.

Ada yang bilang Mas Juna menyukaiku, makanya ia selalu menggangguku. Mencari perhatianku. Waktu itu aku tak percaya, karena Mas Juna selalu saja membuat aku ingin menangis karena ulahnya. Toh buktinya, sampai ia lulus SMA Ia hanya terus mengangguku.

Anehnya memang hanya aku saja yang diganggunya. Tak pernah kudengar ia mengganggu siswa lainnya.

Lalu siapa sangka, setelah aku lulus dan bekerja Mas Juna mencariku lagi. Dengan seragam Bank, dan motor gedenya Ia datang ketempatku bekerja. Mau menjemputku katanya. Padahal aku sama sekali tak meminta dijemput.

Mas Juna selalu memaksa agar aku ikut dengannya dan mengantar aku sampai depan rumah. Sesekali ia mengajak untuk sekedar makan bakso di dekat rumah.

Tak lama ia bilang ingin menikah denganku. Sungguh aku sangat bingung dibuatnya, jika memang dia menyukaiku kenapa dari dulu sikapnya selalu seenaknya padaku. Tentu saja aku menolaknya. Tapi ia sangat gigih, sampai datang langsung memintaku pada Bapak.

"Aku akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkanmu l, Aruni!" ucapnya kala itu menunjukan kesungguhannya.

Sungguh betapa aku ingin menolaknya, karena sama sekali tak ada perasaan untuknya. Yang ada hanyalah segala rasa sakit hati yang dibuatnya semenjak SMA.

Pun saat setelah bekerja, ia tetap menjadi seorang yang seenaknya padaku seolah memilikiku. Sekehendak hatinya datang menjemputku kapan pun ia mau. Padahal tak ada ikatan apa pun di antara kami saat itu.

Pernah suatu waktu aku sudah janji dengan teman-teman untuk menengok salah satu teman yang sakit. Tiba-tiba Mas Juna datang tanpa pemberitahuan untuk menjemputku.

"Mas, maaf, aku mau menjenguk temanku yang sakit. Aku gak bisa pulang sama Mas Juna." Kataku lembut agar ia tak merasa tersinggung. Namun, apa yang terjadi, ia tetap memaksaku untuk ikut dengannya.

"Temanmu itu sudah banyak kan yang menjenguk, kalo kamu gak jenguk juga gak apa-apa!Aku jarang-jarang datang menjemputmu. Hargai aku dong, pulang kerja capek dan masih menjemputmu pula!" ujarnya kala itu.

"Tapi Mas, aku sudah janji. Mas juga tanpa pemberitahuan datang kesini. Jadi aku mohon sekali ini saja, aku ingin ikut dengan teman-temanku!"

"Kan bisa besok lagi menjenguknya, sedang aku datang menjemputmu tidak setiap hari. Sudah, pokoknya cepat naik!" Ia menarik lenganku kasar. Dan menyuruhku naik ke motor gedenya. Sepanjang jalan aku hanya bisa menitikan air mata atas perbuatannya.

Lalu akhirnya aku pun harus luluh menerima pinangannya. Karena kegigihannya itu Bapak meyakinkanku bahwa Mas Juna adalah lelaki yang baik untukku. Bapak bilang Mas Juna kerjanya sudah mapan ia akan mengubah hidupku yang selalu berada dalam kekurangan ini.

Tidak seperti Kakaku yang menikah dengan temannya yang hanya sebagai pedagang keliling. Hidupnya tak banyak berubah memang bersama suaminya. Tapi aku lihat Kak Dini, kakakku, begitu bahagia.

Akhirnya demi membuat Bapak tenang melepas anak bungsunya, berbekal istikharoh, aku mantap menerima pinangan Mas Juna. Mungkin dengan begini Bapak bisa lebih tenang menjalani hari-hari tuanya.

Aku hanyalah berasal dari sebuah keluarga sederhana. Aku memiliki seorang kakak Perempuan yang juga baru saja melangsungkan pernikahan.

Bapakku hanya seorang mantan guru honorer. Gajinya tidak seberapa. Hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari.

Sedang ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Dulu untuk membantu Bapak mencari tambahan ibu berjualan kue-kue basah, atau masakan jadi dan ibu menjajakan dagangannnya berkeliling dari rumah ke rumah.

Namun, Ibu meninggal 3 tahun lalu karena penyakit kanker payudara yang dideritanya.

Bapak pernah bercerita bahwa Ibu adalah orang yang luar biasa, karena Ia berani meninggalkan kemewahan keluarganya untuk memperjuangkan cintanya kepada Bapak, ia pun rela tinggal di gubuk kecil di kampung kami ini dan menjadi seorang istri dari guru honor biasa

Kata Bapak lagi orang tua Ibu, atau Kakek dan Nenekku adalah seorang juragan kaya di pulau seberang sana. Hartanya banyak sampai tak terhitung. Tapi ibu memilih tetap bersama Bapak hidup dalam kekurangan tapi bahagia karena tinggal bersama yang dicintai.

Betapa indah kisah cinta Ibu dan Bapak, memang hanya kasih sayang yang terpancar di mata mereka setiap harinya. Tak pernah aku mendengar Ibu mengeluhkan kehidupan yang keras pada Bapak. Ia hanya terus memotivasi kami agar menjadi orang yang baik.

Sebenarnya aku ingin menikah dengan lelaki yang benar-benar aku cintai. Namun memang tak ada satu pun pria yang benar-benar menarik hatiku. Dan lelaki yang dekat denganku hanyalah Mas Juna.

Orang bilang, alah cinta karena biasa. Nanti kalo sudah menikah pasti aku akan dapat mencintai Mas Juna. Setidaknya harapan itu yang membuatku tidak merasa seperti perempuan matre yang menerima Mas Juna hanya karena pertimbangan pekerjaannya yang sudah mapan saja.

Awal menikah, Mas Juna amat manis. Ia benar-benar menunjukan bahwa Ia amat mencintaiku.

"Aku memang suka sama kamu dari sejak SMA Dek, " katanya suatu sore saat kami bersantai berdua.

"Masa sih, Mas? Tapi kok Mas jahat banget sama aku waktu SMA?" tanyaku meminta penjelasan akan sikapnya dahulu.

Ia menggaruk kepalanya tak gatal. Salah tingkah.

"Haha ... Mas jahat ya waktu itu? Mas hanya bingung, Dek, harus gimana nahan perasaan deg-degan tiap liat kamu," ucapnya malu-malu.

Ia makin mengeratkan pelukannya dan mencium pucuk kening kepalaku.

Rasanya nyaman.

Perlahan tapi pasti aku pn mulai jatuh cinta dan menyayangi Mas Juna seiring dengan sikap manisnya setiap hari padaku. Walau kadang dia masih suka mengatur-ngaturku seenaknya.

"Kenapa Mas Juna suka sama aku?" Tanyaku lagi penasaran, apa yang membuatnya menyukai seorang Aruni dari SMA sampai kini.

"Haha ... gatau, Dek. Mas juga gak ngerti kenapa bisa suka sama kamu. Padahal kamu tuh gak cantik. Kecil mungil kayak cacing, tapi kok Mas gak bisa lupa sama kamu. Kepikiran terus!" jawabnya, sambil mentertawakanku. Aku tak terima disebut seperti cacing, kucubit perutnya, dan ia tertawa kegelian.

"Masa aku kayak cacing toh Mas, tega bener ngatain istrinya kayak cacing." Aku masih menyerangnya dengan cubitan-cubitan.

Lalu Ia menahan tanganku untuk menghentikan seranganku. Ia kini memelukku dengan kuncian. "Aruni sayang, kamu itu satu-satunya wanita yang pernah ada di hatiku, cinta pertamaku, kamu itu lucu, gemesin, cantik kalo gak lagi cemberut. Makanya jangan cemberut terus yaaa...." kini Ia mencubit pipiku sampai aku kesakitan dibuatnya.

Kuakui memang Mas Juna suami yang baik. Ia cukup perhatian padaku. Sering mengajakku untuk sekedar berjalan-jalan keluar rumah dan sering membawakan makanan saat pulang kerja.

Ia juga anak yang baik, terbukti betapa ia begitu dekat dan sayang kepada kedua orang tuanya.

Semuanya nyaris sempurna, aku bahagia menjadi istrinya. Sampai akhirnya aku sadar aku telah dicuranginya.

Kasus penggelapan uang itu menjadi pembuka semuanya. Uang bulanan yang hanya secukupnya yang aku terima, uang tabungannya yang mungkin tak pernah ada, dan juga uang 50 juta yang ia ambil dari tempatnya bekerja.

Entah siapa yang menikmati semua uang itu. Aku berharap suatu saat semuanya akan terbuka bagaimanapun caranya.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status