Share

Sepintas Debu Jalanan

Sepintas Debu Jalanan

Tatapan, matanya begitu tajam.

Saat kau mencari makhluk tuhan,

Yang membawa kebahagiaan entah sampai kapan.

Lantas kau lupa, bahwasannya yang kau cari sebenarnya 

Kesuksesan. Itulah hidup.

Tuhan memang memiliki cara-Nya yang berbeda untuk mengingatkan kita, entah itu dari yang bencana ataupun kebahagiaan. Sejatinya manusia dibumi adalah ketentuan dari tuhan semesta alam, termasuk antara pertemuan dan perpisahan.

Manusia tidak akan menyangkan sebelumnya, ketika bertemu seseorang yang baik. Darinya kita belajar bahwasanya hidup perlu penghormatan antara kasih sayang dan saling menghargai. Bisa jadi bahwa tuhan telah menentukan bahwa orang yang baik akan bersama dengan yang baik. Hal-hal itu kadang kita suka luput  dari pengamatan kita, dasarnya kita harus selalu bersyukur apa yang telah ditetapkan tuhan semesta alam.

Kampus di Bogor banyak sekali pedagang jalanan, dan pengamen cilik bernyanyi. Biasanya, para pedagang dan pengamen cilik berdatangan menawarkan apa yang ia bisa. Para, pedagang kecil  dan pengamen cilik biasanya berada dijalan yang macet. Tubuh yang begitu haus perjuangan tak kenal lelah untuk menyambung kehidupan mereka.  Anak kecil merintih segenap lagu yang ia hapal selalu dilantunkan dengan alat seadanya.

Ada satu hal menarik dari sekumpulan para pedagang dan pengamen kecil ini, mereka selalu solid dan akrab satu sama lain. Mereka pula sangat ramah kepada orang yang dihadapannya. Tak jarang pula, para pedagang berdiskusi sambil menikmati matahari tenggelam ditempat aspal jalanan. Biasanya, mereka saling berbincang tentang masalah ekonomi yang telah terjadi. Diantara mereka juga ada yang mengungkapkan uneg-uneg kepada tentang apa yang mereka tidak sukai, ataupun mereka hanya memberi pemasukan lewat pesan suara mereka. Bagiku itu adalah suara yang baik, belajar bahwa menjadi orang jujur itu lebih hebat, bandingkan dengan orang berpendidikan tinggi.

Ada kisah menarik dari seorang  pedagang  jalanan yang saya temui. Ia sudah tua keriput diwajah tak memutuskan arti kata “Gengsi”.  Tubuh yang tidak sebanding dengan resiko yang ia bawa. Untuk membawa produksinya saja, ia cukup kelelahan perlu membungkuk dan menggerkan seluruh tubuhnya agar bisa berjalan kembali. Perjuangan yang tidak bisa dinilai dengan angka, sampai-sampai saya tidak rela melihat nya. Saya coba mendekati dan bertanya.

“ Kenapa bapak masih bekerja, anak bapak kemana?’’

“ Bapak tinggal sendiri dirumah, untuk makan saja bapak perlu berjualan”

Maasya Allah, disaat ini ada yang melupakan jasa orang tuanya. Bapak, ini terus berjualan sambil membungkuk karena tulang punggung yang tak sekuat dulu. Ia entah mau bekerja kemana lagi, selayaknya masa lansia perlu menimati masa tuanya dibangku halaman. Menikmati udara segar,  dan bermain bersama cucu-cucu mereka. Selain itu pengamen cilik, menikmati hidup dijalan dengan bernyanyi . entah dia bisa menulis ataupun tidak. Disaat ini seharusnya anak-anak perlu mengecap dunia pendidikan, tetapi anak ini menempuh kehidupan ekonomi keluarganya untuk menyambung hidup. Ia sudah lama putus sekolah,  karena biaya yang tak cukup tapi katanya ia sedang berusaha menabung untuk biaya sekolah. walau hanya pengamen cilik, tetapi semangat profesinya sangat luar biasa untuk menjemput cita-citanya.

Saat pulang kuliah, saya menatap sang bapak sedang istirahat disamping becak tuanya. Beliau adalah laki-laki kurus, ber uban dan wajah keriput tulang pipi. Walau tua, semangatnya bisa disebut muda. Saat itu hari sedang mendung akan hadirnya hujan deras di Bogor. Terpaksa aku berteduh disamping bapak tua itu. Diskusi  dengan bapak tua itu, seperti orang tua disaat sepi.

“Pak, ada roti dan minuman Aqua. Ini boleh bapak ambil untuk mengisi tenaga bapak, dan ada sedikit uang untuk bapak makan nanti.”

 Beliau hanya menjawab, dengan lembut dan halus seperti bisikan dalam hati.

“Tak perlu nak, kamu yang lebih membutuhkan dari pada bapak. Kamu perlu tumbuh hebat, untuk gapai cita-cita kamu.”

Mati kata dalam bibir, ditengah era swasembada ternyata masih ada yang kehidupannya terbatas dari sisi finansialnya. Sebagian mereka yang mampu saja, masih berpikir dua kali untuk bersedekah.

Para penyambung kehidupan ini , patut diberi pengahrgaan atas jasanya. Jika anda bisa membayangkan betapa sulitnya menyambung hidup di jalan aspal berdebu. Belum lagi saat cuaca panas dan hujan, bahkan dengan membawa beban yang berat anak kecil yang  kelaparan, dan pengendara becak tanpa mesin. Saya teringat tentang opini-opini masyarakat, yang katanya indonesia kaya tapi masyarakatnya miskin, ada pedagang jalanan, pengamen, dan becak yang bikin macet di jalan. Padahal bagi saya pemerintah bisa berlaku adil kepadanya, bukan asal menjabat tetapi lupa dengan visi dan misi mereka. Setidaknya kita perlu mengingat keadaan ekonomi mereka, bikan asal “grebeg” ambil barang itu ataupun hancurkan apa yang telah diciptakan mereka. Seharusnya pemerintah menagjukan lapangan pekerjaan bagi usia yang layak, beri omongan dan pemahaman yang bijaksana bagi mereka yang tiap harinya bekerja di sisi jalan aspal. Bagaimana jika nasib mereka sedih, tidak bisa menyambung pengasilan mereka?

Mungkin apa yang dikatakan teman saya benar. “ Perhatikan para pedagang, pengamen cilik, dan tukang becak itu.” mereka itu lemah, dan ada yang belum sepatutnya bekeja. Mereka lemah dari segi  fisik, finansial, dan kemampuannya. Tetapi mereka punya semangat yang muda, untuk mencari penghasilan mereka. Hidup itu berdampingan ada siang ada malam, kadangkalanya kita harus peka terhadap pertolongan mereka.

Mereka sebenarnya membutuhkan kita, bukan dari segi fisik, atau lainnya. Yang diinginkan mereka hanyalah kita bisa merubah dunia ini menjadi lebih baik, seperti dinegara lain mereka tidak tahu mana negara yang minim pengangguran, atau pun teknologinya cepat berkembang.

Pagi itu dikala matahari menyinari bumi pertiwi, nasib mereka masih sama mencari penghasilan dipinggir debu jalanan yang berlubang. Saat itu aku diantar oleh sang ayah ke kampus dengan motor tua, kulihat sisi dari sisi jalan tergambar raut paut para penikmat debu jalanan.

Yaa itu adalah sebuah kata pengganti mata pencaharian di jalanan.

Otak ilmuan disamping buku bertulis “ Merajut Asa.” Tergambar ingatan dalam kehidupan debu jalanan.

Bersama teman ku, dalam perpustakaan kala siang selepas istirahat mulai mencoba merenung sejenak. Melihat cahaya indah diluar, pepohonan dan tumbuhnya bunga disekitaran luar kampus mencoba untuk terlelap. 

Sore menjelang usai sudah kegiatan kampus, pulang dengan bermodal kendaraan angkutan kota. Seutas mata menatap langit. Sang senja pun berdebar.

Melihat semangatmu tak kunjung usai

Jalanan bagimu seperti ruang 

Asap kendaraan bagimu adalah pencaharian

Sudah tak kuat menahan tulang yang sakit

Bermodal suara untuk mendapat penghasilan

Iri bagi mereka yang menetap ditempat layak

Anak yang masih punya harapan

Ku usap dada dengan  pelahan

Dan mereka menerima apa yang telah di takdirkan tuhan.   

                                                                                                     ******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status