Share

2. Lunas Begitu Saja

Penulis: Shinta wira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-26 11:43:37

Selepas kepulangan mertuaku, Mas Juna masih diam tak bersuara apa pun. Saat makan pun ia tetap diam, dan selesai makan, kembali ia mengurung diri di kamar.

Aku pun rasanya malas membahas semua masalah itu lagi. Rasanya terlalu sakit dibohongi dua kali. Yang pertama aku dibohongi tentang tabungan dari gaji bulanannya setiap bulan, dan yang kedua aku dibohongi tentang penggelapan uang 50 juta itu sekaligus tentang pemecatannya.

Yang aku bingungkan bagaimana caranya mengumpulkan uang 50 juta sampai akhir bulan ini?

Lalu bagaimana kehidupan kami selanjutnya?

Awalnya aku tak begitu khawatir jika Mas Juna masih belum dapat pekerjaan sampai dua atau tiga bulan ke depan, karena aku mengira bahwa pasti Mas Juna masih punya uang simpanan dan pesangon di tabungannya. Namun setelah mengetahui bahwa Ia bahkan tak memiliki uang sepeser pun membuatku makin stres.

Bisakah kami bertahan kedepannya?

Sisa uang di tanganku dari jatah bulanan yang diberi Mas Juna tinggal satu juta, tabunganku pun dari sebelum menikah makin menipis karena terpakai setiap bulannya.

Menyesal kenapa aku rela memakai tabunganku sendiri untuk menutupi keperluan sehari-hari kami, kalau ujungnya begini.

Biasanya uang dua juta yang diberikan Mas Juna itu akan habis di tengah bulan. Kadang aku harus memakai tabunganku sendiri, kurang lebih 500 ribu setiap bulannya.

Aku memeriksa saldo tabunganku melalui internet banking. Tinggal empat juta rupiah saja. Dari saldo awal sekitar delapan juta, hasil jerih payahku bekerja menjadi admin di salah satu pabrik sepatu sebelum menikah.

Ah ..., memikirkan semua membuatku sakit kepala saja. Rasanya hari ini terlalu banyak yang terjadi.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku pun perlahan memasuki kamar. Kulihat Mas Juna masih asyik dengan gawainya. Apalagi kalo bukan bermain game.

Aku menggeleng tak percaya bahwa Ia masih bisa santai saja, padahal ancaman penjara sudah di depan matanya.

Akupun membaringkan tubuhku di sampingnya dengan membelakanginya. Tak ingin terlibat percakapan dan berbasa-basi padanya.

"Dek ...."

Aku yang baru saja akan terlelap dibuat kaget karena panggilannya.

"Hmmm?" jawabku dengan nada jutek.

Mas Juna tidak melanjutkan namun tiba-tiba saja dapat kurasakan hawa panas di tengkukku, dan tangannya kini sudah bergerilya di badanku.

Bisa-bisanya dia minta jatah setelah apa yang terjadi hari ini. Namun aku pun tak mungkin menolaknya.

***

"Mas, jujur padaku, sebenarnya untuk apa semua uang itu mas?" tanyaku selepas sarapan pagi ini.

Mas Juna memandangku sekilas, lalu menunduk lagi.

"Mas, 50 juta itu uang yang banyak. Kenapa bisa sampai Mas mengambil uang itu, untuk apa Mas?"

Lagi-lagi ia hanya membisu.

"Sampai kapan Mas mau diam terus begini sih, Mas?"

"Aku pakai uang itu untuk investasi. Aku tertipu, orang yang harus bertanggung jawab dia malah kabur entah ke mana," jawab Mas Juna dengan cepat tak mau menatap mataku sama sekali saat mengatakannya. Aku tahu dia tidak sepenuhnya jujur.

Aku teringat kurang lebih beberapa minggu yang lalu ia pernah pulang sangat larut. Penampilannya berantakan tak seperti biasanya.

Ketika pulang pun ia tak mau makan sama sekali. Hanya langsung mandi dan tidur tanpa mengatakan apa pun. Dan saat tertidur, Mas Juna mengigau seperti ketakutan.

Lalu keesokan harinya, Ia tidak berangkat kerja. Tak enak badan katanya. Namun ketika jam 10-an ia mendadak pergi keluar seperti terburu-buru. Ketika kutanya mau ke mana ia tak menjawab.

Setelah hari itu Mas Juna memang lebih pendiam. Setiap kutanya ada masalah apa ia selalu bilang tak ada apa-apa. Dan ia selalu saja mengalihkan pembicaraan.

Apa semua itu ada kaitannya dengan penggelapan uang yang Mas Juna lakukan?

Atau jangan-jangan Mas Juna memiliki wanita simpanan. Dan malam itu ia baru bertemu dengan selingkuhannya, karena penampilannya yang berantakan. Pasti ia tak langsung pulang ke rumah selepas bekerja.

"Mas, kamu selingkuh, ya?" cecarku langsung.

"Bicara apa kamu, Dek, mana mungkin Mas selingkuh!"

"Aku gak percaya Mas pakai uang itu untuk investasi, pasti Mas pakai uang itu untuk ngebiayain selingkuhan, kan?"

"Jangan ngawur kamu, kebanyakan nonton drama nih pastinya!" Mas Juna pun berlalu meninggalkanku begitu saja.

Aku semakin yakin Ia menyembunyikan sesuatu. Aku akan menyelidikinya nanti.

****

"Tok..tok..tok.. "

"Assalamualaikum."

Terdengar salam dari pintu depan, dari suaranya aku hafal bahwa itu adalah Bapak mertuaku.

Mengetahui bahwa Mas Juna ada di dalam kamar, Bapak langsung masuk ke kamar untuk menemui anaknya.

Dari luar aku mencoba mencuri dengar apa yang dibicarakan Bapak pada Mas Juna.

Duh ... maafkan menantumu yang kepo ini Pak.

"Ini ..., Bapak menjual mobil Bapak, bayarkan semua pada tempat kerjamu dahulu. Selesaikan urusanmu. Jangan sampai kamu masuk penjara!"

Kudengar Bapak meletakan sesuatu di atas meja. Mungkin uang yang Bapak berikan pada Mas Juna.

Ah ... betapa Bapak sangat baik, bagaimanapun memang kasih orang tua akan selalu besar pada anaknya walau mereka sudah berumah tangga dan walau sudah mengecewakannya.

Mobil Bapak, kutahu adalah mobil kesayangan. Cukup tua usia mobilnya. Bapak selalu merawatnya seolah anaknya sendiri. Memandikannya setiap hari, dan mengajaknya keliling kompleks untuk memanaskan mesinnya.

Namun, tak kusangka Bapak merelakan mobilnya itu untuk menutupi kesalahan anak bungsunya. Memang Mas Juna adalah anak kesayangan Bapak dan Ibu, Mas Juna anak lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara. Dan paling ditunggu-tunggu oleh Bapak karena ia ingin sekali memiliki anak laki-laki.

Dua kakak perempuannya sudah menikah dan ikut tinggal bersama suaminya. Sedang Mas Juna satu-satunya anak yang tinggal terdekat kini dengan Bapak dan Ibu.

Bapak sendiri adalah pensiunan perangkat desa. Sudah hampir lima tahun ia pensiun. Ia kini tinggal menikmati masa tuanya dengan tenang karena anak-anaknya sudah mandiri dan sukses.

"Juna, jujur sama Bapak, memang kamu kekurangan uang sampai harus memakai uang yang bukan hakmu, Nak?" tanya Bapak.

Namun tak kudengar jawaban apa pun dari Mas Juna. Tidak juga ia mengatakan perihal Investasi yang dilakukannya seperti yang ia katakan padaku tadi pagi. Aku semakin curiga bahwa Mas Juna menyembunyikan sesuatu di belakangku.

"Bapak kecewa sama kamu Juna, Bapak tidak pernah sekalipun mengajarkan kamu untuk mencuri!" Pastinya Bapak sangat kecewa atas perbuatan anaknya ini.

"Sekarang Bapak masih ada, masih hidup, masih bisa menolong kamu kalau kesulitan. Nanti kalau Bapak sudah tidak ada, kamu harus bisa menyelesaikan masalahmu sendiri. Jangan hanya terus berpangku pada Bapak!" Pesannya lagi.

Tak sadar air mataku meleleh dibuatnya. Bapak memang sosok yang sangat bijaksana. Ia menjadi yang dituakan bagi warga kampung sini. Jika ada masalah pasti semua akan menemui Bapak dan meminta nasihatnya.

Tak lama Bapak keluar dari kamar, disusul Mas Juna yang mengekori Bapak.

"Aruni, Bapak pulang dulu ya!" pamitnya seketika.

"Loh kok cuman sebentar Pak, kopinya diminum dulu Pak," tawarku sambil membawakan kopi yang telah aku siapkan. Kata Bapak, Ia sangat menyukai kopi buatanku, maka kadang Ia akan datang ke rumah hanya untuk menikmati kopi buatanku saja.

"Maaf Aruni Bapak buru-buru. Buat Juna saja kopinya!" Tak pernah Bapak menolak kopi buatanku sebelumnya.

Nampaknya Ia sedang tidak baik-baik saja. Pastinya Bapak merasa terpukul sekali. Entah karena kecewa atas perbuatan anaknya, atau karena harus kehilangan mobil kesayangannya.

Selepas Bapak pergi, Mas Juna langsung mandi dan bersiap pergi. Kulihat Ia memasukkan amplop cokelat yang kutahu pasti isinya uang yang tadi Bapak berikan padanya.

"Aku pergi dulu Aruni!" Katanya ketika tahu bahwa aku memperhatikannya.

"Ke mana?" tanyaku basa-basi. Penasaran akankah Ia terbuka padaku.

"Menyelesaikan urusan yang harus diselesaikan!" katanya, sok puitis.

Terlihat wajahnya berseri. Pasti Ia senang dapat menyelesaikan masalahnya tanpa bersusah payah.

"Aku minta uang untuk bensin Aruni, seratus aja."

Hah.. apa dia bilang, minta uang? Bahkan Mas Juna tak bertanya apakah aku masih memegang uang atau tidak.

"Uang dari jatah bulanan udah habis Mas. Kalo 50 masih ada. Tapi besok berarti gak ada lagi," jawabku mencoba menekankan bahwa aku tak punya uang lagi.

Namun nampaknya Mas Juna tak peduli. Ia tetap meminta uang 50 ribu tersebut. Lalu pergi sambil bersenandung gembira.

Tunggu saja Mas, nanti akan aku selidiki untuk apa semua uang itu kau pakai.

.....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Peri Lara
ini mah yakin selingkuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   97. Epilog 2

    Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   96. Epilog 1

    "Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   95. Mata dibayar Mata

    "Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   94. Rencana Rahasia

    Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   93. Menyendiri

    Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan

  • Aku Tak Ingin Suamiku Tahu Aku Kaya   92. Merasa Bersalah

    "Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status