Share

Hati Sang Matahari

Buah hati dari Sang Matahari.

Matahari, memang sama seperti kita.

Terbit saat wajah baru, indah ketika teredeup lelah.

 Seorang laki-laki kumal menyusuri jalan kehidupan, 

Jalan menuju surga memang sulit.  Baju yang lusuh mengiringi jalannya

di sekitaran jalanan. Mencari kebutuhan diantara banyaknya, tumpukan

pejalan. Terlukis di tembok ada  karya sastra yang tergambar menarik.

 Dan kesemuanya masih belum bisa digenggam.

Pagi hari tepat dihari itu, Aku dan adik makan diwarung dekat jalan. Kami memesan ayam bakar, dan  jus mangga. Aroma ayam bakar, telah tercium sampai  ke meja kami. Melintir keperutku yang sudah lapar dari tadi.

Pesanan pun tiba saya. Tidak sabar mencoba lezatnya aroma ayam bakar dengan saus asam manis. Kepungan butir-butir nasi hangat membuat nafsu makan sangat bergairah. Kucicipi secuil daging yang telah tersaji, gigitan pertama ayam bakar yang empuk dan nikamt itu terasa lancar hanya menyisakan sisa-sisa bumbu dijemari saya. Kakak terlihat lahap menyantap hidangannya. Kami larut dalam hidangan yang tersaji dihadapan kami.

Beberapa waktu kemudian,  mucul anak kecil atau mungkin remaja dengan pakaian lusuh yang menjinjing tas bawaannya. Dia menawarkan sol sepatu, kepada orang-orang yang ada didalam rumah makan itu. dengan banyak berharap ada yang mau menjahit sepatu atau sendal.

“Kak!  Sol sepatunya, kak.” Ia menawarkan jasanya sambil menyodorkan tas sol yang ia bawa.

Saya terlihat kasian saat itu, bingung, lalu terlihat kebawah meja.  Anak itu masih melakukan hal yang sama, tertuju mengarah ke saya yang sedang duduk. Kebetulan meja yang kami singgahi itu mejanya tidak tertutup bagian bawah. Lalu, sepasang  sepasang kaki berbaut kaos kaki dan ada yang memakai sendal terpampang jelas dimeja sana.

“Sendalku masih baik, bagaimana mau dijahit?.” Saya membatin.

“ Duh, maaf yaa dek.... sendal kakak masih baik, jadi gak dijahit dulu.” Ujarku  pada tawarannya.

“ Kak! Sol sepatunya, kak....” Ia masih tetap menawarkan jasanya.

“Maaf yaa dek... sendal yang kami pakai, masih baik. Jadi tidak dijahit dulu.” Ucap ku kepada tukang sol sepatu itu.

Kemudian aku menyerahkan beberapa lembar rupiah untuk sedekah kepadanya. Ia pun menerima lalu pergi, dengan ucapan terima kasih. Ia pergi menuju ruko disamping rumah makan,  disana ia duduk dengan  temannya sedang memperhatikan lingkungan sekitar.

Kami kembali menatap sisa makanan, mencoba untu menghabisakan sisa-sisa maknan yang didepan kami. Berselang beberapa menit kemudian,  hujan turun dengan derasnnya. Membasahi tenda-tenda dan warung-warung yang ada disekitar. Secara tak sengaja, aku menatap anak yang menawarkan jasanya tadi. Saya serentak iba.  Disaat itu saya menikmati hidangan lezatnya, anak itu hanya bisa memandangi darai depan ruko. Selera makan saya mulai sedikit menghilang,  tapi sisa makanan harus tetap dihabiskan agar tidak membuang makanan, dan mubazir. Sayapun menyelesaikan makanan itu dengan rasa campur aduk.

   Hujan telah reda setelah lama menunggu, kami membayar dan meminta satu nasi dibungkus kepada pemilik warung.  Setelah membayar  kami beranjak pergi sebentar, untuk mengampiri anak tersebut dan memberikan makanan untuknya. Kami pulang dengan rasa kasihan, melihat anak tadi yang masih beranjak remaja, yang sepatutnya menempuh pendidikan kini harus usai karena meungkinan tidak ada biaya. Setetes air mata jatuh tanpa sepengetahuan adikku, mencoba mengusap agar tidak mengetahui. 

Saya sering mendengar orang-orang agar berpesan berilah apa yang kita punya niatkan dalam hati sedekah, supaya rezeki kita bertambah. Senja itu aku secara tak sengaja menemui anak itu sedang membantu ibunya  dijalanan, entah kemana bapaknya itu pergi. 

Duduk dijalan setelah usai kuliah siang, seorang anak yang  tadi berjalan kearah denganku. Ku coba bertanya kepadanya tentang sedikit perihal kehidupan mereka.

“Dek, maaf... Kenapa kamu tidak sekolah, mana ayahmu?” Ujarku dengan rasa penasran

“Iya kak, aku tidak sekolah karena tidak ada biaya. Ayah ku telah lama meninggal. Aku membantu ibu bersih-bersih jalanan.” Ucap anak itu.

“Rumah kamu dimana?.” 

‘’ Rumahku tidak jauh dari jalan ini. Aku dan ibuku mensyukuri apa yang telah tuhan kehendaki.”

“Apa kamu lapar?.” ucap ku.

“ Tidak Kak, tadi selepas siang. Ibu memberiku sepotong roti dibagi dua dengan ibu.”

“Yasudah... ikut kakak sebentar, kita pergi warung depan sana.”

Mereka pergi dengan anak tukang sol menuju warung depannya. Dalam batin tersedu tangis dan haru dari kisah mereka. Mereka yang tidak punya masih ingin menempuh pendidikan dengan semangat. Rasa yang tak kenal lelah telah tertanam jiwa semangat pemuda. Terkadang kita merasa cukup dengan apa yang ada, mereka yang letih berjuang dengan hasil tidak sepadan masih bisa mensyukuri atas karunia tuhan semesta alam. Ucap ku dalam batin. Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi orang yang selalu berbuat baik.

“Bu... beli nasi dua bungkus, sama lauknya.” Ucap ku kepada pemilik warung nasi. 

“Iya nak... mohon tunggu sebentar.” Sahut pemilik warung nasi.

Tak lama menunggu, mereka pergi dengan membawa sekantung pelastik dua bungkus nasi yang digenggam anak kecil tadi. Mereka berjalan menuju tempat ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih jalan. Langit terasa mendung dikala menjelang malam, mereka berteduh disebuah halte didekat taman. Saling bertukar cerita sambil menuju hujan reda. Tepat waktu pukul setengah lima sore, hujan reda menghiasi langit jingga. Langkah mereka kembali berjalan tak lama sampai kepada ibunya yang risau duduk sambil menunggu. Ibu itu mengucap

“Nak... kemana saja kamu, ibu risau tak ada kamu.” Sang ibu bertanya.

“Aku tadi pergi sebentar dengan kakak ini menuju warung nasi.” Ucap anak tukang sol.

 

Sapaan ibu tukang sol ini kepadaku. Sambil memegang sapu lidi untuk bersi-bersih jalanan.

“Iyaa bu, maaf tadi aku melihat anak ini sedang menawarkan jasanya kepada orang sekitar, lalu aku panggi dia dan aku ajak pergi menuju warung nasi terdekat. Ouh iya ini ada dua bungkus nasi tolong diterima buat ibu dan anaknya.” Ucap ku

“ Terima kasih  nak, semoga tuhan membalas kebaikanmu.” Ucap ibu sambil tersenyum

“Iya bu, aku pamit mau pulang. Dek kamu harus nurut apa yang diperintahkan ibu yaa.” Ucap ku dengan menahan sedih

“Iya kak, hati-hati dijalan. Semoga selamat sampai tujuan.”

Aku pergi meninggalkan ibu dan anak itu. Batin bersedih melihat perjuangan mereka. Mereka memang tak punya apa-apa, tetapi jiwa mereka masih tertanam rasa baik. Memang nadir orang seperti itu.

Disini dibatas kota ini

Tempat kaya nan indah permai

Samudranya kaya raya membentang luas

Tanah kami subur tuan dan puan...

Aku berdiri dinegri ini

Berjuta rakyat bersimpang rugah

 

Mereka merampas yang bukan haknya

Tergusur nan lapar

Jalanan bagi mereka adalah penghasilan

Untuk hari ini, aku harap ini bisa berubah

 Sang senja menyaksikan..... 

                                                               

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status