Dan malam pun terus merangkak naik. Sunyi malam itu berbalut kemesraan dua insan yang tengah kasmaran. Mereka berdua tidak banyak berkata setelah itu. Hanya sentuhan yang berbicara dan kehangatan yang menjawab bahasa tubuh mereka. 🖤LS🖤"Bener ini kosannya?" tanya Pak Gatot memandang sederetan bangunan di sebuah gang masuk."Ya, Om. Kamar nomer dua dari kiri itu kosannya Nada," jawab Hanan yang duduk dibangku tengah. Berdampingan dengan Bu Puri. Wanita itu keukeh mau ikut. Geramnya pada Nada sungguh tak terbendung. Lagipula sekalian jalan untuk mampir ke Mojokerto. Ke rumah saudara mereka."Kelihatannya sepi, Nan," kata Manggala yang duduk di belakang kemudi. "Tapi beneran, ini kamar kosnya. Coba kita tunggu beberapa saat lagi," ujar Hanan.Manggala memperhatikan sekeliling. Tempat itu wilayah kosan yang lumayan berkelas. Nada tidak mungkin mau tinggal di tempat biasa saja. Walaupun masih mewah apartemen yang dipersiapkan Manggala dulu."Kalau hendak bertamu, apa peraturan di sini
"Seharusnya memang begitu kan, Bu. Hubungan harus dijaga. Mereka sudah terikat pernikahan. Memang seharusnya saling mencintai," jawab Pak Gatot."Betapa beruntungnya Ibu memiliki suami seperti Ayah. Dulu Ibu pikir anak-anak kita akan memiliki sifat seperti Ayahnya semua. Namun jalan mereka sudah berliku di awal. Narendra setia, tapi keadaan yang membuatnya harus kehilangan sosok yang diimpikannya.""Gala sebenarnya juga sangat bertanggungjawab, Bu. Kalau dia terjerat ular itu, anggap saja sebagai ujian hidupnya. Tapi Ayah salut sama dia. Bisa menahan diri tidak menyentuhnya sampai di mana dia mendapati sendiri kenyataan tentang keluarga Nada. Setiap orang pasti ada kurang lebihnya. Semoga pada akhirnya mereka bisa kembali akur seperti dulu." Harapan Pak Gatot sambil menerawang. "Iya. Kita doakan saja mereka semua akan menemukan kebahagiaannya." 🖤LS🖤Suara jangkrik di luar terdengar makin jelas. Menandakan malam mulai larut. Suara motor yang biasa melintas di jalan depan rumah juga
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengamuk "Kamu gila atau sudah benar-benar putus urat malu. Bisa-bisanya kamu mengaku hamil anaknya Gala sedangkan kalian sudah berpisah hampir empat bulan. Kalau itu anak Gala, kenapa nggak datang saja ke rumah kami. Bukankah kamu sudah tahu di mana rumah kami? Malah koar-koar di warung sate kayak orang kesurupan."Pak Gatot dan Manggala saling pandang mendengar Bu Puri marah. Wanita penyabar itu telah tersulut emosi saat mendengar ucapan Nada. Membuat suami dan anaknya terdiam."Jangan tutup dulu teleponnya. Saya belum selesai bicara sama kamu," tegas Bu Puri. Namun Nada sudah mematikan panggilan. "Hmm, dimatikan," geramnya seraya meletakkan ponsel di atas meja."Dia kena mental itu, Bu," kata Pak Gatot."Emosi aku, Yah. Biar dia tahu kalau ibu juga bisa marah. Heran, bagaimana orang tuanya mendidik, kok bisa anaknya seperti itu. Tapi yo nggak heran, wong dia lahir dari keluarga yang bermasalah."Hening sejenak. Bu Puri mengatur napas lalu memandang Manggala
"Iya, sih. Aku juga nggak apa-apa. Semoga si mbak nanti kerasan kerja sama kita." Kiara mendongak, memandang suaminya. Manggala meraih pinggang sang istri hingga mereka tak berjarak. Saling menatap dengan mesra. "Mas tak sabar melihat prince dan princess kita yang menggemaskan meramaikan rumah ini." "Mas, yakin mereka kembar sepasang?" "Berharapnya begitu." Manggala tersenyum dan menyentuhkan keningnya dengan kening Kiara. Ia mengakui kalau memang ingin anaknya nanti kembar sepasang. Suasana mendadak romantis. Mata dan bibir mereka bertemu. Menimbulkan geliat dalam diri Manggala. Apalagi saat itu gerimis mulai turun dan Arsha masih tidur. Momen yang sangat mendukung untuk menghabiskan beberapa waktu bersama istrinya sebelum kembali lagi ke Gudang. Namun ponsel yang berdering di atas meja, membuatnya harus beranjak. Dia ada janji ketemuan dengan ayahnya sehabis istirahat siang. "Mas harus kembali ke Gudang, Ki. Sudah ditunggu ayah di sana," kata Manggala setelah membaca pesan.
Siang yang redup. Mendung sudah mulai menutupi sebagian mayapada. Aroma nasi pulen dan ikan kembung goreng mengisi ruang makan. Kiara sibuk menyiapkan makan siang sambil menunggu Manggala selesai salat zhuhur. Kepulangan sang suami ke rumah, tak mampu menyembunyikan gelisah yang mengendap di mata Kiara. Dia ingin cerita banyak tentang apa yang dialaminya tadi pagi. Supaya dadanya lega. Manggala keluar dari kamar dengan wajah segar. "Makan dulu, Mas." Kiara meletakkan piring di meja depan kursi di mana Manggala biasanya duduk. "Sebelum tidur tadi, Arsha sudah makan apa belum?" tanya Manggala seraya menarik kursi. "Sudah. Aku suapin nasi sama ikan goreng. Dia lebih suka ikan goreng daripada daging ayam, Mas." "Bagus itu. Sering belikan ikan salmon saja, Ki." "Iya. Nanti aku pesen sama tukang ikan di pasar, Mas." Sambil makan mereka berbincang. Manggala mendengarkan keluhan Kiara tentang pembicaraan dan tatapan sinis dari orang-orang. "Nggak usah belanja di situ lagi. Nan
AKU DI ANTARA KALIAN - Pembelaan Seorang Ibu "Siapa yang bilang Arsha anak saya, Pak?" "Perempuan yang mampir ke sini kemarin, Nak. Sopo yo jenenge?" Bapak tua itu menggaruk-garuk kepalanya sambil mengingat-ingat nama Nada. Tapi daya pikirnya sudah tidak bisa menjangkau satu nama yang ia ketahui kemarin siang. "Arsha itu anaknya Manggala, Pak. Bagaimana ada cerita dia anak saya sedangkan saya tidak pernah ada di rumah." Lelaki tua itu memandang Narendra. Memastikan kalau ucapan pria muda di depannya ini benar. "Jangan percayai omongan orang. Dia nggak tahu apa-apa tentang kami. Lagian Bapak juga nggak tahu siapa sebenarnya wanita itu, kan?" lanjut Narendra. "Tapi dia bilang, dia itu istrinya Nak Manggala." Pak tua belum menyerah. Dia bertanya dengan santai tanpa sungkan. Seolah apa yang ditanyakan itu hal biasa yang tidak menyinggung perasaan. Padahal yang diajak bicara adalah orang yang bersangkutan Sementara pengunjung lain diam dan ada yang terus makan. Pura-pura t