Home / Rumah Tangga / Aku dan Teman Suamiku / 8. Dijodohkan dengan Erik

Share

8. Dijodohkan dengan Erik

last update Huling Na-update: 2021-06-29 11:12:48

Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.

Beep..beep..

Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.

Papa

["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]

["Wa'alaykumussalam."]

["Kamu di mana Ka?"]

["Di pemakaman, Pa."]

["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]

["Baik, Pa."]

Mei menatap wajah suaminya.

"Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan." 

"Ya sudah ayo, kita pulang Mas." 

Zaka mengangguk, tangannya diulurkan untuk membantu Mei berdiri.

"Kamu gak papa, Mas tinggal?" tanya Zaka sedikit khawatir.

"Ga papa, Mas,  ada Bik Nah, di rumah." 

Zaka mengulum senyum, mengusap lembut kepala istrinya, sangat hangat perlakuannya pada istri pertamanya, berbeda dengan memperlakukan Tara. Tiba-tiba terlintas nama Tara dalam pikirannya. Zaka menggeleng keras.

"Ada apa, Mas?" tanya Mei heran.

"Aah, ga papa Mei, sedikit pusing saja, ayo!" Zaka membukakan pintu mobil untuk  Mei, memasangkan seatbelt lalu menutup pintu mobilnya. Zaka memutar tubuhnya agar sampai di sisi kemudi, dengan menarik nafas cukup panjang, agar menghalau nama Tara yang baru saja terlintas. 

Perjalanan dari pemakaman menuju rumahnya tidaklah terlalu jauh, hanya lima kilometer. Kini Zaka tengah masuk ke pekarangan rumah minimalis miliknya. Menuntun Mei turun dengan sangat hati-hati, membawanya ke kamar. Zaka berpesan pada bik Nah, agar sesekali melihat keadaan Mei, karena Zaka harus keluar sebentar.

"Mas tinggal sebentar ya sayang, hati-hati di rumah," ucapnya begitu lembut.

Cuup.

Zaka mengecup kening Mei, lalu mengecup sekilas bibir Mei. Bik Nah, yang berdiri di depan pintu, tersenyum lalu membuang pandangannya. Begitu beruntung nyonya memiliki suami yang sangat mencintainya. Begitulah yang ada dalam pikiran bik Nah.

Zaka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju rumah orangtuanya. Memakan waktu satu jam barulah Zaka sampai di rumah besar milik orangtuanya. Suasana sepi, begitu Zaka memasuki pekarangan. Tampak mama Zaka yang bernama bu Erika sedang merapikan kebun bunganya yang terletak di samping. Mata Zaka berair saat menatap ayunan dan perosotan yang dua pekan lalu dibeli orangtuanya untuk menyambut kehadiran seorang cucu yang sangat dinanti.

"Maa," panggil Zaka lembut, wanita dengan wajah keriput itu menoleh ke asal suara. 

"Zakaa." Bu Erika meletakkan gunting tanaman di atas nakas, mencuci tangannya di kucuran air, lalu menyambut kedatangan anak tengahnya, dengan melebarkan tangan. Memeluk anak tengahnya dengan erat.

"Kamu sehatkan?" 

"Sehat, Ma." 

Ibu dan anak itu berjalan beriringan, masuk ke dalam rumah.

"Paa," panggil Zaka pada lelaki tua bertubuh tinggi tegap berusia enam puluh enam tahun itu, yang tampak serius membaca koran. Matanya tajam melihat ke arah Zaka. Lalu dengan kode gerakan kepalanya, seakan menyuruh Zaka untuk duduk di depannya.

Papa Zaka yang bernama Aditya Darman adalah seorang pengusaha sukses dibidang  perhotelan, ada enam hotel yang tersebar di Jakarta, Jogya dan Malang adalah miliknya, namun sayang tak ada satupun anak lelakinya yang mengikuti jejaknya. 

Pak Darman memiliki tiga anak, semuanya lelaki. Darman sudah ingin sekali menimang cucu, namun apalah daya Tuhan berkehendak lain, disaat kebahagiaan itu sempat singgah kurang lebih lima bulan, namun kini cucunya sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Kamu tidak pernah cerita perihal kamu menikahi istri almarhum Rahman."

Deeg!

Dari mana papanya tahu rahasia ini. Rahasia yang sangat ia tutup rapat dari kedua orang tuanya.

"Itu..." 

"Tara namanyakan?"

Zaka selalu kalah bila berbicara dengan sang papa. Zaka mengangguk.

"Papa tidak menyalahkanmu, namun papa kecewa kamu tidak memberitahukan hal ini pada kami, orang tuamu."

"Bawa kemari istri keduamu itu. Papa dan mama ingin mengenalnya." 

"Baik, Pa." 

Hanya itu yang mampu ia katakan, tak mungkin ia berkata pada papanya, bahwa istri keduanya telah pergi meninggalkannya. Zaka tersenyum kecut di dalam mobilnya, saat perjalanan kembali ke rumah. Sedari SD sampai kuliah, ia tipe lelaki yang tak pernah ditinggalkan oleh wanita, selalu dialah yang meninggalkan wanita tersebut, bila sudah bosan. Kini disaat menjadi lelaki mapan dan sukses, malah ia ditinggalkan seorang wanita, yang tidak pernah masuk dalam kriterianya.

****

Paman Erik baru saja pulang membawa Pak Danu, bapaknya Tara dari rumah sakit, setelah tiga hari dirawat. Ia masuk ke dalam rumah dengan membopong tubuh lemah pak Danu.

"Bapak!" pekik Tara saat melihat tubuh lemah bapaknya, dituntun Erik untuk duduk di kursi tamu.

"Bapak gak papa Ra, hanya lemas saja." Begitulah lelaki paruh baya itu menenangkan hati anak perempuannya. Pak Danu tak ingin membuat hati Tara resah, apalagi sekarang Tara sedang hamil.

"Kamu sudah buatkan bubur untuk Bapak Ra?" tanya Erik, saat tiba dari dapur.

"Sudah, Paman, sebentar saya ambilkan." Tara bergegas ke dapur. Mengambilkan semangkuk bubur ayam untuk bapak. Tara menyuapinya dengan telaten.

Pak Danu melihat ke perut Tara yang semakin buncit. "Makan apa tho kamu, perutnya sampe gede gitu," ledek Pak Danu pada putrinya. Tara tersenyum ceria. Senang rasanya ada raut gembira di wajah bapaknya.

"Ini efek kebanyakan makan ubi rebus, Pak."  Tara melirik pamannya yang baru saja akan masuk kamar mandi. Setiap hari Tara selalu menyediakan ubi rebus untuk pamannya, seolah-olah tanpa ubi rebus sebagai menu sarapan, pamannya akan mati. Paman Erik yang tersendir, menoleh lalu nyengir kuda. 

"Kan saya minta rebusinnya buat saya, kenapa kamu jadi ikutan makan? salah sendiri!" ucap Erik cuek. Lalu masuk ke kamar mandi. Yah begitulah pamannya ini terlalu cuek.

Tara mencebikkan bibirnya. Bapaknya hanya tersenyum melihat wajah Tara yang kesal.

"Kamu sudah pikirkan omongan Bapak'kan, Ra?" 

"Aduh Pak, jangan bahas itu lagi. Bapak tuh gak papa, Bapak sehat dan insya Allah berumur panjang. Sampai cucu-cucu Bapak besar." Tara menggenggam tangan keriput bapak.

"Bapak hanya ingin kamu bahagia, Ra." 

"Bahagia Tara adalah dengan sehatnya Bapak dan anak-anak." Tara mengusap perut buncitnya yang memasuki usia tujuh bulan.

"Tapi bahagia Bapak adalah dengan melihat kamu dicintai." 

Tara terdiam.

"Pak, Paman Erik sudah Tara anggap seperti ayah sendiri. Masa tau-tau harus memperlakukannya sebagai suami. Ndak bisa, Pak." 

"Tapi kenapa perasaan Bapak, suatu saat kamu bisa bahagia bersama Erik." 

Tara tertawa keras. Sampai perutnya ikut naik turun.

"Haduh ... Bapak, kesambet opo tho yoo." Tara menggelengkan kepalanya. Masih dengan mengulum senyum, Tara berdiri hendak ke dapur, menaruh mangkuk bubur. Karena tidak hati-hati Tara tersandung mainan Fia, yang bertebaran di lantai.

"Aaahhh!" pekiknya, untung saja Erik yang baru keluar kamar mandi, berdekatan dan langsung menahan tubuh Tara yang oleng, hampir menabrak meja dapur.

"Kamu ga papa, Ra? jalan hati-hati nduk," tanya Erik khawatir.

Tara belum sempat menjawab, wajahnya meringis. Pak Danu terperangah saat ada cairan merah mengalir dari daster panjang Tara.

"Erik, darah!" teriak Pak Danu panik, begitu juga Erik yang langsung melihat ke bawah. Seketika wajahnya memucat, manakala melihat Tara yang sudah menutup mata dengan keringat bercucuran.

Masih dengan handuk yang dililitkan dipinggangnya, tanpa baju Erik keluar dengan berlari membopong Tara yang pingsan. Membawanya masuk ke dalam mobil bak milik Mbok Minah yang tadi dia pinjam untuk menjemput Pak Danu dari rumah sakit. 

Mobil melaju dengan cepat menuju rumah sakit. Keringatnya bercucuran, sesekali menatap iba keponakannya yang terlihat sangat kesakitan. Darah sudah merembes di jok mobil mbok Minah. Tangan paman Erik semakin gemetar memegang kemudi, tak dihiraukannya lagi tubuhnya yang tersapu angin dingin, dia hanya memakai handuk dan bertelanjang dada. Dan author tak yakin dibalik handuk itu ada kain lagi. Diusapnya peluh yang bercucuran di wajahnya.

"Eeuuh." Tiba-tiba Tara merintih, membuat Erik menoleh dan semakin kalut.

"Tahan ya Ra, sebentar lagi sampai." 

"S-sakit," rintihnya.

"Ya Allah selamatkanlah ponakanku, selamatkanlah wanita yang aku cintai ini." gumam Erik dalam hati.

***

Ekkhheemm..ternyata.. :)

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Willny
ternyata erik punya perasaan lain sama tara
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Aku dan Teman Suamiku   54. Akhir yang sempurna

    Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t

  • Aku dan Teman Suamiku   53. Tara Cemburu?

    Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b

  • Aku dan Teman Suamiku   52. Tara yang Kesepian

    "Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj

  • Aku dan Teman Suamiku   51. Mama Baru untuk Zaka

    Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo

  • Aku dan Teman Suamiku   50. Cinta anak-anak untuk Zaka

    Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat

  • Aku dan Teman Suamiku   49. Akankah Tara Membuka Hatinya

    Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status