Share

8. Dijodohkan dengan Erik

Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.

Beep..beep..

Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.

Papa

["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]

["Wa'alaykumussalam."]

["Kamu di mana Ka?"]

["Di pemakaman, Pa."]

["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]

["Baik, Pa."]

Mei menatap wajah suaminya.

"Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan." 

"Ya sudah ayo, kita pulang Mas." 

Zaka mengangguk, tangannya diulurkan untuk membantu Mei berdiri.

"Kamu gak papa, Mas tinggal?" tanya Zaka sedikit khawatir.

"Ga papa, Mas,  ada Bik Nah, di rumah." 

Zaka mengulum senyum, mengusap lembut kepala istrinya, sangat hangat perlakuannya pada istri pertamanya, berbeda dengan memperlakukan Tara. Tiba-tiba terlintas nama Tara dalam pikirannya. Zaka menggeleng keras.

"Ada apa, Mas?" tanya Mei heran.

"Aah, ga papa Mei, sedikit pusing saja, ayo!" Zaka membukakan pintu mobil untuk  Mei, memasangkan seatbelt lalu menutup pintu mobilnya. Zaka memutar tubuhnya agar sampai di sisi kemudi, dengan menarik nafas cukup panjang, agar menghalau nama Tara yang baru saja terlintas. 

Perjalanan dari pemakaman menuju rumahnya tidaklah terlalu jauh, hanya lima kilometer. Kini Zaka tengah masuk ke pekarangan rumah minimalis miliknya. Menuntun Mei turun dengan sangat hati-hati, membawanya ke kamar. Zaka berpesan pada bik Nah, agar sesekali melihat keadaan Mei, karena Zaka harus keluar sebentar.

"Mas tinggal sebentar ya sayang, hati-hati di rumah," ucapnya begitu lembut.

Cuup.

Zaka mengecup kening Mei, lalu mengecup sekilas bibir Mei. Bik Nah, yang berdiri di depan pintu, tersenyum lalu membuang pandangannya. Begitu beruntung nyonya memiliki suami yang sangat mencintainya. Begitulah yang ada dalam pikiran bik Nah.

Zaka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju rumah orangtuanya. Memakan waktu satu jam barulah Zaka sampai di rumah besar milik orangtuanya. Suasana sepi, begitu Zaka memasuki pekarangan. Tampak mama Zaka yang bernama bu Erika sedang merapikan kebun bunganya yang terletak di samping. Mata Zaka berair saat menatap ayunan dan perosotan yang dua pekan lalu dibeli orangtuanya untuk menyambut kehadiran seorang cucu yang sangat dinanti.

"Maa," panggil Zaka lembut, wanita dengan wajah keriput itu menoleh ke asal suara. 

"Zakaa." Bu Erika meletakkan gunting tanaman di atas nakas, mencuci tangannya di kucuran air, lalu menyambut kedatangan anak tengahnya, dengan melebarkan tangan. Memeluk anak tengahnya dengan erat.

"Kamu sehatkan?" 

"Sehat, Ma." 

Ibu dan anak itu berjalan beriringan, masuk ke dalam rumah.

"Paa," panggil Zaka pada lelaki tua bertubuh tinggi tegap berusia enam puluh enam tahun itu, yang tampak serius membaca koran. Matanya tajam melihat ke arah Zaka. Lalu dengan kode gerakan kepalanya, seakan menyuruh Zaka untuk duduk di depannya.

Papa Zaka yang bernama Aditya Darman adalah seorang pengusaha sukses dibidang  perhotelan, ada enam hotel yang tersebar di Jakarta, Jogya dan Malang adalah miliknya, namun sayang tak ada satupun anak lelakinya yang mengikuti jejaknya. 

Pak Darman memiliki tiga anak, semuanya lelaki. Darman sudah ingin sekali menimang cucu, namun apalah daya Tuhan berkehendak lain, disaat kebahagiaan itu sempat singgah kurang lebih lima bulan, namun kini cucunya sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Kamu tidak pernah cerita perihal kamu menikahi istri almarhum Rahman."

Deeg!

Dari mana papanya tahu rahasia ini. Rahasia yang sangat ia tutup rapat dari kedua orang tuanya.

"Itu..." 

"Tara namanyakan?"

Zaka selalu kalah bila berbicara dengan sang papa. Zaka mengangguk.

"Papa tidak menyalahkanmu, namun papa kecewa kamu tidak memberitahukan hal ini pada kami, orang tuamu."

"Bawa kemari istri keduamu itu. Papa dan mama ingin mengenalnya." 

"Baik, Pa." 

Hanya itu yang mampu ia katakan, tak mungkin ia berkata pada papanya, bahwa istri keduanya telah pergi meninggalkannya. Zaka tersenyum kecut di dalam mobilnya, saat perjalanan kembali ke rumah. Sedari SD sampai kuliah, ia tipe lelaki yang tak pernah ditinggalkan oleh wanita, selalu dialah yang meninggalkan wanita tersebut, bila sudah bosan. Kini disaat menjadi lelaki mapan dan sukses, malah ia ditinggalkan seorang wanita, yang tidak pernah masuk dalam kriterianya.

****

Paman Erik baru saja pulang membawa Pak Danu, bapaknya Tara dari rumah sakit, setelah tiga hari dirawat. Ia masuk ke dalam rumah dengan membopong tubuh lemah pak Danu.

"Bapak!" pekik Tara saat melihat tubuh lemah bapaknya, dituntun Erik untuk duduk di kursi tamu.

"Bapak gak papa Ra, hanya lemas saja." Begitulah lelaki paruh baya itu menenangkan hati anak perempuannya. Pak Danu tak ingin membuat hati Tara resah, apalagi sekarang Tara sedang hamil.

"Kamu sudah buatkan bubur untuk Bapak Ra?" tanya Erik, saat tiba dari dapur.

"Sudah, Paman, sebentar saya ambilkan." Tara bergegas ke dapur. Mengambilkan semangkuk bubur ayam untuk bapak. Tara menyuapinya dengan telaten.

Pak Danu melihat ke perut Tara yang semakin buncit. "Makan apa tho kamu, perutnya sampe gede gitu," ledek Pak Danu pada putrinya. Tara tersenyum ceria. Senang rasanya ada raut gembira di wajah bapaknya.

"Ini efek kebanyakan makan ubi rebus, Pak."  Tara melirik pamannya yang baru saja akan masuk kamar mandi. Setiap hari Tara selalu menyediakan ubi rebus untuk pamannya, seolah-olah tanpa ubi rebus sebagai menu sarapan, pamannya akan mati. Paman Erik yang tersendir, menoleh lalu nyengir kuda. 

"Kan saya minta rebusinnya buat saya, kenapa kamu jadi ikutan makan? salah sendiri!" ucap Erik cuek. Lalu masuk ke kamar mandi. Yah begitulah pamannya ini terlalu cuek.

Tara mencebikkan bibirnya. Bapaknya hanya tersenyum melihat wajah Tara yang kesal.

"Kamu sudah pikirkan omongan Bapak'kan, Ra?" 

"Aduh Pak, jangan bahas itu lagi. Bapak tuh gak papa, Bapak sehat dan insya Allah berumur panjang. Sampai cucu-cucu Bapak besar." Tara menggenggam tangan keriput bapak.

"Bapak hanya ingin kamu bahagia, Ra." 

"Bahagia Tara adalah dengan sehatnya Bapak dan anak-anak." Tara mengusap perut buncitnya yang memasuki usia tujuh bulan.

"Tapi bahagia Bapak adalah dengan melihat kamu dicintai." 

Tara terdiam.

"Pak, Paman Erik sudah Tara anggap seperti ayah sendiri. Masa tau-tau harus memperlakukannya sebagai suami. Ndak bisa, Pak." 

"Tapi kenapa perasaan Bapak, suatu saat kamu bisa bahagia bersama Erik." 

Tara tertawa keras. Sampai perutnya ikut naik turun.

"Haduh ... Bapak, kesambet opo tho yoo." Tara menggelengkan kepalanya. Masih dengan mengulum senyum, Tara berdiri hendak ke dapur, menaruh mangkuk bubur. Karena tidak hati-hati Tara tersandung mainan Fia, yang bertebaran di lantai.

"Aaahhh!" pekiknya, untung saja Erik yang baru keluar kamar mandi, berdekatan dan langsung menahan tubuh Tara yang oleng, hampir menabrak meja dapur.

"Kamu ga papa, Ra? jalan hati-hati nduk," tanya Erik khawatir.

Tara belum sempat menjawab, wajahnya meringis. Pak Danu terperangah saat ada cairan merah mengalir dari daster panjang Tara.

"Erik, darah!" teriak Pak Danu panik, begitu juga Erik yang langsung melihat ke bawah. Seketika wajahnya memucat, manakala melihat Tara yang sudah menutup mata dengan keringat bercucuran.

Masih dengan handuk yang dililitkan dipinggangnya, tanpa baju Erik keluar dengan berlari membopong Tara yang pingsan. Membawanya masuk ke dalam mobil bak milik Mbok Minah yang tadi dia pinjam untuk menjemput Pak Danu dari rumah sakit. 

Mobil melaju dengan cepat menuju rumah sakit. Keringatnya bercucuran, sesekali menatap iba keponakannya yang terlihat sangat kesakitan. Darah sudah merembes di jok mobil mbok Minah. Tangan paman Erik semakin gemetar memegang kemudi, tak dihiraukannya lagi tubuhnya yang tersapu angin dingin, dia hanya memakai handuk dan bertelanjang dada. Dan author tak yakin dibalik handuk itu ada kain lagi. Diusapnya peluh yang bercucuran di wajahnya.

"Eeuuh." Tiba-tiba Tara merintih, membuat Erik menoleh dan semakin kalut.

"Tahan ya Ra, sebentar lagi sampai." 

"S-sakit," rintihnya.

"Ya Allah selamatkanlah ponakanku, selamatkanlah wanita yang aku cintai ini." gumam Erik dalam hati.

***

Ekkhheemm..ternyata.. :)

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Willny
ternyata erik punya perasaan lain sama tara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status