DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA

DINIKAHI PRIA KAYA DARI KOTA

last updateLast Updated : 2025-08-19
By:  Viaaf04Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
11Chapters
8views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Nirmala Ayudia, gadis perawan berumur 26 tahun yang selalu menjadi gunjingan warga satu kampung karena tak kunjung menikah. Dikatakan tidak laku, bahkan mereka mengasihani sang ibu karena punya anak perawan tua. Tidak ada yang menyangka kalau Nirma yang selama ini selalu diejek perawan tua tiba-tiba dinikahi bujangan kaya dari kota? "Mulai sekarang, Nirmala adalah bagian dari keluarga saya. Mengejek Nirmala sama artinya dengan mencoreng nama baik Keluarga Darmawan. Saya ingin melihat siapa yang berani dan memiliki nyali?"

View More

Chapter 1

1. Ocehan Tetangga

Pagi ini aku menggantikan Ibu berbelanja sayur di Mpok Atik, tukang jual sayur keliling di kampung kami, biasanya wanita paruh baya itu akan mangkal di dekat musholla dan dikerumuni ibu-ibu.

"Eh, Nduk Nirmala, tumben keluar?" sapa Mpok Atik begitu aku tiba di depan gerobak sayurnya.

"Iya nih, Mpok, aku gantiin Ibu, soalnya Ibu lagi jagain Romi."

Romi, adikku yang baru kelas enam SD itu dilanda demam sejak semalam, ia rewel sekali, jadi terpaksa ibu harus selalu berada di sampingnya.

Seperti biasa, tak lama kemudian para ibu-ibu mulai berkumpul dan kalau sudah kumpul begini pasti ada saja yang akan mereka katakan tentang aku.

"Tumben kelihatan Nak Nirmala ini, biasanya kan selalu mengurung diri di rumah."

Itu Bik Diah, ibu-ibu yang rumahnya berseberangan dengan rumahku. Jujur saja, aku tak terlalu suka dengan sifat dan sikapnya, ia selalu repot mengurus urusan orang lain, ada saja yang akan ia komentari, membuatku jengkel.

"Iya nih, Bik Diah." Demi kesopanan, aku menjawab ala kadarnya saja.

"Masih betah sendiri, Nirma?" tanya Bik Diah lagi.

Aku sengaja tak menjawab pertanyaan tersebut. Bukan bermaksud untuk bersikap tak sopan, tapi pertanyaan itu sudah Bik Diah lontarkan lusinan kali dan ia selalu bertanya ketika di tempat yang ramai. Berbeda waktu kami berpapasan berdua saja, ia bahkan tak mau repot-repot menyapa.

"Padahal Kamu sama Mina seumuran loh, Nirma. Sementara Mina sudah nenikah sejak lama, Kamunya masih gini-gini aja, harusnya Kamu ambil contoh dari dia. Nih ya, kemarin saja aku baru berkunjung ke kota, bahagia sekali dia, aku sebagai Ibu turut bahagia lihatnya. Sekarang saja Mina sama Viki lagi di sini, katanya Mina kangen dengan suasana kampung, biasalah orang kota, haha."

"Buk Diah beruntung sekali, ya, punya menantu dari kota, mana orang kaya."

"Aku ndak seberuntung Buk Diah, anakku Santi cuman menikah sama pemuda kampung sebelah."

Buk Tuti mengeluh, sementara Bik Diah terlihat bangga karena menjadi pusat perhatian.

"Jangan begitu, Buk Tuti, siapa yang ndak tahu kalau menantumu itu juragan tembakau, sekali panen bisa puluhan juta untungnya," kata salah satu ibu-ibu yang ikut belanja, aku tak ingat namanya siapa.

Buk Tuti kelihatan tersipu, tapi ia tak menyangkal sama sekali. "Tapi Arman ndak sekaya Viki yang jadi direktur di kota."

Direktur konon, bah!

Aku cuma bisa mencibir dalam hati. Kalau memang betul seperti yang digembar-gemborkan oleh Bik Diah kalau suaminya Mina adalah seorang direktur di kota dan kaya raya, dia dan istrinya tak mungkin setiap bulan datang ke kampung untuk ngangkut gabah.

Semalam saja, aku mendengar suara ribut-ribut yang asalnya dari rumah Bik Diah, ternyata setelah kuintip, seperti biasa, Mas Viki akan mengangkut sekarung gabah pada malam hari, mungkin takut ketahuan orang kali, ya, kalau mereka beraksi di siang hari.

"Kenapa jadi membicarakan anak saya, Ibu-Ibu, hidup Mina kan sudah terjamin, saya ini khawatirnya sama Nirmala loh, sudah umur segini tapi belum ketemu jodoh juga."

Semua mata ibu-ibu itu menatap padaku.

"Ndak perlu terburu-buru, Nduk Nirma, yang penting bisa dapat jodoh yang baik dan bertanggung jawab." Mpok Atik tersenyum simpul dan membelaku.

"Ya bagaimana mau dapat jodoh kalau terus mengurung diri di dalam rumah, sekali-sekali keluar dong buat jalan-jalan, Nirmala, atau kerja merantau ke kota, siapa tahu jodohnya ada di sana." Buk Tuti menyikut lenganku pelan.

Aku tersenyum. "Aku di rumah saja, Buk Tuti, bantuin Ibu ngurus sawah, kasihan kalau kutinggal ke kota."

Bapakku meninggal tiga tahun yang lalu, jadi hanya ada aku, Ibu, dan Romi di rumah. Beberapa kali memang aku pernah izin ke Ibu untuk mencari kerja di kota, hitung-hitung membantu keuangan keluarga juga, tapi kata Ibu tak perlu, karena hasil panen keluarga kami alhamdulillah setiap tahun selalu lebih dari cukup.

"Siapa yang akan bantu Ibu di sawah dan mengurus pekerjaan rumah kalau sedang sakit, Nak. Ndak perlu jauh-jauh kerja di kota, kalau tekun bertani pasti hasilnya juga memuaskan, lagi pula sejak dulu keluarga kita ini akarnya ya petani, tidak cocok sama kehidupan kota," kelakar Ibu dulu, waktu aku minta izin untuk ikut Mina bekerja sebagai buruh pabrik di kota.

Akhirnya Mina pergi sendiri ke kota dan bertemu dengan suaminya yang sekarang, Mas Viki.

"Makanya cepat cari jodoh, Nirma, supaya ada yang bisa bantu-bantu Kamu sama Buk Tami. Kamu harus nyontoh sama Mina, meski sudah menikah sama direktur, dia tetap ndak lupa sama ibunya sendiri di kampung," kata Bik Diah bangga.

Sekilas memang kata-katanya terdengar peduli, tapi aku tahu maksud dia yang sebenarnya, Bik Diah ingin aku terlihat menyedihkan karena tak kunjung bertemu jodoh padahal sudah umur dua puluh enam tahun.

"Jangan terlalu pilih-pilih juga, Nirma, kalau mau dapat suami yang kaya seperti Viki memang susah," ujar Bik Diah lagi.

"Iya, Santi saja menikah dengan anak petani, ya walaupun hasil tembakaunya lumayan, siih," timpal Buk Tuti cekikikan.

Aku mencibir dalam hati, banyak sekali unek-unek yang ingin kukatakan pada mereka, tapi mengingat nasihat Ibu untuk selalu hormat pada yang lebih tua dan tak menabur perselisihan dengan orang lain, maka aku berhenti.

"Bukannya aku mau pilih-pilih, Buk Tuti, tapi memang belum dikasih jodoh saja sama Allah," kataku.

"Jangan cuma bisa pasrah, Nirma, jodoh itu perlu diusahakan, kalau ada yang tertarik juga jangan terlalu pilih-pilih, kudengar Hasan dari kampung sebelah menaruh hati padamu dan pernah datang melamar, kenapa ndak diterima saja."

Bik Diah tersenyum sambil memilah kangkung dagangan Mpok Atik, kalau dilihat-lihat kasihan juga kangkung itu, terlalu sering dibolak-balik sampai hampir berceceran.

"Apa karena dia anak petani dan sawahnya kecil, jadi Kamu ndak mau, Nirma?" tanya Bik Diah lagi.

Astagfirullahaladzim, kotor sekali hati wanita ini. Padahal siapa yang tak tahu si Hasan yang rumahnya di dekat gunung itu, duda itu adalah pria berkarakter bengkok dari desa sebelah, kerjaannya sehari-hari cuma minum-minum dan berjudi di pasar, makanya ditinggal minggat sama istri dan anaknya, siapa juga yang betah berumah tangga dengan pria tak bertanggung jawab seperti itu.

Hasan memang pernah datang melamar, namun langsung ditolak oleh Ibu. Aku juga tak seputus asa itu dalam hal mencari pasangan.

"Aku ndak pernah menolak Hasan karena dia cuma anak petani, Bik Diah, tapi siapa yang ndak tahu reputasi dia? Kayaknya ndak mungkin ada gadis yang mau menikah sama laki-laki pengangguran dan suka berbuat onar itu." Aku mendelik kesal. "Lagi pula ndak ada yang salah sama anak petani, justru aku lebih suka kalau calon suamiku sama-sama dari keluarga petani, kan bagus kalau hasil bertaninya banyak, jadinya ndak perlu ngerepotin ibu mertuaku nanti. Kan malu kalau masih minta gabah sama mertua."

Aku tahu kalau Bik Diah sepertinya menangkap sindiranku. Ia mendelik dan tersipu.

Giliran balik disindir saja langsung marah

"Bilang saja ndak laku," bisik Bik Diah pada Buk Tuti dan mereka berdua cekikikan lagi.

"Bukan ndak laku, Bik, tapi kayak yang dibilang Mpok Atik, aku ndak perlu terburu-buru. Jodoh, maut, dan rezeki sudah ada yang ngatur, ndak perlu dipusingin."

Sambil mengambil sekresek hati ayam, aku senyum ke arah Mpok Atik.

"Ini berapa, Mpok?" tanyaku.

"Hati ayam 35 ribu setengah kilo, Nduk."

"Walaupun sudah ada yang ngatur, tapi perlu dicari juga, Nirma," kata Bik Diah.

Aku mengabaikannya.

"Kalau jagung sama bayamnya berapa, Mpok?" tanyaku.

"Jagung tiga ribu, bayam seikat dua ribu."

"Anak ini dikasih tahu sama orang tua malah ndak dipedulikan, pantas ndak ada yang mau, sudah berumur gitu tapi ndak laku-laku, perawan tua."

Bik Diah dan Buk Tuti cekikikan lagi. Aku menaruh hati ayam, jagung, dan bayam yang tadi kuambil, sambil tersenyum dan berhadapan langsung dengan kedua wanita itu.

"Memangnya kenapa kalau aku ndak laku-laku, lagian aku ndak numpang makan di rumah Kalian, kan? Juga, beras ibuku di rumah masih banyak untuk kuhabiskan!"

Bersambung.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
11 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status