Share

4. Terpaksa Bekerja

Author: Shinta wira
last update Last Updated: 2022-11-26 11:44:38

Sudah lebih dari sebulan Mas Juna menganggur. Ini akhir bulan, biasanya Mas Juna sudah gajian dan memberikan uang untuk jatah bulananku yang hanya dua juta rupiah untuk semuanya itu.

Ah ... mengingat itu aku merasa bodoh sendiri karena menerima begitu saja diberi uang dua juta dan mau saja menomboki dengan tabungan sendiri.

"Aruni, aku lapar! Tolong bikinkan mie rebus ya!" pintanya, sambil sedikit pun tak memalingkan matanya dari gawai di genggamannya itu.

Aku hanya bisa menarik nafas panjang melihat tingkahnya itu. Jam saat ini masih menunjukan pukul 10 pagi. Sedang jam delapan tadi baru saja Mas Juna menghabiskan sarapan nasi gorengnya dan sekarang ia sudah minta makan lagi.

Tidak bekerjanya Mas Juna malah membuat pengeluaran membengkak karena sebentar-sebentar ia teriak lapar dan meminta ini dan itu. Belum lagi kuota internetnya yang juga ikut membengkak saja.

Uang tabunganku yang tersisa yang awalnya kukira cukup untuk dua bulan kedepan malah hanya cukup satu bulan saja.

Kulihat stok mie di rumah sudah habis, tak ada sama sekali. Berarti aku harus membelinya di warung Mba Dar, tapi uang yang tersisa sudah sangat menipis.

"Mas, mie nya habis!"

"Ya beli lah Dek," jawabnya sambil masih terus fokus pada gawainya.

"Uangnya juga habis," ucapku lagi, sambil memasang wajah cemberut.

"Ya sudah, gak jadi aja mie nya!" Mas Juna pun berlalu dengan muka datar, meninggalkanku, dan kembali masuk kamar. Pasti Ia rebahan lagi disana.

Sebenarnya aku sudah sangat kesal akan kondisi ini karena sama sekali tak kulihat Mas Juna berusaha mendapatkan pekerjaan. Sering aku tanya kapan ia akan mencari kerja. Tapi atanya Ia masih ingin beristirahat dulu dari rutinitas kerjaan.

Kalo begini terus bagaimana kita bisa bertahan hidup, Mas?

....

"Mas, besok aku mau kerja!" terangku, sepulang dari rumah Andin, yang mana adalah sahabatku.

Seperti biasa, Mas Juna lagi asyik dengan gawainya, hanya posisinya saja yang berpindah, kadang di kamar, di ruang TV kadang di ruang tamu. Tapi tak pernah sedikitpun Ia menginjakan kaki keluar rumah, bahkan sekedar untuk menghirup udara segar pun tak pernah. Sekalinya keluar rumah itu pun hanya mau malam-malam saja.

"Ya, aku izinkan!" ucapnya tanpa ada respon lainnya lagi. Bahkan ia tidak bertanya di mana dan kerjaan apa yang akan aku lakoni.

Padahal dulu sebelum menikah Mas Juna melarangku bekerja. Dengan terpaksa, tepat sebelum menikah aku harus resign dan rela meninggalkan pekerjaan yang sudah 4 tahun kujalani.

"Mas pengen kamu dirumah saja setelah menikah nanti. Aku gak mau istriku dianggap susah sampai harus bekerja. Istriku adalah ratu, Istriku harus tinggal dirumah menyambutku pulang kerja saja." ucapnya kala itu saat memintaku resign.

Tentu aku tak bisa mengelak perkataan Mas Juna. Apa yang ia katakan, itu adalah yang harus aku lakukan pikirku waktu itu. Lagi pula aku juga berharap akan segera hamil setelah menikah.

Namun ternyata perihal anak memang belum menjadi rejeki kami, sudah setahun lebih pernihakan dan belum ada tanda-tanda kehamilan. Pernah aku mencoba memeriksakan diri ke dokter kandungan, hasilnua semua normal katanya, hanya saja memang kami harus lebih bersabar lagi.

"Mas kapan mau kerja?" Lagi kutanyakan hal ini. Biar saja dia bosan. Karena jujur saja aku pun bosan mengingatkannya terus.

Mas Juna sama sekali tidak menjawab.

"Mas ...," panggilku lagi dengan nada yang sedikit lebih tinggi.

"Apa sih? Nanti juga aku kerja kalo udah waktunya." jawabnya sewot.

Ya, selalu begini terus jika aku mengungkit perihal pekerjaan.

Ah ... biarlah, mungkin aku harus bersabar dan terus mendoakan suamiku agar dimudahkan rejekinya, kan?

Mungkin ini saatnya aku untuk membantunya dengan bekerja. Minimal aku bekerja untuk hidup diriku sendiri, karena tak mungkin aku menunggu rejeki yang jatuh dari langit jika ingin makan.

Bersyukur Andin, sahabatku mau menerimaku bekerja di usaha kateringnya yang sedang berkembang itu. Dengan gaji harian yang dibetikannya semoga aku akan bisa bertahan hidup.

Tadi siang aku sengaja menemui Andin. Bertanya apa dia memiliki lowongan pekerjaan. Karena kudengar katering Andin sedang butuh beberapa orang untuk bertugas memasak. Aku pun bercerita padanya bahwa aku membutuhkan pekerjaan untuk mengisi waktu luangku di rumah. Sedikit pun tak kusinggung perihal suamiku yang sedang menganggur. Bagaimanapun aku harus menjaga marwah Mas Juna. Karena seorang Istri layaknya pakaian bagi suaminya. Tak pantas membuka aibnya pada orang lain.

Dan alhamdulillah, Andin bersemangat menyambutku. Mulai besok aku bisa langsung bekerja membantunya memasak.

****

Ternyata tak semudah yang dibayangkan sebelumnya olehku memasak ditempat katering seperti ini. Aku harus bolak-balik mengangkat bahan masakan berkilo-kilo, mencucinya, mengupasnya dan juga mengolahnya.

Wajan untuk menggoreng pun sangat besar sekali, dan kami semua harus masak berkali-kali dengan menu yang berbeda.

Ada lebih dari sepuluh orang pegawai disini. Kami harus bekerja dengan cepat, tepat, dan cermat. Karena kami memasak untuk banyak orang, salah sedikit bisa fatal akibatnya. Syukur-syukur hanya diberhentikan kontrak untuk supply makanannya, parahnya jika sampai harus ada yang keracunan karena memakan masakan yang kami masak. Bisa-bisa kami mendapat hukuman pidana.

Andin sudah memulai bisnis ini hampir 5 tahun. Ia memulai semuanya dari nol bersama suaminya. Mereka awalnya hanya membuka warung masak biasa. Namun berkat kepiawainannya kini Ia bisa membuka kartering dan menyuplai makanan ke beberapa perusahaan setiap harinya.

Aku kagum atas perjuangan keduanya. Mereka bekerja keras, dan saling support. Kini mereka tinggal menikmati hasilnya, orang lainlah yang bekerja untuk mereka.

Jam sudah menunjukan pukul 6 sore, setelah seluruh proses memasak selsai, dan beres-beres dapur, kami para pegawai pulang. Tak lupa Andin mebawakan kami masing-masing sedikit makanan yang telah kami masak untuk dibawa pulang.

Sungguh baik sahabatku itu memang, Ia tak ingin hanya mepekerjakan kami begitu saja tanpa memikirkan perasaan kami.

"Ini untuk kamu bawa, maaf ya jatahnya hanya sedikit-sedikit lumayan lah." Katanya saat membagikan bingkisan berisi sayur dan lauk.

"Gak usah lah Ndin, kan kamu juga bayar aku." Tolakku secara halus. Sungguh tak enak rasanya terus di tolong oleh sahabatku ini.

"Aku memang sudah menjatah masakan untuk setiap yang kerja disini Aruni. Aku tahu lah pasti capek sekali nanti pulang ke rumah, dan pasti inginnya langsung istirahat. Tapi orang dirumah kan gak peduli, pasti mereka berharap ada makanan enak tersaji. Jadi nanti kamu tinggal istirahat, dan makan. Besok bisa kesini lagi dengan ceria deh."

MasyaAllah, pantas saja usahanya lancar begini. Andin begitu baik dan perhatian pada setiap karyawannya.

Akupun pulang dengan ceria, walau lelah seluruh badan ini tapi semuanya hilang karena perhatian Andin.

***

Ketika sampai rumah, kulihat Mas Juna sedang asyik menonton televisi. Tumben Ia tidak bermain game di gawainya.

"Asaalamualaikum Mas, aku pulang." Sapaku.

"Hmmm ...." jawabnya, tanpa memalingkan wajah sedikitpun dari TV.

"Tumben nonton TV mas, seru ya acaranya? Ada berita apa memang?" Tanyaku sambil ikut duduk di sofa, ingin merebahkan diri sejenak setelah lelah bekerja.

"Kuotaku habis. Jadi ya nonton TV saja."

"Hmmmph..." kucoba menahan tawa, pantas saja Ia tak bermain dengan gawainya. Ternyata itu sebabnya.

Terlihat wajah bete nya melihatku mentertawakannya. Biarlah

"Sudah makan belum, Mas? Tuh aku bawa sayur."

"Gimana aku bisa makan, kamu kan gak menyiapkan apapun untuk aku makan seharian ini." Jawabnya.

"Astaghfirullah, aku kan sudah bilang tadi pagi, kalau mau makan ada telur di kulkas, dan ada mie juga. Kamu kan bisa kalo sekedar masak mie sendiri, Mas!" gwra nhvfu merasa frustasi.

"Apa kamu tega, membiarkan aku hanya makan mie dan telur seharian Dek? Padahal kan harusnya sebelum kamu kerja kamu bisa siapkan dulu lauk untuk aku makan."

"Tega? Ya aku tega, karena Mas juga tidak lagi memberiku uang, syukur-syukur masih ada mie dan telur untuk mengganjal perut Mas , orang lain malah harus bekerja dulu untuk sekedar bisa makan."

Rasanya aku makin muak saja, entah apa yang merasukinya sampai Mas Juna jadi sangat manja, pemalas, dan menyebalkan begini. Semenjak Ia berhenti kerja memang pasti ada saja hal yang membuat kami bertengkar seperti ini.

"Sudah sana siapkan makan malam untukku, aku sudah lapar." Perintahnya.

Aku pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun aku tersentak kaget saat kulihat kondisi dapur sangat berantakan.

Piring bekas makan di mana-mana, bungkus mie dan cangkang telur berserakan. Kulihat tempat penanak nasi pun tak tertutup, dan membuat nasi didalamnya mengering.

Mas Juna bilang dia tidak makan? Namun dapur ini menjadi bukti bahwa ia telah menghabiskan 2 bungkus mie, dan 4 butir telur .

Aku hanya bisa menahan diri dan mengucap istighfar sebanyak-banyaknya sambil membereskan kekacauan yang terjadi di rumah hari ini.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Peri Lara
Alhamdulillah gak dapet suami kek gini... ......
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila rasanya pengen w cekek tuh si juna
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   97. Epilog 2

    Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   96. Epilog 1

    "Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   95. Mata dibayar Mata

    "Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   94. Rencana Rahasia

    Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   93. Menyendiri

    Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   92. Merasa Bersalah

    "Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status