Setelah itu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi nomor itu, tapi sayang sekali telepon tidak dapat tersambung."Apa Justin pernah bilang alasannya?"Pak Haikal menggelengkan kepalanya."Nggak bilang, entah seberapa peduli seberapa keras presdir memohon, pihak lain tetap acuh tak acuh. Ah, perusahaan kami akhirnya berhasil mendapatkan pinjaman ini dari Bank Flag, tampaknya bisa mengambil langkah maju yang besar, nggak disangka akan hancur seperti ini."Fandy sangat bingung. Jika pihak lain ingin menimbulkan masalah baginya, kenapa menyerang Edrick? Sekalipun ada penyelidikan, Fandy hanya berada di Kota Hira dalam waktu yang singkat, paling-paling mereka hanya tetangga baik-baik, jadi mustahil hal itu terjadi."Edrick setuju?""Bagaimana mungkin menolak? Orang kaya punya kekuasaan serta pengaruh yang besar. Kalaupun dijual dengan harga murah, seenggaknya bisa melunasi sebagian utang dan masih bisa menjalani hidup. Kalau nggak dijual, benar-benar nggak akan punya apa-apa."Setelah menden
Fandy tampak bingung, terutama karena saat ini Edrick terlihat sangat emosional."Ada apa sebenarnya?"Tiba-tiba, Edrick melepaskan tangannya, lalu tertawa mengejek diri sendiri."Sudahlah, mungkin ini memang takdirku, mana bisa salahkan orang lain."Edrick pun berbalik naik mobil dan pergi. Fandy benar-benar bingung, tetapi satu hal yang diketahuinya dengan pasti yaitu, telah terjadi sesuatu yang sangat serius. Kalau tidak, Edrick tidak akan sampai seperti ini.Sampai di klinik pun Fandy menjadi gelisah. Setelah dipikir-pikir, akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Helen."Aku mau bertanya soal Edrick.""Nggak usah tanya! Fandy, mulai sekarang, kita nggak usah kontak lagi. Sebenarnya, aku ingin maki-maki kamu. Tapi, seperti kata suamiku, kadang kita harus menerima nasib, buat apa semua kesalahan dibebankan ke orang lain? Bagaimanapun, waktu itu kamu yang selamatkan anakku, Dodo, itu kenyataan. Aku akui dan aku ingat. Sudah cukup sampai di sini."Tuut tuut tuut! Sambungan telepon dipu
Fandy tanpa ekspresi."Sudah disediakan makanan saja seharusnya bersyukur, lagi pula aku nggak pernah bilang bakal traktir makan besar."Yang makin bikin Almaz kesal, selama makan itu sosok Caren itu hampir tidak berbicara sama sekali, cuma makan sedikit lalu bergegas pamit.Baru saja kakinya melangkah keluar, Almaz langsung meledak."Fandy! Apa aku pernah sakiti kamu? Aku sudah berkali-kali bayangkan makan bareng Caren dalam mimpi, dan kamu malah rusak semuanya!"Fandy menyeringai dingin, sambil menunjuk dengan donat di tangannya."Dasar gendut! Aku masih mau tepati janji saja sudah beruntung. Berkaca tuh, hal-hal yang kamu lakukan itu pantas dikasih dua tamparan."Namun, Almaz tetap bersikap ngotot."Apa yang aku lakukan? Hari ini kamu harus jelaskan satu per satu. Kalau nggak, sore nanti aku pasang karangan bunga kematian di depan klinikmu!""Erin."Begitu menyebut nama itu, Fandy memperhatikan ekspresi Almaz sebelum melanjutkan berbicara."Erin membohongi aku, mana ada tato atau ke
Saat ini, orang yang berdiri di depan gerbang rumah ternyata adalah Fitri. Ini benar-benar terlalu di luar dugaan, tidak heran Fandy menunjukkan ekspresi seperti itu.Padahal sudah menelepon untuk menjelaskan semuanya, dan menekankan akan memblokir lagi, tetapi kini malah Fitri datang sendiri di tengah malam. Mungkinkah masih ada kesempatan untuk berdamai?Dengan hati yang hangat, Fandy pun buru-buru berlari keluar dan membuka gerbang."Fitri, kenapa kamu datang?"Fitri memelototinya dengan manja."Aku nggak boleh datang? Dasar menyebalkan."Fandy melongo cukup lama sebelum mengikutinya masuk ke dalam, lalu langsung tersenyum pahit."Kak Arni, bisa nggak jangan main kayak gini?"Fitri yang hendak duduk di sofa menunjukkan wajah bingung."Maksudmu apa? Siapa Kak Arni?"Fandy menggeleng."Jangan pura-pura. Di tahap ini, Fitri nggak mungkin bersikap manja padaku. Kamu sama sekali nggak paham, bagaimana orangnya. Kalau nggak, aku pasti tertipu olehmu."Sambil bicara, Fandy menunjuk ke arah
Apa! Erin juga seorang petarung? Fandy makin terkejut, topeng penyamaran ilusi ini sebenarnya apa, kok bisa sehebat itu?Makin dipikir, makin dirinya merinding. Kalau bukan karena kebetulan Kak Arni, senior ketujuhnya, datang dan mengungkapkannya, entah bahaya macam apa yang bisa terjadi nanti.Saat ini, Erin pun angkat bicara."Aku nggak punya niat jahat padamu. Kalau aku memang berniat buruk, pasti sudah bertindak sejak tadi! Selama kalian membiarkanku pergi, aku bisa menyetujui syarat apa pun darimu!"Arni tersenyum."Syarat apa pun?""Benar, apa pun!"Detik berikutnya, Fandy langsung marah."Masih berani menjebakku? Syarat apa pun yang kamu maksud, jangan-jangan termasuk aku menyuruhmu tidur denganku, ya?"Arni di sampingnya sampai terdiam. Ada apa dengan adik kecilnya belakangan ini? Sedikit-sedikit berbicara soal tidur sama wanita. Apa dia sudah terlalu 'dihajar' oleh para senior perempuannya?Melihat Erin diam, Fandy melanjutkan."Sampai sekarang aku masih belum tahu apa maksud
Suara ini.Fandy langsung mengenalinya. Ini suara senior ketujuhnya, Kak Arni, juga dikenal sebagai Caren.Karena sudah berjanji pada Almaz, tentu Fandy akan menepatinya. Jadi malam saat menghadapi mayat terbang, Fandy langsung menghubungi Toni dari organisasi pembunuh Feunoria untuk menghubungi senior kesembilan, Kak Irana, agar menyampaikan pesan. Tak disangka, orangnya datang secepat ini.Sejujurnya, Fandy cukup berterima kasih pada senior kesembilan. Dengan adanya Toni yang diizinkan untuk tetap aktif, artinya jika dia benar-benar butuh, dia masih bisa menghubungi para seniornya. Atau bisa dibilang, ini juga semacam restu diam-diam dari gurunya, karena mengetahui Fandy tak akan sembarangan menggunakan koneksi ini."Siapa? Fandy, kamu ... ada orang lain di kamarmu?"Erin ketakutan dan langsung bersembunyi di belakang Fandy, reaksi wajar bagi siapa pun.Tak lama, Arni pun muncul. Wajahnya tetap mengenakan topeng yang selalu dipakainya di saat tampil di depan publik."Jangan takut, in
"Perempuan sialan! Kamu berani menyiram aku? Tahu nggak, siapa aku ini?"Di saat genting, Fandy mencengkeram pergelangan tangan si rambut pirang, lalu mendorongnya. Orang itu mundur beberapa langkah ke belakang dan nyaris terjatuh, beruntung ditopang oleh beberapa orang yang baru datang."Enyahlah!"Fandy sendiri tidak menyangka akan berakhir menjadi aksi pahlawan penyelamat gadis. Dirinya belum pernah dirinya merasakan dorongan sekeras ini."Sial! Hari ini kalian berdua, jangan berharap bisa keluar dari sini dalam keadaan utuh."Tangan kanan si rambut pirang mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Dia dan beberapa temannya langsung mengepung Fandy."Aku sudah menelepon polisi!"Erin tampak agak ketakutan, mengangkat ponselnya sebagai ancaman."Berani lapor polisi? Percaya nggak, aku akan menggores wajahmu sampai rusak."Namun, Fandy tetap tenang, menenangkan Erin agar duduk, lalu berkata kepada seseorang di belakang si rambut pirang di dekat pintu."Kamu yang urus.""Siap, Kak Fandy!"
Begitu juga, saat melihat Fandy berdiri di depan gerbang halaman, Catherine pun menunjukkan ekspresi terkejut yang jelas."Bu Catherine! Hati-hati di jalan."Erin yang mengikuti dari belakang, ekspresi dan ucapannya sudah cukup menjelaskan beberapa hal.Sapaan refleks yang sudah terucap, langsung ditelan kembali oleh Catherine. Dia tahu dirinya sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengan Fandy. Kemarin itu hanyalah karena acara pernikahan ramai, jadi sekadar berbasa-basi dua kalimat saja. Maka dari itu, Catherine tahu, dirinya harus bersikap sewajarnya.Setelah ragu sejenak, justru Fandy yang terlebih dulu membuka mulut."Catherine, kamu kenapa di sini?"Catherine tampak tak percaya, buru-buru menjawab,"Ada urusan perusahaan, mau ngobrol sebentar sama Erin."Sekarang giliran Erin yang kaget."Kalian ... saling kenal?"Fandy tersenyum."Dulu Catherine pernah datang untuk berobat, bisa dibilang dia salah satu pasienku."Ya ampun! Mulut mungil Erin terbuka."Pas banget ya, ternyata kita b
"Jangan dibahas lagi. Sebenarnya, sedikit minuman itu hari ini, mestinya nggak masalah, soalnya semalam aku tidurnya nggak nyenyak."Tidurnya tidak nyenyak? Fandy tertawa, orang biasa bagaimana bisa tidur paling nyenyak? Tentu saja setelah mabuk, jadi ini agak aneh."Mimpi yang begituan, ya?"Bersama Arnold, Fandy sangat santai, apalagi sekarang Imelda sedang di dapur membantu Jevinca, jadi dirinya tidak mempunyai beban pikiran.Arnold melirik Fandy, lalu tiba-tiba berbicara dengan serius ...."Aneh juga sih kalau dipikir-pikir, semalam rasanya kayak mimpi, tapi juga terasa nyata. Kamu mungkin nggak percaya, aku sesekali dengar suara tangisan, kadang kayak suara anak kecil, kadang kayak suara perempuan. Pokoknya, bikin aku merasa kayak di alam mimpi, makanya tidurku nggak nyenyak.""Jevinca semalaman nggak ada gerak-gerik apa-apa. Paginya aku tanya, dia bilang nggak dengar apa-apa."Seketika, ekspresi Fandy langsung berubah, tidak menyangka, hal yang dikatakan si gendut itu ternyata te